Ilustrasi penjaga kuburan. Sumber: pexels.comDi tengah derasnya arus globalisasi yang cenderung menyeragamkan, Desa Wringin di Bondowoso Jawa Timur menyimpan sebuah permata kearifan lokal yang terus dijaga yang bernama Ajegeh Khobur, sebuah tradisi berbasis bahasa Madura yang secara harfiah berarti "jaga kubur".Dalam dunia yang bergerak serba instan—bergeser dari panggilan suara ke pesan teks, dan dari pertemuan fisik ke ruang virtual—praktik tersebut menonjolkan sesuatu yang radikal, yaitu nilai kesetiaan, kebersamaan, dan kehadiran fisik yang tak tergantikan.Aktivitas menjaga pusara yang baru saja ditinggalkan penghuninya selama berhari-hari sudah terdengar kuno bagi sebagian telinga modern. Namun, ritual di desa tersebut masih berdenyut. Pertanyaan besarnya: Bagaimana Generasi Z, kelompok yang lahir dan besar bersama gawai di genggaman, memandang warisan leluhur tersebut? Apakah ritual tersebut dilihat sebagai sebuah beban yang memberatkan, atau justru menjadi sebuah penanda identitas kolektif yang membanggakan? Perspektif generasi muda menjadi kunci penentu masa depan tradisi yang sarat makna tersebut.Memahami Akar Ajegeh Khobur: Lebih dari Sekadar MenjagaPemakaman Pondok Ranggon di Jakarta. Foto: Willy Kurniawan/REUTERSDalam memahami perspektif baru, penting bagi siapa saja menghargai akar filosofis dari Ajegeh Khobur. Tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun di Desa Wringin menyebutkan bahwa penjagaan dilakukan sebagai bentuk perlindungan.Konon, terdapat mitos tentang 'Godong', sejenis makhluk gaib yang dipercaya berusaha mencuri jenazah yang baru dikebumikan. Penjagaan bertujuan memastikan almarhum beristirahat dengan tenang tanpa gangguan. Durasi penjagaannya pun bervariasi, berkisar antara 15 hari bagi warga biasa, 21 hari bagi ibu yang meninggal saat hamil, sampai 40 hari bagi bayi yang baru lahir.Namun seiring pergeseran zaman, relevansi mitos tersebut sudah memudar. Aspek praktis lain muncul, seperti perlindungan dari hewan liar yang berpotensi merusak gundukan tanah makam yang masih baru dan basah.Beberapa pandangan juga mengaitkannya dengan pencegahan pencurian bagian jenazah, seperti tali pocong yang dikhawatirkan disalahgunakan bagi praktik ilmu hitam atau jimat.Ilustrasi jimat di kotak uang pedagang. Foto: Iqbal Firdaus/kumparanLebih dalam dari sekadar perlindungan fisik atau mistis, Ajegeh Khobur merupakan bentuk penghormatan tertinggi dan terakhir dari yang hidup kepada yang berpulang. Penjagaan makam tidak berlangsung dalam senyap.Warga yang berjaga sering kali mendirikan tenda sederhana dan mengisi malam dengan aktivitas spiritual. Pembacaan ayat suci Al-Qur'an, tahlil, dan doa bersama terus mengalun. Proses tersebut menjadi simbol bahwa keluarga dan kerabat tidak membiarkan almarhum sendirian, bahkan setelah raga terkubur tanah.Ajegeh Khobur sebagai Perekat Sosial Lintas GenerasiFungsi spiritual Ajegeh Khobur berjalan beriringan dengan fungsi sosialnya yang sangat kuat. Penjagaan kubur bukanlah tugas individu, melainkan tanggung jawab komunal. Keluarga, kerabat, tetangga, bahkan tokoh masyarakat dan perangkat desa, turut hadir secara sukarela. Lazimnya, sekitar 20 orang atau lebih akan terlibat dalam satu malam penjagaan.Proses tersebut menciptakan ruang perjumpaan yang unik. Di area pemakaman, warga mendirikan tenda, menyalakan penerangan, dan beraktivitas layaknya berkemah. Teruntuk mengusir kantuk dan dinginnya malam, pihak keluarga almarhum biasanya menyediakan kopi, teh hangat, dan penganan ringan. Suasananya jauh dari kata seram, sehingga yang tercipta justru kehangatan dan kebersamaan.Pemakaman Pondok Ranggon di Jakarta. Foto: Willy Kurniawan/REUTERSDi sinilah Generasi Z Desa Wringin menemukan perannya. Para pemuda terlibat dalam jadwal piket, berbaur dengan para orang tua. Dalam suasana santai di tenda penjagaan, terjadi obrolan lintas generasi. Para sesepuh menceritakan kisah-kisah lama, sementara yang muda membawa perspektif baru.Ajegeh Khobur bertransformasi menjadi semacam "pos ronda" spiritual, sebuah ruang yang memaksa warganya untuk berinteraksi secara langsung, berbagi cerita, dan memperkuat ikatan sosial. Solidaritas yang sering tergerus oleh kesibukan individu, sehingga ditempa kembali dalam ritual menjaga kubur.Generasi Z dan (Re)Interpretasi Makna TradisiGenerasi Z dikenal sebagai digital natives yang skeptis, rasional, dan hidup dalam tempo cepat. Bagaimana bisa tradisi yang menuntut komitmen waktu berhari-hari dapat dilakukan di pemakaman dan berakar dari mitos masa lalu, sehingga bisa tetap relevan bagi kalangan muda? Jawabannya terletak pada kemampuan reinterpretasi atau penafsiran ulang makna.Bagi banyak anak muda Wringin, partisipasi dalam Ajegeh Khobur sudah bukan lagi didasari oleh ketakutan terhadap mitos Godong. Kepercayaan pada hal tersebut boleh jadi sudah bergeser. Namun, para pemuda menemukan makna-makna baru yang jauh lebih relevan dengan nilai-nilai yang dipegang.Ilustrasi berbakti kepada orang tua. Foto: Getty ImagesMakna pertama yaitu bakti (devosi). Terlibat dalam Ajegeh Khobur merupakan wujud bakti dan cinta kasih yang nyata kepada anggota keluarga atau tetangga yang meninggal. Hal tersebut merupakan pelayanan terakhir yang menjadi sebuah pembuktian konkret bahwa ikatan kekeluargaan jauh lebih kuat dari sekadar ucapan belasungkawa di media sosial.Makna kedua yaitu identitas. Di era homogenisasi budaya, memiliki sesuatu yang unik merupakan sebuah kebanggaan. Ajegeh Khobur menjadi "sesuatu" yang hanya dimiliki Desa Wringin. Para pemuda menyadari bahwa ritual tersebut merupakan pembeda yang bermakna sebuah cultural capital yang membuat desa tempat tinggalnya istimewa. Saat seorang pemuda Wringin menceritakan tradisi tersebut kepada orang luar, ada rasa bangga yang tersirat.Makna ketiga yang tidak disadari yaitu detoks digital. Tradisi Ajegeh Khobur memaksa pesertanya untuk hadir utuh secara fisik. Selama berjam-jam berjaga di malam hari, fokus teralihkan dari layar gawai. Perhatian tertuju pada obrolan, suara alam, dan lantunan ayat suci. Pengalaman komunal tersebut menawarkan jeda dari hiruk-pikuk dunia maya, sebuah kemewahan yang jarang didapat di zaman sekarang.Identitas Wringin yang Terjaga dalam RitualPada akhirnya, Ajegeh Khobur bertahan bukan karena paksaan, melainkan karena terus-menerus diberi makna baru oleh setiap generasi. Bagi masyarakat Desa Wringin, tradisi tersebut sudah melampaui fungsi awalnya. Ajegeh Khobur merupakan sebuah identitas.Ilustrasi suasana kuburan di Wringin. Sumber: pexels.comKeberlangsungan ritual tersebut menjadi bukti hidup bahwa masyarakat Desa Wringin yaitu adanya komunitas yang peduli, komunal, dan sangat menghormati leluhur serta proses kehidupan dari lahir sampai wafat. Identitas komunal tersebut terus dirawat, salah satunya melalui keterlibatan aktif Generasi Z.Generasi muda Wringin tidak melihat Ajegeh Khobur sebagai warisan kaku yang harus dipikul. Sebaliknya, kalangan muda melihatnya sebagai kanvas, tempat para pemuda dapat menorehkan makna baru seperti makna tentang bakti, kebersamaan, dan kebanggaan tanpa harus menghapus makna lama yang digariskan para pendahulu.Ritual Ajegeh Khobur di Desa Wringin merupakan sebuah anomali yang indah di zaman modern, sebuah pengingat bahwa teknologi boleh berlari kencang, tetapi ada nilai-nilai kemanusiaan mendasar yang hanya bisa dirawat melalui kehadiran fisik dan kebersamaan yang tulus.Generasi Z Desa Wringin tampaknya memahami hal tersebut dengan sangat baik. Tindakan "menjaga" sampai sekarang memiliki makna ganda berupa menjaga yang sudah wafat sekaligus menjaga identitas unik desa agar tidak tergerus zaman.