Celios: Pembatasan Izin Smelter Nikel Harus Jadi Awal Komitmen Lingkungan, Bukan Sekadar Administrasi

Wait 5 sec.

Foto udara smelter milik PT Vale Indonesia Tbk di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Jumat 28 Juli 2023. (ANTARA FOTO/Jojon)JAKARTA - Pemerintah resmi membatasi izin baru smelter nikel melalui PP Nomor 28 Tahun 2025. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah koreksi terhadap ekspansi berlebihan industri nikel. Namun, lembaga penelitian Celios menegaskan pembatasan ini harus menjadi awal komitmen lingkungan yang nyata, bukan sekadar pembatasan administratif.Pembatasan izin ini berlaku bagi perusahaan pengolahan nikel baru yang memproduksi produk antara, baik dengan teknologi pirometalurgi (RKEF) maupun hidrometalurgi (HPAL). Saat ini, Indonesia sudah memiliki 54 smelter nikel yang beroperasi, 38 dalam tahap konstruksi, dan 45 masih dalam perencanaan. Kondisi tersebut dinilai berperan dalam oversupply produksi nikel olahan di pasar ekspor.Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pembatasan izin smelter nikel baru sebaiknya diikuti dengan ketegasan regulasi, konsistensi kebijakan dan peta jalan dekarbonisasi yang menjunjung tinggi perlindungan lingkungan dan hak masyarakat di wilayah tambang.“Keputusan moratorium izin smelter nikel baru perlu disertai dengan moratorium izin tambang nikel,” kata Bhima dalam keterangan resmi, Minggu, 9 November.Lebih lanjut, dia mengatakan jumlah Rencana Keuangan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang tahun ini disetujui oleh Kementrian ESDM sudah sebanyak 292 izin, dengan total IUPK seluas 866.292 Ha.“Dengan luasan konsesi yang begitu besar dan izin tambang yang terus bertambah, meski izin smelter baru di moratorium namun tanpa kontrol di sektor hulu hanya akan memindahkan tekanan dari industri pengolahan ke kawasan tambang, memperparah kerusakan ekologis dan konflik sosial,” tuturnya.Dalam laporan bersama, Celios dan CREA mencatat potensi kerugian pendapatan petani dan nelayan di wilayah tambang nikel mencapai 234,84 juta dolar AS atau sekitar Rp3,64 triliun dalam 13 tahun ke depan. Selain itu, aktivitas industri nikel juga berpotensi menimbulkan lebih dari 3.800 kematian dini pada 2025 dan hampir 5.000 kasus pada 2030.Selain itu, Celios juga menyoroti kontradiksi pemerintah yang tetap mendorong proyek smelter baru di tengah moratorium. Pemerintah melalui Danantara berencana membiayai proyek smelter milik Vale Indonesia (INCO) dan GEM Co. Ltd. dari China.“Keputusan pemerintah di tengah kebijakan pembatasan izin smelter, menunjukkan kontradiksi serius dalam arah kebijakan industri nikel nasional. Kontradiksi ini memperlihatkan inkonsistensi kebijakan: di satu sisi pemerintah berupaya menahan ekspansi, tetapi di sisi lain tetap mendorong investasi baru melalui skema pembiayaan negara,” kata Bhima.Sementara itu, Peneliti Celios, Attina Rizqiana mengatakan pembatasan terhadap izin smelter nikel, juga harus ditindak lanjuti dengan pembatasan pada IUPK perusahaan, yang notabene memiliki izin pertambangan, konsesi maupun pengolahan nikel.“Tidak luput, langkah tegas juga harus diambil terkait perusahaan yang masih dalam tahap rencana pembangunan fasilitas, juga terkait batas waktu pembatasan,” kata Kiki.Kiki mengatakan langkah yang diambil pemerintah menimbulkan kesan kuat bahwa pengendalian ekspansi industri nikel di Indonesia masih didorong oleh pertimbangan ekonomi semata, bukan dimotori atas komitmen terhadap dekarbonisasi dan perlindungan lingkungan.“Proyek-proyek smelter yang bergantung pada pembangkit energi fosil termasuk PLTU on grid dan PLTU captive, berpotensi memperbesar jejak emisi sektor mineral justru di tengah klaim transisi energi hijau. Ditambah lagi dengan peluasan konsesi yang berdampak pada deforestasi dan hilangnya ruang hidup dan penghidupan masyarakat,” ujar Kiki.Menurut Kiki, tanpa adanya pembatasan yang sejalan di tingkat hulu (IUP), peta jalan dekarbonisasi yang tegas, dan integrasi kebijakan lingkungan yang nyata, kebijakan pembatasan IUI berisiko menjadi langkah kosmetik.“Seolah memperlambat ekspansi secara administratif, tapi tidak mengubah arah struktural pembangunan industri yang masih berbasis ekstraktivisme dan emisi tinggi,” tutup Kiki.