Ilustrasi Anak Perempuan Menangis saat Bersama Ayah. Foto: ShutterstockMenjadi ayah di Indonesia bukan hal yang mudah. Dalam kondisi ekonomi dan kondisi dunia kerja Indonesia sekarang, banyak ayah menanggung beban yang berat. Tak hanya mencari nafkah yang cukup, selain itu dituntut juga untuk menjadi teladan moral, pelindung, dan pengasuh. Dan realitanya, banyak ayah hari ini kewalahan menyeimbangkan semuanya.Krisis “Fatherless” di IndonesiaFenomena fatherless atau “ketiadaan ayah” menjadi isu sosial yang serius. Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut bahwa sekitar 20,9% anak Indonesia tumbuh tanpa keterlibatan ayah yang memadai, baik secara fisik maupun emosional.Sementara riset yang dikutip Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menunjukkan bahwa kondisi fatherless bukan hanya disebabkan perceraian, melainkan juga karena ayah yang terlalu sibuk bekerja, berada jauh dari rumah, atau tidak terlibat aktif dalam pengasuhan anak.Laporan detikEdu (2024) mencatat ada 15,9 juta anak Indonesia yang berpotensi tumbuh tanpa peran ayah optimal. Dari angka itu, 4,4 juta anak hidup tanpa ayah, sedangkan 11,5 juta anak memiliki ayah yang bekerja lebih dari 60 jam seminggu yang mana artinya ayah hampir tidak punya waktu bersama keluarganya.Ilustrasi pria bekerja. Foto: ShutterstockPsikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahmat Hidayat, menyebut fenomena ini sebagai “krisis pengasuhan ayah” yang berdampak panjang. “Ketidakhadiran figur ayah tidak hanya mengurangi dukungan emosional anak, tetapi juga memengaruhi perkembangan kognitif dan moral mereka,” jelasnya dalam sebuah wawancara (UGM, 2023).Sementara itu, pakar parenting dan pendiri Gerakan Ayah Hebat, Irwan Rinaldi, menegaskan bahwa fatherless tidak selalu berarti ayah tidak ada. “Banyak ayah yang hadir secara fisik, tetapi jiwanya lelah dan pikirannya ada di tempat kerja. Itu juga bentuk fatherless yang tak terlihat,” ujarnya (Antara, 2023).Tekanan Sosial dan EkonomiBagi banyak pria di Indonesia, tuntutan ekonomi menjadi beban utama. Harga kebutuhan pokok yang terus naik, cicilan rumah, biaya sekolah, hingga tanggung jawab sosial di lingkungan sekitar membuat banyak ayah merasa tertekan.Sosiolog Universitas Indonesia, Bagus Takwin, menyebut bahwa masyarakat kita masih memandang harga diri laki-laki dari kemampuannya menafkahi keluarga. “Ketika ekonomi goyah, banyak ayah merasa gagal secara sosial. Ini membuat sebagian dari mereka menarik diri dari relasi keluarga,” ungkapnya dalam diskusi publik tentang krisis maskulinitas (2024).Ilustrasi ayah marah. Foto: ShutterstockFenomena ini berimbas pada kualitas hubungan ayah-anak. Banyak anak tumbuh tanpa komunikasi mendalam dengan ayahnya. Dalam penelitian Pusat Studi Anak UGM (2022), ditemukan bahwa anak-anak yang jarang berinteraksi dengan ayah cenderung memiliki rasa percaya diri lebih rendah dan kesulitan mengelola emosi.Di sisi lain, tekanan sosial terhadap ayah juga meningkat. Ketika seorang ayah tidak bekerja atau penghasilannya lebih kecil dari pasangannya, stigma “tidak laki-laki” sering muncul. Akibatnya, sebagian memilih bekerja berlebihan, alih-alih membangun kedekatan emosional di rumah.Mencari Keseimbangan Peran AyahMenjawab kondisi ini, para ahli psikologi dan keluarga menekankan pentingnya keseimbangan antara tanggung jawab ekonomi dan emosional.Psikolog keluarga, Anastasia Satriyo (2024), menekankan, “Anak-anak tidak menilai ayah dari berapa banyak uang yang dibawa pulang, tapi dari seberapa sering mereka merasa diperhatikan.” Ia menyarankan agar para ayah mulai membuat “ritual kecil”, seperti makan malam bersama tanpa gawai, menemani anak belajar, atau sekadar bercerita sebelum tidur. Pendekatan ini disebut micro parenting moments, yakni interaksi singkat, tetapi konsisten yang bisa memperkuat ikatan emosional.Ilustrasi Ayah Membacakan Buku untuk Anak Foto: Gatot Adri/ShutterstockDari sisi sosial, dukungan komunitas juga penting. Banyak gerakan lokal—seperti Komunitas Ayah Hebat, Fatherhood Indonesia, hingga Gerakan Sekolah Ramah Ayah—mulai membantu para pria berbagi pengalaman pengasuhan. Mereka menyediakan ruang aman bagi ayah untuk belajar, bercerita, dan merasa tidak sendirian menghadapi tekanan hidup.Sosiolog UGM, Arie Sujito, menambahkan, “Kita perlu mengubah narasi sosial tentang ayah. Menjadi ayah bukan hanya soal bekerja keras, melainkan juga soal hadir, mendengar, dan memberi contoh moral.” Ia menilai bahwa perubahan budaya kerja, seperti pemberian cuti ayah dan jam kerja fleksibel, bisa membantu menyeimbangkan peran keluarga dan ekonomi.Semua Ikut Bertanggung JawabMasalah fatherless bukan hanya tanggung jawab individu. Pemerintah dan dunia kerja juga memiliki peran besar. Kebijakan cuti ayah perlu diperluas dan ditegakkan agar ayah bisa terlibat sejak awal dalam pengasuhan anak. Faktor ketercukupan gaji pada kehidupan yang memadai dan kondisi ekonomi yang membuat harga barang-barang tinggi juga turut berpengaruh membuat para ayah bekerja keras mencari uang lebih.Sekolah dan lembaga pendidikan dapat membuat program khusus yang melibatkan ayah—seperti “Hari Ayah di Sekolah” atau workshop keluarga yang berlangsung di akhir pekan.Ilustrasi ayah dengan anak perempuannya yang sudah dewasa. Foto: CandyRetriever/ShutterstockMedia dan komunitas daring perlu menampilkan lebih banyak figur ayah positif; bukan hanya yang sukses secara ekonomi, melainkan juga yang aktif dalam pengasuhan, sosial, dan pendidikan.RefleksiHari Ayah bukan sekadar momen memberi ucapan selamat, melainkan kesempatan untuk menata ulang makna kehadiran seorang ayah. Ketika tekanan ekonomi semakin berat, penting bagi para ayah untuk diingatkan: kehadiran Anda jauh lebih berharga daripada apa pun yang bisa dibeli dengan uang.Keluarga Indonesia membutuhkan lebih banyak ayah yang kuat; bukan hanya di dompet, melainkan juga di hati dan pikirannya—ayah yang mau hadir, mendengar, dan tumbuh bersama anak-anaknya. Teladan Nabi Ibrahim dan kisah Lukman Al-Hakim, yang dekat dengan putranya, telah diabadikan dalam Al-Qur'an untuk menjadi pelajaran bagi para ayah dan semua kita. Seperti kata Rahmat Hidayat dari UGM, “Anak yang tumbuh dengan ayah yang hadir secara emosional akan memiliki dunia batin yang lebih kokoh. Dan itu adalah warisan paling berharga dari seorang ayah.”