Ilustrasi perempuan mendengarkan lagu sedih saat patah hati. Foto: Kanjanee Chaisin/ShutterstockAnak perempuan pertama sering dipuji karena tangguh, mandiri, dan bisa diandalkan. Namun, di balik pujian itu, ada realitas yang jarang dibicarakan: menjadi kuat bukan selalu pilihan, melainkan konsekuensi dari tuntutan yang menumpuk sejak kecil. Dalam banyak keluarga—terutama di Indonesia yang masih memegang nilai tradisional dan patriarki—anak perempuan pertama sering kali tumbuh dengan beban tanggung jawab ganda, yaitu sebagai kakak dan sebagai figur “pengganti ibu”.Eldest Daughter Syndrome dan Tanggung Jawab yang Tak Pernah SelesaiMenurut Magdalene.co, istilah “Eldest Daughter Syndrome” digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika anak perempuan pertama terbiasa memikul tanggung jawab berlebih, baik secara fisik maupun emosional. Mereka sering kali menjadi sosok yang menenangkan adik, membantu orang tua, dan memastikan segalanya berjalan baik di rumah.Fenomena ini menunjukkan bahwa peran gender dan urutan kelahiran punya pengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Dalam konteks sosial yang menilai perempuan dari seberapa “berkorban” dan “penurut” mereka, anak perempuan pertama sering kali dibentuk untuk menahan diri, menunda keinginan pribadi, dan menomorduakan perasaannya demi orang lain.Menurut saya, ini bukan sekadar masalah peran keluarga, melainkan juga bentuk ketimpangan emosional yang diwariskan secara sosial. Ketika anak perempuan pertama terus diposisikan sebagai penjaga stabilitas keluarga, mereka belajar bahwa kasih sayang harus diperoleh lewat pengorbanan.Ilustrasi anak perempuan belajar. Foto: ShutterstockAkibatnya, banyak yang tumbuh dengan pola pikir bahwa mencintai berarti menanggung, padahal itu tidak seharusnya menjadi standar dalam hubungan apa pun, termasuk keluarga.Kekuatan mereka terlihat luar biasa, tapi sering kali tumbuh dari tempat yang salah: dari rasa takut mengecewakan dan dorongan untuk terus “berguna”. Mereka kuat bukan karena ingin, melainkan karena merasa tidak punya pilihan lain.Ketika “Kuat” Artinya Tak Boleh LelahPenelitian dari Universitas Negeri Medan (UNIMED) menunjukkan bahwa sekitar 14,2% anak perempuan sulung mengalami tekanan emosional signifikan akibat peran mereka di keluarga.Angka ini kecil di atas kertas, tapi besar dalam realitas sosial. Banyak anak perempuan pertama tumbuh dengan perasaan bahwa kelemahan adalah sesuatu yang harus disembunyikan. Mereka belajar menampilkan senyum meski lelah; menenangkan orang lain meski diri sendiri butuh ditenangkan.Ilustrasi mata lelah. Foto: Prostock-studio/ShutterstockSaya beranggapan kalau ini adalah bentuk kelelahan yang kompleks bukan sekadar fisik, melainkan emosional dan eksistensial. Mereka lelah karena terus berperan tanpa pernah benar-benar berhenti. Masalahnya, masyarakat sering kali memuji mereka karena ketangguhan itu.“Dia hebat banget, nggak pernah ngeluh,” sering menjadi kalimat pujian, padahal di baliknya bisa jadi ada rasa kesepian dan tekanan besar. Dengan kata lain, mereka tidak diberi ruang untuk menjadi manusia biasa. Ketika “kuat” sudah menjadi identitas, “lemah” dijadikan dosa sosial.Kekuatan yang Terlihat, Luka yang TersembunyiMenurut Pijar Psikologi, banyak orang tua beranggapan bahwa memberi tanggung jawab lebih pada anak pertama akan membuat mereka lebih siap menghadapi hidup. Namun, tanpa validasi emosional yang cukup, hal itu justru menciptakan luka batin yang tidak disadari.Salah satu kesalahan terbesar masyarakat adalah menganggap ketangguhan sebagai ukuran nilai diri. Padahal, kekuatan yang dipaksa bukan kekuatan sejati. Banyak anak perempuan pertama hidup dalam peran “kuat” karena tidak tahu bagaimana cara menjadi sebaliknya. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya meminta bantuan tanpa rasa bersalah, atau menunjukkan kesedihan tanpa takut dianggap lemah.Ilustrasi topeng. Foto: Faiz Dila/ShutterstockKetika kekuatan menjadi topeng, luka di baliknya menjadi tak terlihat. Dan di sinilah bahayanya luka emosional yang tidak diakui bisa menumpuk dan suatu hari muncul dalam bentuk kelelahan mental, burnout, atau bahkan kesulitan dalam hubungan pribadi. Kekuatan sejati seharusnya lahir dari keseimbangan antara tanggung jawab dan penerimaan, bukan dari tekanan untuk terus bertahan.Membangun Ruang untuk jadi Manusia, bukan hanya KakakPenelitian UNIMED juga menegaskan pentingnya dukungan sosial dalam menjaga kesehatan mental anak perempuan sulung.Padahal, dukungan sosial bukan soal bantuan materi, melainkan juga pengakuan atas perasaan dan batas kemampuan. Masyarakat perlu mengubah narasi dari “anak pertama harus kuat” menjadi “anak pertama juga boleh lemah”.Karena selama yang dihargai hanya hasil, bukan proses atau kesejahteraan batin, pola kelelahan ini akan terus berulang dari generasi ke generasi.Ilustrasi anak perempuan belajar. Foto: ShutterstockAnak perempuan pertama tidak butuh diminta selalu kuat. Mereka butuh diakui saat sedang rapuh, butuh didengarkan tanpa dihakimi. Memberi ruang seperti ini bukan berarti melemahkan mereka, justru memperkuat karena kekuatan sejati lahir dari rasa aman, bukan dari tekanan.Menjadi anak perempuan pertama memang membentuk seseorang jadi tangguh. Namun, tangguh tidak seharusnya berarti menanggung segalanya sendirian. Sudah saatnya masyarakat berhenti memuji ketegaran yang lahir dari penderitaan.Kita perlu untuk mulai melihat kekuatan bukan sebagai kewajiban, melainkan sebagai pilihan sadar pilihan untuk tetap berjuang tanpa kehilangan diri sendiri.Pada akhirnya, anak perempuan pertama juga manusia. Mereka berhak lelah, berhak gagal, dan berhak hidup tanpa harus selalu menjadi contoh. Karena menjadi kuat seharusnya bukan beban yang diwariskan, melainkan hasil dari kehidupan yang memberi ruang untuk tumbuh dengan utuh.