Populer: Minum Alkohol di Thailand Didenda; Redenominasi Bikin Rupiah Bersaing

Wait 5 sec.

Ilustrasi minuman keras (miras). Foto: ShutterstockBerita populer kumparanBisnis pada Minggu (9/11) yaitu mengenai kebijakan baru pemerintah Thailand yang menerapkan denda bagi konsumen yang minum alkohol di waktu dan tempat yang ditentukan. Selain itu, kabar mengenai rencana pemerintah untuk redenominasi rupiah turut menjadi berita yang banyak dibaca. Berikut ringkasannya:Aturan Baru Thailand: Minum Alkohol Kini Bisa Didenda Rp 5,1 JutaMasyarakat di Thailand kini berisiko kena denda tinggi jika minum atau disuguhi alkohol di waktu atau tempat yang dilarang, sesuai amandemen Undang-Undang Pengendalian Alkohol yang baru disahkan.Mengutip Bloomberg, aturan baru ini juga memperketat larangan iklan minuman beralkohol. Promosi hanya boleh berisi informasi faktual, tanpa melibatkan selebritas atau tokoh publik untuk tujuan komersial.Pelanggaran aturan tersebut bisa diganjar denda mulai 10.000 baht atau sekitar Rp 5,1 juta (kurs Rp 514 per Bath Thailand). Aturan ini juga menegaskan bahwa tanggung jawab bukan hanya di pihak penjual, tapi juga pada konsumen. Meski begitu, beberapa tempat seperti hotel berlisensi dan tempat hiburan dikecualikan.Mulai Sabtu (8/11), siapa pun yang minum alkohol di jam terlarang dapat dikenai sanksi. Perubahan aturan ini memperketat penegakan hukum dan membatasi promosi serta iklan alkohol di Thailand.Bendera Thailand terlihat di depan cakrawala kota dari atas kuil Buddha Wat Saket di Bangkok pada 8 Juli 2025. Foto: Lillian Suwanrumpha/AFPSejak 1972, penjualan alkohol memang dilarang di sebagian besar ritel dan supermarket pada pukul 14.00–17.00. Namun, kini amandemen tersebut menegaskan bahwa orang bisa didenda jika minum atau disuguhi alkohol di waktu atau tempat yang tidak diperbolehkan.Meski ada pengecualian untuk tempat hiburan, hotel, kawasan wisata, dan bandara internasional, aturan baru ini menempatkan tanggung jawab langsung pada konsumen. Penggunaan selebritas, influencer, atau tokoh publik untuk promosi alkohol juga resmi dilarang.“Peraturan baru ini akan berdampak buruk pada restoran karena pelanggan lah yang sekarang ‘dibatasi’ oleh jam penjualan yang telah ditentukan,” ujar Chanon Koetcharoen, Presiden Asosiasi Restoran Thailand.Redenominasi Dinilai Bisa Buat Rupiah Semakin Bersaing dengan Mata Uang GlobalPemerintah kembali berencana melakukan redenominasi rupiah meski Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait kebijakan tersebut. Redenominasi dinilai dapat membuat rupiah lebih kompetitif dibanding mata uang global lainnya.Menurut Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan, redenominasi akan membuat rupiah tidak lagi memiliki nominal besar, melainkan satuan yang lebih kecil. Dengan begitu, transaksi keuangan menjadi lebih sederhana dan potensi kesalahan perhitungan dapat ditekan.“Misalnya USD 1 yang sebelumnya setara Rp 16.000 menjadi Rp 16. Selain itu, redenominasi juga mempermudah transaksi dan meminimalkan kesalahan hitung,” ujar Trioksa kepada kumparan, Minggu (9/11).Petugas menunjukkan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo, Melawai, Jakarta, Senin (15/9/2025). Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTONamun, ia mengingatkan potensi munculnya spekulasi harga sebelum dan sesudah kebijakan diterapkan. Bila tidak diantisipasi, hal itu dapat memicu hiperinflasi. Karena itu, menurutnya, redenominasi sebaiknya dilakukan saat inflasi rendah dan ekonomi tumbuh stabil.“Redenominasi cocok dilakukan dalam kondisi inflasi terkendali dan pertumbuhan ekonomi bagus. Kepercayaan terhadap rupiah sangat bergantung pada stabilitas ekonomi dan politik,” kata Trioksa.Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai redenominasi juga berpotensi menimbulkan efek psikologis terhadap daya beli masyarakat, meskipun bersifat sementara.“Beberapa studi behavioral economics menunjukkan masyarakat merasa harga jadi lebih murah, sehingga cenderung belanja lebih banyak. Dampaknya terhadap kenaikan harga biasanya kecil dan temporer,” jelasnya.Wijayanto menambahkan, pemerintah perlu berhati-hati dalam menyiapkan kebijakan ini karena biayanya tidak sedikit.“Ada biaya yang harus dikeluarkan, terutama untuk pencetakan uang baru sekitar Rp 4–5 triliun dan literasi publik,” ujarnya.