Setelah temuan parasetamol di Teluk Jakarta, riset temukan obat diabetes terdeteksi di sungai ibu kota

Wait 5 sec.

● Obat diabetes metformin terdeteksi di Sungai Angke, Jakarta.● Metformin berdampak negatif terhadap organisme air dan bisa kembali ke manusia lewat rantai makanan.● Sayangnya, limbah obat-obatan seperti metformin ini belum masuk daftar resmi zat berbahaya bagi lingkungan.Daerah perairan di Jakarta tak hanya tercemar sampah, tetapi juga mengandung limbah obat-obatan. Pada 2021 silam, riset saya menemukan Teluk Jakarta terkontaminasi material acetaminophen atau parasetamol.Dalam penelitian terbaru, saya kembali mendapati obat lain, yakni metformin terdeteksi di air sungai Jakarta untuk pertama kalinya. Metformin adalah obat diabetes yang paling umum diresepkan di dunia. Titik pengambilan sampel air di Sungai Angke, Jakarta. Koagouw et al (2024), CC BY Pada Juni 2022, saya bersama tim peneliti dari BRIN, Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta, serta dua universitas di Inggris menemukan metformin di tiga dari enam titik sampel di Sungai Angke. Temuan ini menambah daftar panjang pencemaran zat aktif farmasi di perairan Indonesia. Baca juga: Parasetamol mencemari Teluk Jakarta: Apa bahayanya terhadap biota laut? Dari toilet ke sungai: Bagaimana metformin mencemari air?Metformin adalah obat untuk mengontrol kadar gula darah orang dengan diabetes tipe 2. Berbeda dengan obat kebanyakan, metformin tidak hancur diolah oleh tubuh manusia. Akibatnya, obat ini keluar hampir utuh melalui urine. Saat seseorang yang mengonsumsi metformin buang air kecil, obat tersebut langsung masuk ke sistem pembuangan rumah tangga.Masalahnya, di kota metropolitan seperti Jakarta, sebagian besar limbah dari toilet domestik berakhir di sungai tanpa diolah secara memadai. Sungai Angke sendiri, tempat ditemukannya metformin, menerima beban pencemaran dari berbagai sumber. Mulai dari limbah domestik yang tak diolah, limbah industri, hingga sampah padat.Kondisi inilah yang menciptakan jalur langsung bagi metformin dan zat farmasi lainnya untuk masuk ke ekosistem perairan.Analisis kualitas air di enam titik sampel yang kami lakukan menunjukkan tingkat pencemaran yang bervariasi antara 27 hingga 414 nanogram per liter (ng/L). Kadar metformin yang terdeteksi di Sungai Angke, Jakarta. Koagouw et al (2024), CC BY Situs ketiga memiliki kadar metformin tertinggi. Ini ditandai dengan air yang lebih keruh, warna air yang pekat, dan kadar mangan (unsur logam) yang sangat tinggi. Baca juga: Sedikit diolah, banyak cemarnya: buruknya pengelolaan air limbah rumah tangga Indonesia Apa dampaknya bagi lingkungan dan manusia?Kehadiran metformin di Sungai Angke tidak bisa dianggap sepele. Meskipun kadarnya tidak separah di negara lain, tapi juga tidak bisa dibilang aman.Studi ini menemukan bahwa konsentrasi terendah (27 ng/L) berada di persentil kelima data global, sementara konsentrasi tertinggi (414 ng/L) berada di persentil ke-40 dari kisaran global. Artinya, kadar terendah metformin di Sungai Angke lebih tinggi daripada 5% data sungai di dunia. Sementara, kadar tertingginya lebih tinggi daripada 40% data global, sehingga cukup mengkhawatirkan. Studi sebelumnya di berbagai belahan dunia sudah membuktikan bahwa metformin berdampak negatif terhadap organisme air, bahkan pada kadar rendah sekitar 100 ng/L saja sudah bisa memicu efek biologis.Misalnya pada kerang biru (Mytilus edulis), paparan metformin dapat memicu gangguan reproduksi dan kerusakan jaringan tubuh. Pada ikan, metformin dapat menghambat perkembangan embrio, pertumbuhan, metabolisme, dan sistem reproduksi. Yang lebih mengkhawatirkan, metformin sulit terurai secara alami. Tanpa degradasi yang sempurna, senyawa kimia ini dan produk turunannya (guanylurea) bisa dengan mudah terakumulasi dan masuk kembali ke dalam rantai makanan. Air sungai yang tercemar juga berpotensi digunakan untuk irigasi pertanian atau perikanan. Ujungnya, metformin bisa kembali masuk ke tubuh manusia lewat air minum, ikan, atau sayuran yang menggunakan air tercemar.Paparan jangka panjang terhadap residu obat ini bisa menimbulkan resiko serius bagi kesehatan manusia, meskipun dampak pastinya masih terus diteliti.Perlu regulasiPemerintah memang sudah mengatur standar baku mutu air sungai atau limbah. Namun, obat-obatan farmasi seperti metformin ini belum termasuk dalam daftar resmi zat berbahaya yang diatur dalam regulasi. Padahal, metformin dan obat-obatan sejenisnya termasuk dalam kategori contaminants of emerging concern, yaitu polutan baru yang belum sepenuhnya dipahami dampaknya, tetapi berisiko mengancam lingkungan dan kesehatan manusia.Kehadiran parasetamol atau paracetamol di Teluk Jakarta dan metformin di Sungai Angke menjadi penanda bahwa obat-obatan kini sudah menjadi jenis polutan baru di dalam siklus air yang kita gunakan sehari-hari.Beberapa negara sudah ada yang menemukan metformin dalam air minum. Sebab, proses penyaringan konvensional tidak mampu menghilangkan zat ini sepenuhnya.Untuk itu, perlu pengembangan strategi untuk mengatasi ancaman ini. Apalagi, prevalensi diabetes di Indonesia saat ini mencapai 11,3% dari populasi dewasa. Jumlah orang dengan diabetes diperkirakan bakal melonjak dari 20,4 juta orang pada 2024 menjadi 28,6 juta pada 2050.Dengan meningkatnya kasus diabetes, otomatis penggunaan metformin juga akan naik. Ini berarti, kadar metformin di perairan Jakarta kemungkinan besar akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang. Oleh karenanya, studi kami merekomendasikan beberapa langkah konkret yang perlu segera dilakukan:Pertama, meningkatkan sistem pengolahan air limbah rumah tangga dan industri (termasuk medis) agar mampu menyaring dan menetralkan residu farmasi secara efektif.Kedua, edukasi publik tentang cara membuang obat dengan benar, bukan dibuang ke toilet atau wastafel. Ketiga, penegakan aturan limbah industri dan pemantauan rutin terhadap polutan farmasi di sungai dan badan air.Terakhir, perlu penelitian lebih komprehensif untuk memahami seberapa luas dan serius dampak zat farmasi di perairan Indonesia.Kita perlu bertindak sekarang, sebelum masalah ini berkembang menjadi semakin parah.Wulan Koagouw menerima dana penelitian dari University of Brighton melalui School of Applied Sciences - Research Investment Fund.