Sektor Informal di Ujung Pajak: Kenapa Mayoritas Usaha Ngumpet dari Pengawasan?

Wait 5 sec.

Sumber: AI GenerateCoba jalan pagi ke pasar tradisional atau lewat gang kecil di kota mana pun. Kamu akan menemukan pedagang gorengan, tukang tambal ban, warung kelontong, hingga penjual online yang mengandalkan transfer antar-bank. Mereka semua adalah wajah nyata sektor informal Indonesia yang dinamis, penuh inisiatif, tapi nyaris tak tersentuh sistem pajak negara.Padahal, roda ekonomi mereka berputar setiap hari. Uang mengalir, transaksi terjadi, tapi negara tidak mendapat sepeser pun pajak dari sebagian besar aktivitas itu.Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, sekitar 59% tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal. Artinya, dari 100 pekerja, 59 di antaranya hidup dari usaha yang tidak memiliki catatan resmi. Dalam bahasa sederhana: lebih dari separuh ekonomi kita tidak terlihat oleh sistem pajak."Ngumpet” Bukan Karena Mau MenghindarBanyak orang sering menyalahkan pelaku UMKM atau pekerja informal karena dianggap enggan bayar pajak. Tapi faktanya, mereka bukan tidak mau tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya.Bayangkan pedagang lontong di pinggir jalan yang omzetnya tidak sampai Rp300 ribu per hari. Ketika disuruh daftar NPWP atau lapor SPT, mereka bingung harus mulai dari mana. Mereka tidak punya pembukuan, tidak punya waktu, dan tidak merasa punya penghasilan besar.Di sisi lain, ada ketakutan tersendiri “Kalau saya daftar pajak, nanti malah ditagih besar.” Padahal, bagi usaha kecil di bawah omzet tertentu, tarif pajaknya bisa hanya 0,5% dari omzet, bahkan ada yang tidak wajib membayar pajak sama sekali. Tapi karena sosialisasi dan literasi pajak masih minim, banyak yang memilih tetap di luar radar.Sistem yang Sibuk, tapi Kurang RamahMasalah lainnya adalah sistem pajak kita yang terlalu “kantoran”. Prosesnya digital, tapi rumit. Istilah-istilahnya teknis. Untuk orang yang terbiasa transaksi tunai di pasar, pelaporan lewat aplikasi DJP Online bukan hal yang mudah.Akibatnya, pelaku ekonomi formal yang sudah punya NPWP terus menjadi “sasaran” utama penerimaan negara. Sementara sektor informal yang jauh lebih besar justru dibiarkan berjalan sendiri tanpa jembatan untuk masuk ke sistem.E-commerce: Peluang Sekaligus Tantangan BaruSekarang banyak UMKM mulai beralih ke platform digital seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, dan sejenisnya. Ini sebenarnya kabar baik, karena transaksi di platform itu bisa tercatat otomatis.Pemerintah pun sedang merancang aturan agar marketplace membantu memotong dan menyetorkan pajak dari penjual. Tapi lagi-lagi, praktik di lapangan belum semulus teorinya. Banyak transaksi masih terjadi lewat chat pribadi, transfer langsung, atau COD. Jadi, digitalisasi belum otomatis membuat usaha menjadi formal.Dan kalau aturannya terlalu kaku, bukan tidak mungkin penjual kecil justru kabur dari platform resmi dan kembali ke jalur “offline”.Pendekatan yang Manusiawi, Bukan RepresifKalau negara ingin memperluas basis pajak, kuncinya bukan menambah ancaman atau denda, tapi membangun *kepercayaan*.Sektor informal tidak akan mau masuk ke sistem pajak jika mereka merasa tidak mendapat manfaat apa-apa. Maka, solusi yang lebih manusiawi bisa dimulai dari hal-hal sederhana:1. Penyederhanaan kepatuhan, Cukup setor pajak mikro lewat QRIS tanpa laporan panjang lebar.2. Insentif nyata, Misalnya, kemudahan akses modal usaha atau pelatihan bisnis bagi pelaku yang mau formal.3. Edukasi berbasis komunitas, Pendampingan langsung di pasar, kelurahan, atau kelompok UMKM, bukan cuma lewat webinar.Kalau formalitas diartikan sebagai jalan menuju kesejahteraan, bukan beban, pelaku usaha kecil akan datang sendiri.Penutup: Pajak yang Mengundang, Bukan MenakutkanSektor informal bukan musuh negara. Mereka justru tulang punggung ekonomi rakyat. Tapi selama sistem pajak masih terasa menakutkan dan birokratis, jangan heran kalau mereka memilih “ngumpet”.Kita butuh paradigma baru: menjaring bukan dengan paksaan, tapi dengan pendekatan yang ramah. Pajak seharusnya jadi simbol partisipasi, bukan sekadar kewajiban.Karena pada akhirnya, pajak yang sehat bukan datang dari banyaknya orang yang takut membayar—tapi dari banyaknya rakyat yang mengerti kenapa mereka perlu ikut membangun.