Penegakan Hukum Prioritas

Wait 5 sec.

Ilustrasi penangkapan pelaku kejahatan. Foto: pixabay.comCukup menyita perhatian publik saat kejaksaan agung menyerahkan uang pengembalian hasil korupsi CPO kepada Menkeu yang disaksikan Presiden Prabowo beberapa waktu lalu. Uang yang diperlihatkan ke publik itu totalnya sekitar Rp13 triliun. Dalam sambutannya, presiden mengatakan bahwa ini menunjukkan keseriusan negara dalam penyelamatan aset atau kekayaan negara.Belum lama ini, Presiden Prabowo menyerahkan aset tambang timah yang berasal dari sitaan negara dari kegiatan ilegal sebuah perusahaan swasta. Dalam penyerahan aset sitaan ke PT Timah, Tbk tersebut, Presiden Prabowo mengatakan terdapat potensi nilai sitaan Rp132 triliun dan sebelumnya negara dirugikan akibat korupsi timah sebesar Rp300 triliun.Deretan berita pengembalian kekayaan negara tersebut tentunya mengundang apresiasi dari rakyat sekaligus mengonfirmasi bahwa negara hadir dalam penyelamatan uang negara. Terlebih lagi, objek korupsinya sangat besar dan material yang mencapai triliunan rupiah.Strategi seperti inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah dalam penegakan hukum. Karena sebagai negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, tingkat kesejahteraan yang masih rendah, dan akses pendidikan yang masih minim, dibutuhkan pendanaan yang besar dalam membangun negara.Ilustrasi menetapkan anggaran Foto: ShutterstockSetiap kebocoran anggaran akan sangat memperlambat pembangunan negara. Program-program pemerintah tidak akan maju, bahkan cenderung jalan di tempat. Maka, peran lembaga penegak hukum untuk menjaga aset negara sangat diperlukan.Keberadaan hukum harus mampu menjawab potensi kebocoran anggaran. Salah satu ukuran kinerja hukum adalah sejauh mana anggaran belanja di bidang hukum mampu mencegah potential lost dari keuangan negara, atau mengembalikan kerugian yang sudah terjadi.Rumpun hukum pemikiran tersebut lebih dikenal dengan istilah economic analysis of law yang dipopulerkan oleh Richard Posner (1975). Posner dalam pemikirannya mengatakan bahwa hukum harus dapat menjadi alat yang dapat mengukur efisiensi sebuah kebijakan.Kebijakan tersebut harus terukur dampak positifnya secara ekonomi, sehingga dalam kacamata negara, uang negara yang sudah tersedia dalam APBN akan menjadi program-program produktif dan kontributif bagi pembangunan sebuah bangsa.Ilustrasi Transaksi atau Uang Rupiah. Foto: ShutterstockBisa dibayangkan, jika uang negara dalam APBN digunakan untuk program yang asal-asalan dan tidak untuk membuat program-program produktif serta berdampak positif, pembanguanan negara bisa jalan di tempat; apalagi jika potensi sumber pendapatan untuk APBN atau anggaran yang ada di APBN tersebut dikorupsi atau disalahgunakan. Betapa turbulensinya rencana pembangunan sebuah bangsa ke depan.Tinjauan InterdisiplinerMelihat dari teori Posner tersebut, negara seharusnya menempatkan penegakan hukum sebagai metode dalam menjawab masalah sebuah bangsa dengan pendekatan yang dikaitkan dengan kondisi warga negaranya. Jadi, bukan hanya soal penegakan hukum secara tunggal yang hanya melihat pada aspek regulasi saja, seperti hanya soal pemidanaan pelaku kejahatan, melainkan juga dengan mengombinasikan secara interdisipliner dari berbagai bidang.Dalam studi hukum kontemporer, model pendekatan dengan interdisipliner sudah kerap dilakukan dan mungkin bisa coba menggunakan model yang dikembangkan Cass Robert Sunstein, seorang Profesor Hukum dari Amerika yang mengembangkan tentang implementasi crutial relationship antara perilaku ekonomi, hukum, dan kesejahteraan (2023).Sunstein, dalam pandangannya, mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara perilaku ekonomi, kebijakan hukum, dan tingkat kesejahteraan manusia. Crutial relationship dalam konteks ini mungkin bisa kita terjemahkan: bahwa saat tingkat kesejahteraan masih rendah, prioritas penanganan hukum lebih difokuskan pada kejahatan yang sangat material atau yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Mengapa? Karena negara masih membutuhkan pendanaan yang sangat banyak. Jika negara sudah maju dan tingkat kesejahteraan tinggi, penanganan kejahatan bisa bergeser fokus pada isu-isu yang tidak material.Ilustrasi kejahatan kerah putih. Foto: Billion Photos/ShutterstockApakah yang tidak material tidak penting? Di sinilah kita perlu melihat secara komperhensif menggunakan helicopter view. Pertama dari sisi prioritas; Setidaknya saat ini, negara sedang defisit APBN sekitar Rp662 triliun. Tentunya, negara perlu kerja ekstra pada tahun-tahun mendatang untuk menutup defisit anggaran dan menghentikan utang negara.Jika dibandingkan dengan penegakan hukum yang tidak material, efektifitasnya tentu sangat berbeda. Katakanlah, saat ini penegak hukum konsentrasinya terpecah pada penanganan kasus-kasus yang tidak material, seperti kasus penghasutan demonstran pada gelombang unjuk rasa September kemarin, seperti Pedro, Syahdan, Muzaffar, Paul, dan masih banyak lagi, bahkan dengan menghadapi upaya pra-peradilan dari mereka.Dari dua perbandingan ini saja, tujuannya sangat jauh. Satu kasus dengan ratusan triliun uang negara yang dikorupsi jika diselamatkan akan membuat tambahan pendapatan negara, yang artinya menyasar pada pencapaian tujuan negara, yaitu melindungi, mencerdaskan, dan menyejahterakan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Namun, kasus yang tidak material, dengan energi yang sama, hanya menyumbang tujuan ‘efek jera’ saja.Kedua, dari sisi deterministik. Suatu hal yang terjadi merupakan akibat dari tindakan-tindakan atau sebab-sebab sebelumnya. Misalnya, mengapa beberapa orang memprovokasi untuk melakukan demonstrasi? Sejauh apa dampaknya? Atau misalkan terkait dengan kasus pencurian: Mengapa dia mencuri? Maka, setiap pengungkapan kejahatan yang tidak material perlu dilihat secara holistik. Apa tindakan kejahatannya dan seberapa besar dampaknya bagi kelangsungan kehidupan manusia.Ilustrasi kejahatan. Foto: ShutterstockApakah hanya dengan pendekatan pemidanaan pada umumnya yang hanya selesai pada efek jera? Jika kasus-kasus tadi ada hubungannya atas peran negara, misalnya aspirasi rakyat yang tidak tersalurkan, atau adanya kemiskinan warga hingga memaksa warga mencuri, seharusnya aparat tidak memaksakan dalam penanganan.Jadi kita bisa ambil pendekatan yang dipakai Posner tadi, seberapa besar anggaran yang dibutuhkan untuk menindak kasus-kasus yang tidak material seperti itu dan seberapa pentingnya kasus tersebut harus diangkat? Jika tidak memiliki dampak secara signifikan, bukannya justru inefisiensi dilakukan oleh penegak hukum? Ini bukan berarti penegakan yang tidak material menjadi dikesampingkan, tetapi prioritas saat ini adalah yang material.Deterrent Effect vs Hedging EffectKita perlu melihat kebijakan yang dibuat negara atas berapa anggaran di bidang hukum yang sudah dikeluarkan dan berapa kejahatan terhadap keuangan negara bisa dicegah, bahkan bisa kembalikan.Sebagai contoh, anggaran kejaksaan di tahun 2025 sekitar Rp24 triliun dan anggaran kepolisian sekitar Rp109 triliun. Artinya, dengan menganggarkan 4% dari total APBN untuk jaksa dan polisi, negara berharap aparat dapat mengamankan uang negara Rp3600-an triliun APBN dan agenda-agenda pembangunannya tidak terganggu.Ilustrasi Uang Rupiah Foto: ThinkstockHal ini dinilai sangat penting, mengingat setiap rupiah uang negara bisa digunakan dalam agenda prioritas pembangunan. Keberadaan hukum perlu dirancang dengan arsitek penegakan hukum yang memprioritaskan sejauh mana keberadaan hukum dapat berkontribusi dalam pembangunan sebuah negara, apalagi pada negara berkembang.Oleh karena itu, agenda strategi penegakan hukum perlu ditata ulang. Dalam penegakan hukum, orientasi penegakan hukum yang paling dominan adalah efek jera (deterrent effect) agar pelaku tidak mengulanginya lagi. Dalam teori hukum, sering dikenal dengan istilah "nepeccetur" (supaya orang jangan melakukan kejahatan).Namun, melihat pada kenyataan saat ini, energi penegak hukum sepertinya harus lebih ditekankan pada bagaimana perlindungan aset, baik untuk negara maupun warga negara, bahkan lebih dari itu, yaitu menjaga lindung nilai dari aset yang sempat di korup (hedging effect).Jika fokusnya masih di orientasi pada efek jera saja, seperti penangkapan demonstran tadi, energi dan biaya penegakan hukum cenderung inefisiensi. Bahkan, terdapat potensi inefisiensi yang lebih besar apabila kebijakan hukum tersebut mendapat reaksi negatif dari masyarakat.Ilustrasi Hukum. Foto: ShutterstockNamun, jika penegak hukum ingin berkontribusi lebih besar dalam urusan menjaga keuangan negara, pendekatan hedging effect yang perlu dilakukan. Penegak hukum sekali bekerja, tetapi dampak nyatanya sangat luas; mampu mencegah korupsi bahkan mengembalikan harta kejahatan, seperti yang belum lama ditunjukkan kejaksaan agung kemarin.Tentunya, hal yang perlu diwaspadai adalah batu sandungan yang selalu ada dalam agenda penegakan hukum yang sangat-sangat material dan besar. Serangan balik dari pelaku korupsi atau terkenal istilah corruptors fight back selalu ada dan bentuknya bermacam-macam; dari ancaman kekerasan sampai serangan siber, atau bahkan provokasi massa dengan isu-isu negatif.Namun, aparat seharusnya tidak perlu khawatir karena Presiden Prabowo, dalam pernyataannya, selalu totalitas mendukung pengungkapan kejahatan yang merugikan kekayaan negara.Aparat seharusnya belajar dari pengungkapan kasus Lava Jato di Brasil Medio pada 2014 lalu. Jaksa, waktu itu, dihadapkan pada kasus pencucian uang para koruptor, bahkan melibatkan beberapa pejabat pemerintahan. Namun dengan kecerdikannya, justru kasus Lava Jato di Brasil saat itu menjadi momentum kampanye anti korupsi, hingga resonansinya terus bergelombang menjadi wujud edukasi anti korupsi kepada masyarakat.