Ilustrasi kemewahan dan kekayaan. Foto: jesterpop/ShutterstockDunia yang Tertawa di Atas ApiDunia modern telah menciptakan ilusi baru tentang keselamatan: asal memiliki kuasa, segalanya bisa diatur; asal dikelilingi loyalis, kesalahan bisa disembunyikan; asal tersenyum di depan kamera, kebusukan bisa diampuni publik. Inilah zaman ketika manusia menukar ketakutan kepada Allah SWT dengan rasa aman palsu dari jabatan dan kemewahan. Mereka tidak sadar, yang tampak megah sesungguhnya sedang lapuk dari dalam.Di atas panggung kekuasaan, banyak manusia hidup dalam kepastian palsu—dikelilingi sanjungan, dilindungi protokol, disanjung dalam acara, dan dibenarkan dalam setiap keputusan. Ketika suara kritik disingkirkan dan kebenaran disamarkan oleh citra, maka lahirlah generasi yang lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan iman. Kekuasaan menjadi cermin kebanggaan, bukan amanah. Kemewahan menjadi lambang keberhasilan, bukan ujian. Mereka tertawa bersama keluarganya, seperti disebut dalam firman Allah SWT:“Sungguh, dia dahulu bergembira di kalangan keluarganya. Sesungguhnya dia mengira bahwa dia tidak akan kembali (kepada Tuhannya).” QS. Al-Insyiqāq [84]:13–14Ayat ini seakan merekam potret masa kini: manusia yang menganggap kekuasaan sebagai hak turun-temurun; yang mengubah jabatan menjadi harta keluarga; yang menjadikan hukum alat politik dan kebenaran barang dagangan. Semua dilakukan dengan keyakinan bahwa hidup hanyalah soal kepandaian mengatur, bukan soal kebenaran yang harus dipertanggungjawabkan.Dalam pandangan Al-Qur’an, itulah bentuk kekafiran moral—bukan sekadar menolak Allah SWT, tetapi menyingkirkan rasa takut kepada-Nya dari dalam qalbu. Mereka membangun sistem yang memuja kuasa, menertawakan kejujuran, dan memperalat agama sebagai tameng reputasi. Lalu, ketika datang masa perhitungan, mereka terkejut mendapati catatannya diberikan dari belakang. Itulah simbol keterbalikan moral—ketika amal baik yang tampak di dunia ternyata berbalik menjadi bukti kebohongan di akhirat.“Dan adapun orang yang catatannya diberikan dari belakang, maka dia akan berteriak: ‘Celakalah aku!’” QS. Al-Insyiqāq [84]:10–11Jeritan “Celakalah aku” bukan hanya suara di akhirat, tetapi gema kesadaran yang lahir ketika kebenaran yang disembunyikan akhirnya terbuka. Ketika dusta tak lagi bisa ditutup dengan retorika, ketika sistem yang dibangun untuk menipu justru menelanjangi diri, ketika semua alasan berubah menjadi bukti. Itulah momen ketika manusia menyadari—bukan neraka yang menjemputnya, melainkan dirinya yang berjalan ke arah itu tanpa sadar.Ini adalah peringatan bagi setiap manusia yang merasa aman dalam kuasa dan kemegahan, bahwa kebahagiaan yang dibangun di atas kebohongan akan berubah menjadi jeritan. Bahwa senyum di balik kekuasaan tanpa iman akan berganti dengan pekik “celaka aku.” Dan bahwa Allah SWT—yang selalu melihat—akan menunjukkan, bahwa tidak ada benteng yang lebih rapuh daripada kekuasaan yang dibangun tanpa takut kepada-Nya.Catatan dari Belakang: Simbol Terbaliknya Nilai dan AmanahIlustrasi Mencatat. Foto: ShutterstockKetika Al-Qur’an menggambarkan seseorang yang menerima catatan amalnya dari belakang, itu bukan sekadar isyarat posisi fisik, tetapi simbol dari terbaliknya nilai dan arah hidup. Mereka yang semestinya menatap kebenaran di hadapan, justru memunggunginya. Yang seharusnya memimpin dengan amanah, justru menjadikan amanah sebagai komoditas kekuasaan. Maka catatannya diberikan dari belakang—bukan karena Allah SWT keliru mencatat, tetapi karena manusia sendiri yang memilih berjalan membelakangi kebenaran.Dalam struktur moral kehidupan, setiap amanah menuntut dua hal: keberanian untuk jujur dan kerendahan hati untuk takut. Namun dalam dunia yang mabuk kuasa, keduanya telah dibalik. Keberanian digunakan untuk menantang kebenaran, dan rasa takut hanya muncul ketika kekuasaan terancam. Itulah mengapa ayat ini mengguncang kesadaran:“Adapun orang yang catatannya diberikan dari belakang, maka dia akan berteriak: Celakalah aku!” QS. Al-Insyiqāq [84]:10–11)Ayat ini sejatinya adalah cermin zaman. Ketika nilai amanah telah terbalik, kejujuran dianggap kelemahan, dan kelicikan disanjung sebagai kecerdikan. Kekuasaan dijadikan benteng, bukan beban tanggung jawab. Laporan disusun bukan untuk kebenaran, tetapi untuk menyenangkan penguasa. Dan setiap sistem yang dibangun tanpa rasa takut kepada Allah SWT akan menghasilkan satu hal: catatan dari belakang—sejarah yang kelam, reputasi yang hancur, dan akhir yang memalukan.“Catatan dari belakang” juga menggambarkan moralitas yang disembunyikan, seperti dosa yang dipoles dengan citra. Mereka menulis kisahnya sendiri seolah tanpa kesalahan, namun sejarah mencatat yang sebaliknya. Mereka menolak koreksi, meminggirkan kritik, dan menutup setiap ruang bagi kebenaran untuk bicara. Padahal Allah SWT telah berfirman:“Tidak demikian, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.” QS. Al-Insyiqāq [84]:15Ayat ini menjadi palu pengingat: Tidak ada satu pun tindakan manusia yang benar-benar tersembunyi.Yang tidak tercatat di dokumen, tercatat di langit.Yang tidak dilaporkan di sistem, direkam oleh malaikat.Yang tidak diungkap media, kelak disiarkan oleh bumi sendiri.Ilustrasi kekuasaan. Foto: ShutterstockDalam konteks kekuasaan modern, “catatan dari belakang” bisa dimaknai sebagai sejarah kepemimpinan yang berpaling dari kebenaran. Pemimpin yang menulis aturan demi kepentingan keluarga, pejabat yang menundukkan hukum untuk patronnya, birokrat yang menukar integritas dengan posisi — semuanya sedang menulis kitab dari belakang. Mereka mencatat dengan tangan yang bergetar karena tidak lagi dibimbing oleh nurani.Bagi mereka, kebenaran bukan lagi arah, tetapi ancaman. Mereka menganggap amanah sebagai hak, bukan titipan. Ketika sistem nilai sudah berbalik seperti ini, maka ayat ini bukan lagi peringatan, melainkan vonis sosial: dunia yang menghalalkan segala cara sesungguhnya sedang menulis sejarah kehancurannya sendiri.Di hadapan Allah SWT, tidak ada yang bisa memutar balik catatan. Semua akan dibaca sebagaimana ditulis, dibuka sebagaimana disembunyikan. Yang hari ini tampak berjaya akan menunduk, dan yang dahulu diremehkan akan ditinggikan. Itulah hukum keseimbangan Ilahi—keadilan yang datang tanpa pengumuman, tapi tidak pernah absen. Sebagaimana firman Allah SWT:“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).” QS. Al-Zalzalah [99]:7–8Ayat ini menegaskan bahwa keadilan Allah SWT tidak pernah luput bahkan dari partikel terkecil niat manusia. Tidak ada dusta yang terlalu halus untuk lolos dari penglihatan-Nya, dan tidak ada amal sekecil apa pun yang luput dari rahmat-Nya. Di hadapan hukum Ilahi, semuanya terbuka — bukan berdasarkan citra, tetapi berdasarkan kebenaran yang murni.Keluarga di Tengah Kegelapan: Euforia Kuasa dan Lupa akan HisabIlustrasi kekuasaan yang diwariskan dalam keluarga. Foto: ShutterstockDi setiap zaman selalu ada manusia yang menjadikan keluarganya sebagai pusat dunia. Segala keputusan diatur demi kenyamanan mereka, segala kebijakan diarahkan untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Di ruang publik mereka bicara tentang pengabdian, tapi di ruang tertutup mereka berhitung tentang warisan jabatan. Mereka membangun dinasti, bukan peradaban. Mereka menanam benih kekuasaan, tapi lupa menanam rasa takut kepada Allah SWT. Firman-Nya dengan tegas menggambarkan keadaan itu:“Sungguh, dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan keluarganya.” QS. Al-Insyiqāq [84]:13Ayat ini bukan sekadar menggambarkan suasana rumah tangga, tetapi struktur moral kekuasaan. Mereka hidup dalam euforia keberhasilan duniawi—dikelilingi senyum keluarga, pesta, dan pujian yang menenangkan ego. Namun di balik kegembiraan itu, ada kesombongan halus: keyakinan bahwa keberhasilan adalah hasil strategi, bukan rahmat. Kegembiraan yang semestinya menjadi syukur berubah menjadi tirai yang menutupi rasa takut kepada Allah SWT.Dalam konteks kekuasaan modern, ayat ini dapat dibaca sebagai kritik atas politik keluarga dan warisan jabatan. Ketika jabatan diwariskan tanpa kompetensi, dan amanah dibagi berdasarkan kekerabatan, sesungguhnya kebenaran sudah dikorbankan di altar cinta dunia. Fenomena ini bukan sekadar persoalan etika politik, tetapi juga penyakit spiritual: rasa memiliki terhadap sesuatu yang sebenarnya hanya titipan.Mereka lupa, kekuasaan tidak diwariskan; ia hanya dititipkan. Dan titipan tidak pernah abadi. Sebagaimana firman Allah SWT:“Sesungguhnya dia mengira bahwa dia tidak akan kembali (kepada Tuhannya).” QS. Al-Insyiqāq [84]:14Inilah akar dari semua kezaliman: lupa akan hari kembali. Ketika seseorang merasa tidak akan dihisab, maka segala cara menjadi halal, segala tipu daya menjadi sah. Kebenaran tidak lagi dipandang sebagai prinsip, tetapi sebagai risiko politik. Keadilan tidak lagi tujuan, tetapi alat negosiasi. Mereka tertawa bersama keluarganya, tapi tawa itu menutupi kegelisahan batin yang sudah lama padam.Kegembiraan yang mereka nikmati sesungguhnya hanya pantulan dari dunia yang sebentar. Mereka lupa bahwa setiap tawa yang menindas akan berubah menjadi jeritan, setiap pesta yang menipu akan berganti dengan tangisan. Sebab dalam hukum Ilahi, tidak ada euforia tanpa hisab, tidak ada pesta tanpa perhitungan. Sebagaimana Allah SWT berfirman:“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu.” QS. Āli ‘Imrān [3]:185Dalam sistem sosial yang telah kehilangan rasa takut kepada Allah SWT, keluarga sering dijadikan perisai moral. Nama “keluarga besar” dijadikan alasan untuk menumpuk kekayaan, membangun jaringan kekuasaan, dan mematikan suara-suara yang berbeda. Namun sejarah mengajarkan: setiap kekuasaan yang dibangun atas dasar keluarga, tanpa iman dan keadilan, selalu berakhir dengan perpecahan. Kekuasaan mungkin diwariskan, tapi rasa takut kepada Allah SWT tidak bisa diwariskan—hanya bisa ditanam.Pada akhirnya, ayat ini menyingkap satu kebenaran sederhana: bahwa di balik tawa keluarga yang memuja dunia, sesungguhnya ada kegelapan yang pelan-pelan menutup cahaya iman. Mereka tertawa bersama keluarga di dunia, namun akan menjerit sendirian di akhirat. Dan jeritan itu sudah tertulis sejak mereka memutuskan untuk hidup tanpa rasa takut kepada Allah SWT.“Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.” QS. Al-Insyiqāq [84]:12Mengira Tak Akan Kembali: Kesombongan Intelektual dan Buta RohaniIlustrasi manusia yang terjebak dalam kegelapan. Foto: needpixKesalahan terbesar manusia bukan ketika berbuat dosa, tetapi ketika merasa tidak akan dihisab atas dosanya. Itulah inti dari ayat ini:“Sesungguhnya dia mengira bahwa dia tidak akan kembali (kepada Tuhannya).” QS. Al-Insyiqāq [84]:14“Zhanna”—mengira, menyangka—bukan sekadar salah tafsir intelektual, tapi kesombongan spiritual. Menggambarkan manusia yang begitu percaya pada kekuatannya sendiri, sehingga lupa bahwa hidup ini bukan tentang kepemilikan, tapi pertanggungjawaban. Penyakit ini tidak hanya menjangkiti penguasa, tapi juga ilmuwan, pemikir, birokrat, bahkan ulama yang kehilangan ruh amanah. Mereka yakin dapat menjelaskan segala hal, mengatur segala urusan, merancang segala sistem—namun gagal menjawab pertanyaan paling dasar: untuk siapa semua ini dilakukan?Manusia modern banyak tahu tentang dunia, tapi sedikit mengenal dirinya. Kemajuan teknologi memberinya kuasa atas alam, tetapi justru menjauhkan dari Sang Pencipta. Dalam laboratorium dan ruang rapat, ia merasa seperti tuhan kecil: mampu mencipta, mengatur, mengontrol, bahkan memutuskan nasib orang lain dengan pena dan algoritma.Namun di saat yang sama, ia lupa bahwa sehelai daun pun tidak jatuh tanpa izin Allah SWT. Firman-Nya menegaskan dengan sangat jernih:“Tidak demikian, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.” QS. Al-Insyiqāq [84]:15Kalimat ini seperti pukulan lembut namun tegas—bahwa tidak ada keberhasilan, kuasa, atau kecerdasan yang bisa melampaui pengawasan Allah SWT. Setiap ambisi yang tidak disandarkan kepada iman, pada akhirnya menjadi kesombongan yang menjerumuskan.Manusia mengira akan kembali kepada kejayaan; ternyata yang menunggu adalah pengadilan.Kesombongan intelektual membuat manusia percaya bahwa kebenaran bisa diatur melalui logika kekuasaan. Menertawakan moralitas, menyebutnya konservatif; menertawakan kejujuran, menganggapnya naif. Padahal, di mata Allah SWT, logika tanpa iman hanyalah kabut yang menutupi pandangan, bukan cahaya yang menerangi jalan.Sebagaimana Allah SWT memperingatkan dalam surah Al-‘Alaq:“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” QS. Al-‘Alaq [96]:6–7Itulah penyakit zaman ini: merasa cukup dengan kecerdasan, tapi miskin rasa takut. Merasa tinggi karena jabatan, tapi hampa rasa syukur. Merasa tahu segalanya, tapi tak paham makna kehidupan. Manusia yang kehilangan kesadaran akan kembalinya diri kepada Allah SWT menjadi seperti burung yang sibuk mengepakkan sayap di ruang tertutup—berisik, tapi tak ke mana-mana.Ayat ini sesungguhnya bukan sekadar ancaman, tetapi peringatan kasih dari Allah SWT agar manusia sadar sebelum langitnya runtuh. Setiap kali manusia merasa paling aman, Allah SWT mengguncang kenyamanannya. Setiap kali manusia merasa paling bijak, Allah SWT memperlihatkan kebodohannya melalui kegagalan dan kehancuran moral. Bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menyadarkan.Dalam logika Ilahi, kesombongan adalah bentuk buta ruhani. Ia tidak bisa disembuhkan oleh pendidikan atau pengalaman, hanya bisa disembuhkan oleh kesadaran bahwa hidup ini bukan milik kita. Selama manusia masih mengira dirinya pusat segalanya, selama itu pula catatan amalnya ditulis dari belakang—sebab ia terus berjalan membelakangi Tuhannya.Kebenaran ayat ini akan selalu relevan: ketika manusia berhenti merasa takut untuk kembali, maka seluruh amalnya menjadi percuma. Sebab tanpa kesadaran akan hisab, kebaikan berubah menjadi pencitraan, dan kekuasaan berubah menjadi alat pembenaran.Di titik itu, kebijaksanaan berubah menjadi kesombongan, dan ilmu kehilangan cahayanya.Ketika Tuhannya Melihat: Hukum Keseimbangan dan Cahaya Pengawasan IlahiIlustrasi langit. Foto: Aditia Noviansyah/kumparanSetiap sistem di alam semesta berdiri di atas keseimbangan. Langit tidak pernah runtuh sebelum waktunya, laut tidak meluap tanpa perintah, dan matahari tidak pernah lalai dari orbitnya. Namun manusia, yang diberi akal dan kebebasan, justru paling sering melanggar keseimbangan itu. Ia mengatur sesukanya, menafsirkan sesukanya, dan memutar hukum Allah SWT demi kepentingannya. Allah SWT berfirman:“Tidak demikian, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.” QS. Al-Insyiqāq [84]:15Ayat ini sederhana, tapi menggetarkan. Ia tidak sekadar menjelaskan bahwa Allah SWT melihat dengan penglihatan, melainkan mengawasi dengan hikmah—mengetahui setiap sebab, niat, dan akibat dari perbuatan manusia. Inilah cahaya pengawasan Ilahi, hukum kosmik yang menegakkan keadilan bahkan tanpa tangan manusia. Ia seperti gravitasi moral: tak terlihat, tapi bekerja dalam senyap.Dalam logika Ilahi, setiap pelanggaran terhadap kebenaran akan menciptakan ketidakseimbangan di semesta sosial. Ketika manusia merampas hak sesama, langit menjadi saksi; ketika manusia menindas, bumi merekam. Firman Allah SWT menegaskan:“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia letakkan neraca (keseimbangan), supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi keseimbangan.” QS. Ar-Rahmān [55]:7–9Keadilan bukan sekadar konsep hukum, tetapi juga struktur semesta. Ketika manusia berlaku zalim, ia bukan hanya melukai manusia lain, tapi juga mengganggu harmoni ciptaan. Banjir, kekeringan, konflik, korupsi, dan keruntuhan sosial—semuanya adalah manifestasi dari keseimbangan yang terganggu. Langit tidak lagi memberi rahmat, bumi tidak lagi menumbuhkan berkah. Bukan karena alam memberontak, tetapi karena manusia menolak tunduk.Manusia modern sering berbicara tentang pengawasan, audit, dan akuntabilitas. Namun semua sistem itu gagal bila tidak disertai kesadaran bahwa Allah SWT melihat lebih dalam daripada laporan dan data. Dalam sistem dunia, pelanggaran bisa disembunyikan; tapi dalam sistem Allah SWT, niat pun tercatat sebelum tindakan. Pengawasan Ilahi bukan untuk menghukum, tetapi untuk menuntun—agar manusia sadar sebelum terjatuh.Setiap kali manusia merasa bebas dari pengawasan, ia sedang menuju kehancuran. Setiap kali manusia merasa tidak terlihat, ia sedang mengundang murka. Sebaliknya, manusia yang hidup dalam kesadaran bahwa Allah SWT melihatnya akan berhati-hati dalam setiap langkah, dalam ucapan, keputusan, bahkan dalam diamnya. Itulah hakikat muraqabah—kesadaran hidup di bawah cahaya pandangan Allah SWT.Dalam pandangan spiritual, keseimbangan bukan berarti tidak ada perbedaan, tetapi semua perbedaan tunduk pada hukum yang sama: kebenaran akan tegak, kebohongan akan rubuh. Seperti malam dan siang, terang dan gelap—semuanya berputar dalam ketetapan Ilahi yang sempurna. Maka siapa pun yang mencoba menipu hukum Allah SWT, sejatinya sedang menipu dirinya sendiri.Allah SWT tidak pernah lengah, dan keseimbangan semesta tidak pernah salah alamat. Setiap kesewenang-wenangan akan menemukan pantulannya, setiap kebohongan akan menabrak cermin kejujuran yang dipasang oleh Allah SWT dalam hati manusia. Sebagaimana firman-Nya:“Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari Allah, baik di bumi maupun di langit.” QS. Āli ‘Imrān [3]:5Kesadaran ini seharusnya melahirkan ketenangan, bukan ketakutan. Sebab ketika manusia tahu bahwa Allah SWT melihat, ia akan berhenti berpura-pura. Ia akan jujur — bukan untuk dilihat manusia, tapi untuk diterima oleh Tuhannya. Inilah keseimbangan sejati: hidup dengan keyakinan bahwa setiap langkah berada di bawah cahaya pengawasan Allah SWT, yang Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Adil.Senja di Bawah Langit Merah: Tanda Penutup PeradabanIlustrasi senja. Foto: Unspalsh“Maka Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja.” QS. Al-Insyiqāq [84]:16Senja adalah batas—antara terang dan gelap, antara kehidupan dan kematian, antara kesadaran dan kelalaian. Ketika Allah SWT bersumpah demi “asy-syafaq”, cahaya merah di ufuk senja, itu bukan sekadar keindahan langit sore. Itu tanda peringatan, bahwa segala sesuatu di dunia ini sedang bergerak menuju batasnya. Cahaya merah adalah simbol peradaban yang sedang meredup—masih hangat, tapi sebentar lagi akan hilang.Dalam bahasa spiritual, asy-syafaq menggambarkan fase transisi manusia dan masyarakat. Saat cahaya kebenaran mulai menipis, tapi kegelapan belum sepenuhnya datang. Saat suara moral masih terdengar, tapi ditertawakan oleh suara-suara yang lebih nyaring: politik, hiburan, ambisi. Dunia berada di tepi senja — indah di mata, tapi sesungguhnya pertanda malam panjang akan datang.Inilah masa yang sedang kita jalani :Peradaban tampak megah, tapi sedang kehilangan jiwanya.Ilmu melimpah, tapi kebijaksanaan menipis.Kekuasaan tersebar, tapi keadilan menyempit.Manusia berlari mengejar cahaya dunia, sementara mata batinnya tak menyadari bahwa langit sedang memerah—menandakan waktu hampir habis.Sumpah Allah SWT atas senja juga bermakna penegasan hukum keseimbangan: bahwa setiap terbit akan diakhiri terbenam, setiap awal disusul akhir. Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada kejayaan yang abadi. Fir’aun pun punya pagi yang gemilang sebelum tenggelam di lautnya sendiri. Maka bila peradaban hari ini dipenuhi oleh kemewahan tanpa moral, oleh pengetahuan tanpa iman, maka senjanya sudah mulai tampak di ufuknya.Senja juga bisa dibaca sebagai waktu introspeksi spiritual. Bagi orang beriman, senja bukan ketakutan, melainkan panggilan untuk pulang—untuk menutup hari dengan dzikir, bukan pesta. Tetapi bagi yang hidup dari kebohongan, senja adalah kecemasan: saat semua topeng mulai terlihat oleh cahaya terakhir. Seperti firman Allah SWT dalam surah Al-Qiyāmah:“Dan ketika pandangan mata terbelalak (karena ketakutan), dan bulan pun hilang cahayanya, lalu matahari dan bulan dikumpulkan—pada hari itu manusia berkata: ‘Ke mana tempat lari?’” QS. Al-Qiyāmah [75]:7–10Langit merah itu adalah peringatan lembut sebelum kegelapan total. Allah SWT masih memberi waktu bagi manusia untuk sadar—waktu untuk menata niat, memperbaiki amal, menegakkan kejujuran, dan meninggalkan kezaliman yang selama ini disembunyikan di balik kekuasaan. Namun jika manusia terus berpura-pura, maka senja akan berganti malam. Dan di malam itu, tidak ada lagi ruang untuk menyesal.Peradaban manusia selalu runtuh bukan karena musuh dari luar, tapi karena gelap dari dalam. Ketika akal tak lagi tunduk pada iman, ketika hukum tak lagi melayani kebenaran, dan ketika kekuasaan kehilangan takut kepada Allah SWT—itulah saat langit peradaban memerah. Kegagahan berubah menjadi kepanikan, kemewahan menjadi kutukan, dan yang dahulu dipuja akan menjadi beban.Namun bagi mereka yang sadar, senja justru adalah kesempatan terakhir untuk bertaubat—karena setelah merah akan datang gelap, dan setelah gelap akan terbit kembali fajar bagi yang bertahan dalam cahaya. Itulah siklus kehidupan: setiap senja membawa pesan agar manusia tidak tertidur dalam kesombongan.“Fa lā uqsimu bisy-syafaq”—Allah bersumpah demi cahaya merah, karena di antara terang dan gelap, hanya hati yang jujur yang mampu mengenali arah pulang. Kuasa dan kemewahan bisa menipu. Ia membuat manusia lupa diri, mabuk sanjungan, dan buta kebenaran. Kemegahan yang dijaga dengan kebohongan hanyalah istana di atas abu.Jangan bergembira dalam kekerdilan jiwa yang mendahulukan keluarga & kroni di atas amanah. Sebelum semuanya runtuh, bertobatlah. Jangan tunggu sampai mulutmu sendiri berteriak: “Celakalah aku.”Kuasa dan kemewahan bukan tanda keberkahan, tapi ujian. Yang memabukkan bukan tahta, melainkan rasa tak tersentuh oleh dosa. Jangan bergembira di atas kebohongan yang kau bangun sendiri. Keluarga, kroni, dan harta tak bisa menjadi tameng di hadapan Allah SWT.Sebelum segalanya terbakar, berhentilah menipu diri. Karena setiap dusta akan berbalik jadi jeritan: “Celakalah aku.”Wallahualam bishawabJakarta, 12 November 2025