Kapolri Jenderal Listyo Sigit. (Rizky A-VOI)JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas menolak permohonan yang meminta agar masa jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) disamakan dengan Presiden dan anggota kabinet. Putusan ini menuai apresiasi dari pengamat politik yang menilai langkah tersebut merefleksikan kematangan demokrasi Indonesia.Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens, menilai putusan MK ini mampu membedakan secara jernih antara kontrol demokratis dengan upaya politisasi institusi negara.“Kontrol demokratis diperlukan dan dijalankan melalui mekanisme persetujuan DPR, namun hal itu tidak berarti institusi seperti Polri harus tunduk pada siklus politik atau menjadi instrumen politik pemerintah yang sedang berkuasa,” ucap Boni dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (14/11/2025).Kapolri Bukan Jabatan Politik TemporerBoni menegaskan, tidak semua jabatan yang diangkat oleh Presiden otomatis menjadi bagian dari kabinet atau terikat pada logika politik elektoral. Jabatan Kapolri termasuk kategori strategis yang harus menjaga jarak dari dinamika politik untuk memastikan objektivitas dan profesionalisme.MK sendiri, dalam amar putusannya yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo pada Kamis (13/11), menolak dalil pemohon yang mengonstruksikan Kapolri sebagai jabatan setingkat menteri.Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan, jika diberi label "setingkat menteri", kepentingan politik Presiden akan dominan. Padahal, UUD 1945 menyatakan Polri sebagai alat negara yang harus menempatkan pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum di atas kepentingan semua golongan, termasuk kepentingan Presiden.Prerogatif Presiden Jaga Kontinuitas, Tak Terikat KalenderMenurut Boni, putusan MK sudah tepat dalam membedakan Polri sebagai bagian integral negara dengan jabatan-jabatan politik yang bersifat temporer. Ia sepakat bahwa masa jabatan Kapolri tidak perlu dibatasi secara kaku, seperti maksimal lima tahun.Sebaliknya, durasi jabatan harus ditentukan oleh kebutuhan negara melalui kewenangan prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara. Pendekatan ini dinilai lebih fleksibel untuk beradaptasi dengan tantangan keamanan yang dinamis.“Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka biarkan itu menjadi hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara,” ujar Boni.Ia menambahkan, pembatasan masa jabatan secara kaku justru bisa kontraproduktif. Kontinuitas kepemimpinan dinilai lebih penting untuk penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan nasional daripada rotasi yang dipaksakan oleh kalender politik.MK Perkuat Independensi dengan Checks and BalancesBoni Hargens juga memandang bahwa putusan MK ini secara signifikan memperkuat independensi Polri sebagai institusi penegak hukum yang tidak terikat pada kepentingan politik jangka pendek.MK telah memberikan kejelasan mengenai hubungan antara Presiden dan Kapolri yang bersifat konstitusional. Meskipun hak prerogatif Presiden tetap ada, mekanisme checks and balances tetap berjalan.“Di dalamnya tetap ada penegasan prinsip checks and balances bahwa meskipun presiden memiliki prerogatif, pengangkatan Kapolri tetap memerlukan persetujuan DPR guna menjaga keseimbangan kekuasaan,” pungkas Boni.