Ilustrasi Jalan Braga, Bandung. Foto: erick cxsx/ShutterstockDi Kota Bandung, denyut kehidupan urban tidak hanya ditandai oleh kafe dan taman kota, tetapi juga oleh suara mesin pabrik, langkah kaki pekerja kontrak, dan deru motor ojek daring yang berpacu melawan waktu. Mereka adalah wajah sesungguhnya dari kota ini—para buruh atau kelas pekerja yang setiap hari menggerakkan ekonomi, tetapi sering kali menjadi kelompok yang paling lemah ketika kebijakan publik tidak berpihak.Dalam pandangan kaum kelas pekerja, pemerintah kota bukan sekadar lembaga administratif, melainkan simbol keadilan sosial. Dari sosok para pemimpinnya, para kelas pekerja menaruh harapan agar keadilan ekonomi tidak berhenti di meja rapat, tetapi menjelma dalam kebijakan yang benar-benar melindungi pekerja di tengah kerasnya dunia kerja hari ini.Janji dan Realitas Keadilan SosialSelama bertahun-tahun, isu kesejahteraan kelas pekerja di Bandung tidak banyak berubah. Setiap kali pembahasan Upah Minimum Kota (UMK) berlangsung, suara pekerja sering kali kalah oleh pertimbangan “iklim investasi” dan “daya saing daerah”. Pemerintah kota berdalih perlu menjaga minat investor, sementara para pekerja merasa dikhianati oleh logika pembangunan yang mengorbankan mereka di altar pertumbuhan ekonomi.Bagaimana tidak? Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat—tetapi Kota Bandung dihadirkan dengan semakin bertambahnya angka pengangguran—pemberian upah minimum kepada pekerja masih terjadi, bahkan para dosen dari berbagai kampus pun mengalami hal tersebut. Kota yang dikenal dengan banyaknya kampus terbaik justru memberikan kesejahteraan para pendidiknya di bawah upah minimum.Ilustrasi Ketimpangan Kebijakan. Generate AI.Pemerintah kota sering muncul di hadapan publik dengan komitmen meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk pekerja. Namun di lapangan, banyak pekerja masih hidup di bawah garis aman kebutuhan hidup layak. Harga sewa rumah, biaya transportasi, hingga kebutuhan dasar terus meningkat, sementara kenaikan upah tak pernah mampu mengejar inflasi kota yang semakin tinggi.Pekerja dan Politik Kota: Antara Representasi dan SimbolikBandung—sebagai kota dengan sejarah panjang gerakan buruh—sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi contoh hubungan industrial yang adil. Namun, hubungan antara pemerintah kota dan organisasi pekerja lebih sering berhenti pada ruang seremonial: pertemuan tahunan, forum konsultatif, dan foto-foto bersama.Pekerja menyebut pola ini sebagai “partisipasi semu”. Hal ini pun juga dapat terjadi ketika para perwakilan pekerja mewakili siapa: apakah mewakili dominasi pekerja industri di Kota Bandung atau hanya justru sebagian kecil pekerja saja? Karena kebijakan terbaik itu berangkat dari partisipasi publik, bukan sifat “parno-isme” karena khawatir di demo yang sering dimiliki oleh para pemimpin birokrat saat ini.Mari bicara mengenai partisipasi publik. Jika direpresentasikan dengan para anggota dewan sebagai tempat konsultasi pemerintah kota sebelum mengeluarkan kebijakan, timbul pertanyaan: Apakah suara anggota dewan saat ini mewakili mayoritas jumlah warga?Ilustrasi masyarakat. Foto: Dmitry Nikolaev/ShutterstockJelas tidak. Jika dihitung suara yang mewakili para anggota dewan itu, dari total warga, suara berada di bawah 50%, sehingga konsep kolaborasi itu harus dibedah lagi agar maknanya tidak menjadi bias dan tidak hanya mengandalkan perangkat legislatif hasil pemilihan umum yang konon masih sarat dengan politik uang.Padahal, jika pemerintah kota mau menempatkan serikat pekerja yang mewakili dominasi industri yang ada di Kota Bandung—serta partai-partai non parlemen sebagai mitra sejajar dalam perumusan kebijakan—Bandung dapat menjadi model kota yang berkeadilan sosial di Indonesia. Pemerintah kota memiliki peran strategis untuk menegakkan paradigma baru: bahwa kota yang adil bukan diukur dari banyaknya investasi, melainkan dari seberapa layak hidup para pekerjanya.Kebijakan Ketenagakerjaan: Perlu Arah yang Lebih TegasPemerintah Kota Bandung memang telah meluncurkan berbagai program pelatihan kerja, inkubasi wirausaha, hingga kerja sama dengan industri kreatif. Namun, di mata kelas pekerja, program-program itu lebih cocok disebut “tambal sulam sosial”, ketimbang solusi struktural.Pelatihan tidak akan banyak berarti jika peluang kerja yang layak tetap sempit. Begitu pula dengan pelatihan kewirausahaan, yang bagi banyak pekerja hanya menjadi pelarian dari sistem kerja upahan yang tidak menjamin kesejahteraan.Ilustrasi pekerja migran. Foto: Hafiz Johari/ShutterstockPersoalan sesungguhnya terletak pada lemahnya regulasi pengawasan ketenagakerjaan. Banyak perusahaan masih mempekerjakan buruh kontrak jangka panjang tanpa kepastian, tidak membayar lembur, dan mengabaikan hak normatif dan jaminan sosial.Di sinilah peran pemerintah kota menjadi krusial: memastikan bahwa hukum ketenagakerjaan dijalankan bukan hanya di atas kertas, melainkan dalam realitas sosial setiap pabrik, hotel, restoran, perkantoran dan perusahaan rintisan di kota ini.Maka, pertimbangan dapat dilakukan dengan membentuk kembali dewan pengawasan ketenagakerjaan di Kota Bandung. Karena ketika dewan pengawasan ketenagakerjaan ditarik menuju tingkat provinsi, fakta membuktikan semakin banyak penyimpangan terjadi di mana-mana; wilayah Jawa Barat terlalu luas, warganya terlalu banyak.Ketimpangan Baru di Era DigitalFenomena Digitalisasi—pekerja lepas seperti kurir, ojek daring, dan digital freelancer—juga membuka babak baru dalam perdebatan kesejahteraan pekerja. Di Bandung, banyak orang kini menggantungkan hidup pada aplikasi digital tanpa perlindungan sosial yang memadai. Mereka bukan lagi pekerja dalam definisi klasik, melainkan tetap pekerja dalam makna ekonomi: menjual tenaga demi upah.ilustrasi Museum Bersejarah Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat. Foto: AlfadillahSayangnya, regulasi di tingkat kota belum sepenuhnya menjangkau mereka. Pemerintah kota masih terjebak dalam paradigma lama, seolah-olah pekerja hanya mereka yang bekerja di pabrik. Padahal, wajah pekerja Bandung hari ini sangat beragam—dari pekerja tekstil hingga freelancer di coworking space.Di sinilah dibutuhkan visi dan misi jauh ke depan. Idealnya, pemerintah kota harus menghadirkan kebijakan ketenagakerjaan yang adaptif dan inklusif, yang mengakui bentuk kerja baru tanpa kehilangan esensi perlindungan sosial karena keadilan sosial tidak akan dapat terwujud jika tidak adanya perlindungan sosial.Bandung yang Berpihak pada PekerjaKelas Pekerja tidak menuntut keajaiban. Mereka hanya menginginkan keberpihakan yang nyata—agar kota ini tumbuh bukan di atas ketimpangan, melainkan di atas keadilan. Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung yang baru saat ini memiliki kesempatan untuk menciptakan warisan politik yang kuat: menjadi pemimpin yang berani menempatkan pekerja sebagai pusat pembangunan.Bandung sudah terkenal sebagai kota kreatif, tetapi belum dikenal sebagai kota yang adil bagi pekerjanya. Dengan adanya kepemimpinan baru, mungkin inilah saatnya mengubah arah: dari kota yang ramah investor menjadi kota yang ramah pekerja.Proses revitalisasi rumput sintetis di area Taman Alun-alun Kota Bandung, pada Jumat (16/8/2024). Foto: Robby Bouceu/kumparanSebab pada akhirnya, keindahan taman kota, proyek revitalisasi, dan slogan-slogan apa pun tak akan berarti jika di baliknya masih ada pekerja yang hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian.Di mata kelas pekerja, pemimpin ideal adalah mereka yang berani mengambil risiko politik untuk berpihak pada yang lemah; yang tidak hanya menandatangani keputusan administratif, tetapi juga menegakkan moral sosial: bahwa setiap keringat pekerja adalah bagian dari pembangunan kota.Jika Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung mampu menghadirkan keberpihakan semacam itu—bukan dalam pidato, tetapi dalam tindakan konkret—sejarah akan mencatatnya bukan sekadar sebagai pejabat daerah saja, melainkan juga sebagai pemimpin rakyat sejati.