Melihat Fenomena Boikot: Mampukah Indonesia menjadi Pemain di Pasar Halal Dunia?

Wait 5 sec.

Selama dua tahun terakhir, lini masa kita dipenuhi seruan boikot terhadap produk-produk yang dianggap terafiliasi Israel. Gelombang solidaritas menguat di berbagai belahan dunia terutama dengan meningkatnya konflik dan kekerasan di Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023.Aksi protes di salah satu gerai Starbucks di New York (Foto: Cristina Matuozzi/Sipa USA)Jenama besar dari Amerika Serikat dan Barat yang dianggap complicit dalam okupasi dan genosida di Palestina banyak terdampak. Sepanjang 2023 hingga 2024, perusahaan internasional seperti McDonald’s, Coca-Cola, Starbucks, dan Unilever melaporkan penurunan penjualan global rata-rata hingga 30-40%. Beberapa bahkan terpaksa menutup cabang gerai serta mengurangi pekerja karena memburuknya performa penjualan. Meskipun penurunan tingkat penjualan dapat disebabkan banyak faktor, laporan Edelman Trust Barometer 2024 menunjukkan terdapat peningkatan persentase publik yang memilih atau menghindari produk tertentu dikarenakan nilai politik yang dianutnya. Ramainya penolakan publik membeli produk terafiliasi Israel menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam perilaku konsumen global. Banyak pembeli kini tidak lagi memilih suatu barang hanya karena faktor harga atau kualitas. Mereka juga ingin mengetahui: apakah produk yang mereka beli etis dan sesuai dengan value yang dianut? Celah Kosong bagi IndonesiaFenomena boikot telah menciptakan gap atau celah kosong di pasar, baik domestik maupun internasional. Pasar kosmetik di Persatuan Emirat Arab (PEA), misalnya, tumbuh sangat pesat di mana merek-merek besar Barat saat ini mulai kehilangan pamor, digantikan merek lokal dan alternatif halal.Meningkatkan semangat boikot terhadap produk terafiliasi Israel diikuti dengan naiknya rasa nasionalisme terhadap produk lokal (Foto: Laporan Edelman Trust Barometer 2024)PEA yang menempati posisi ketiga dengan persentase boikot tertinggi di masyarakatnya, menurut Edelman Trust Barometer 2024, didominasi konsumen generasi muda yang kini punya awareness lebih tinggi. Clean beauty dan produk lokal saat ini menjadi tren, di mana konsumen mencari produk yang aman, halal, transparan dan sesuai dengan nilai dan budaya mereka.Celah kosong ini — jika kita jeli dan manfaatkan dengan baik, Indonesia bisa berada di tengah pusarannya. Pertanyaannya sekarang, mampukah Indonesia menjadi pemain di pasar halal global, yang nilainya diproyeksikan akan mencapai 2,8 trilyun dolar AS pada 2025 ini?Modalitas dan Strategi Diplomasi EkonomiSektor kosmetik sendiri saat ini menjadi salah satu industri nasional yang booming, dengan kualitas produk tidak kalah dengan merek asing. Merek-merek besar seperti Wardah, Mustika Ratu, atau Avoskin telah menembus pasar Asia Pasifik hingga Afrika, bahkan Wardah dinobatkan peringkat pertama Top 10 Muslim-friendly Cosmetics Brands dalam laporan Salaam Gateway 2025. Partisipasi Wardah pada Dubai Modest Fashion Week 2021 (Foto: Laman resmi Wardah)Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, ekonomi terbesar Asia Tenggara, serta dengan adanya perjanjian perdagangan IUAE-CEPA yang menghapuskan 94% tarif antar kedua negara sejak 2023, Indonesia sesungguhnya punya modalitas besar memasuki pasar PEA dan negara lain di kawasan.Di sinilah, mesin diplomasi ekonomi Indonesia harus bekerja ekstra keras untuk penetrasi pasar lebih dalam. Untuk merebut pasar kosmetik PEA, Indonesia bersaing dengan berbagai merek lokal dan dari negara lain, seperti Malaysia, Korea dan India. Strategi diplomasi ekonomi yang dimainkan oleh karenanya tidak boleh lagi “business as usual”, tetapi haruslah kreatif, berorientasi pasar, serta mampu menangkap peluang, “hidden needs” dan perkembangan geopolitik global.Sebuah peta jalan yang terukur dengan menggabungkan strategi penguatan nation branding seperti “Indonesia – Trusted Halal Supplier” atau “Halal Beauty from Indonesia”, peningkatan mutu dan kapasitas produksi dalam negeri, kampanye masif melalui media sosial, kolaborasi dengan influencer lokal, hingga promosi di platform e-commerce seperti Noon atau Amazon.ae dapat menjadi langkah awal yang perlu diambil. Keunikan produk Indonesia yang menonjolkan kekhasan flora, warisan budaya, dipadu keunggulan teknologi akan diapresiasi konsumen muda PEA yang cenderung mau mencoba hal baru.Perilaku konsumen PEA umumnya dipengaruhi media sosial dan influencer. Dalam foto Huda Kattan, salah satu influencer ternama di PEA (Foto: Cedric Ribeiro/Getty Images)Koordinasi yang kuat lintas sektor, baik antar pemerintah, swasta, dan stakeholders terkait juga diperlukan, dengan Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di negara akreditasi berperan sebagai penjuru sekaligus negosiator kunci dan penjembatan dalam upaya promosi. Penguatan sertifikasi halal, kontrol mutu dan keamanan produk, serta pendampingan dan fasilitasi oleh Kementerian/Lembaga terkait juga diperlukan untuk memastikan implementasi strategi berjalan baik.Di tengah derasnya arus boikot global, di sana terbuka jalan bagi Indonesia untuk tampil sebagai pemain utama dalam ekonomi yang berbasis nilai. Boikot mungkin lahir dari kemarahan dan kepedihan, tapi dari sana tumbuh harapan bahwa solidaritas dan ekonomi pun bisa menjadi alat untuk menyuarakan kemanusiaan.