Satu Tahun Hukum di Era Prabowo: Menegakkan Keadilan dan Kepastian Hukum

Wait 5 sec.

Ilustrasi Hukum. Foto: ShutterstockPemerintahan Prabowo dalam satu tahun ini menunjukkan tantangan hukum yang kompleks, tetapi langkah konkret dapat memperkuat supremasi hukum yang adil dan memastikan kepastian hukum bagi semua warga.Setahun sudah memimpin dan menegakkan hukum di Indonesia, Presiden Prabowo Subianto menanggung harapan besar publik terhadap penegakkan hukum yang adil, tegas, dan konsisten. Realitas menunjukkan tarik-menarik antara kepastian hukum formal dan keadilan substantif, tetapi peluang untuk memperkuat supremasi hukum tetap terbuka.Ketika Hans Kelsen (1967) memandang hukum harus ditaati apa adanya (law as it is), Gustav Radbruch (1946) menegaskan bahwa hukum yang bertentangan dengan keadilan moral kehilangan legitimasinya (radbruch formula). Sementara itu, Ahli Hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo (2006) berpandangan bahwa hukum harus hidup dan berpihak pada kemanusiaan, Prinsip-prinsip ini menjadi landasan penting bagi langkah-langkah konkret yang menyeimbangkan keadilan dan kepastian hukum.Prinsip-prinsip hukum di atas tidak berhenti pada tataran konseptual, tetapi menemukan relevansinya ketika dihadapkan pada praktik aktual. Dalam konteks ini, peristiwa relevan yang dapat menjadi contoh yakni pemberian abolisi Presiden Prabowo kepada Tom Lembong, Menteri Perdagangan Periode 2015-2016. Melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2025, Presiden menghapus pidana dan proses hukum terkait kasus korupsi impor gula senilai Rp194,7 miliar. Meskipun sah secara konstitusional, muncul perbedaan pendapat karena potensi anggapan ketimpangan keadilan. Mengacu pada prinsip Radbruch (1946), publik berhak menilai apakah keputusan tersebut benar-benar berpihak pada keadilan substantif atau sekadar menegakkan kepastian hukum. Oleh karena itu, transparansi dan penjelasan terbuka mengenai dasar pertimbangan keputusan menjadi penting untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi hukum.Penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia juga penting menjadi perhatian. Kasus tewasnya 15 penambang emas akibat penembakan di Yahukimo pada 2025, menunjukkan bahwa konflik di Papua masih menimbulkan korban sipil (Human Rights Watch, 2025). Penyelesaian melalui mekanisme non-yudisial yang transparan meliputi mediasi, pengawasan independen, dan reparasi bagi korban dapat menghadirkan keadilan nyata dan mencegah eskalasi konflik.Di ranah digital, penegakkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) 11 Tahun 2008 sering tampak selektif. Aktivis dan wartawan lebih sering dijerat, sementara penyebar disinformasi jarang ditindak (SAFEnet, 2025). Penting bagi pemerintah untuk merumuskan pedoman penegakan UU ITE yang proporsional dan berbasis bukti, sehingga kebebasan berekspresi terlindungi tanpa mengurangi upaya memerangi disinformasi. Di samping itu, edukasi publik mengenai batasan hukum digital akan memperkuat kesadaran hukum di masyarakat.Selanjutnya, perlindungan terhadap anak-anak menjadi salah satu indikator penting keadilan hukum. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 menegaskan hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun realitanya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2004) melaporkan adanya 2.057 kasus pelanggaran hak anak yang ditangani. Angka ini menunjukkan bahwa pelanggaran hak-hak anak masih menjadi persoalan yang perlu mendapat perhatian serius. Dengan adanya penguatan aparat penegak hukum, melalui pembentukan unit khusus perlindungan anak serta percepatan proses hukum yang ramah anak, perlindungan terhadap hak-hak anak dapat lebih terjamin. Selain itu, keterlibatan masyarakat sipil turut menjadi penopang penting dalam mengawasi dan memastikan kebijakan tersebut berjalan secara efektif.Reformasi lain, seperti digitalisasi pengadilan, pembenahan birokrasi kejaksaan, dan penataan satgas anti-mafia tanah, dapat menunjukkan niat pemerintah memperkuat sistem hukum. Agar reformasi ini efektif, diperlukan adanya pendekatan holistik dan keterlibatan publik yang konsisten.Secara umum, penegakan hukum di era Prabowo menghadapi dilema klasik antara keadilan tanpa kepastian dan kepastian tanpa keadilan. Dalam hal ini, keadilan tanpa kepastian menimbulkan kekacauan, sementara kepastian tanpa keadilan menimbulkan ketidakpercayaan publik. Dengan mengeluarkan keputusan yang transparan, mekanisme penegakan HAM yang inklusif, implementasi UU ITE yang proporsional, dan perlindungan anak yang efektif, maka kepercayaan publik terhadap supremasi hukum di era Prabowo akan membaik.Sejalan dengan Radbruch, di atas hukum tertulis ada hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan itu sendiri. Hukum bukan sekadar formalitas tetapi ia harus menjadi alat perlindungan dan keadilan bagi rakyat. Masa depan supremasi hukum Indonesia bergantung pada implementasi prinsip ini.