Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi semasa era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto pada 7 Februari 1989. (ANTARA FOTO/Teresla May)JAKARTA - Pemerintahan Soeharto dan Orde Baru (Orba) pernah jadikan Pancasila sebagai alat politik untuk berkuasa. Barang siapa yang meragukan Pancasila akan dilawan. Kondisi itu berlaku pula untuk kelompok Islam dan politik.Kelompok Usroh, misalnya. Kelompok itu dianggap jauh dari Pancasila. Alasan itu membuat anggotanya diburu. Puncaknya, perburuan itu melahirkan sebuah tragedi kemanusiaan besar. Tragedi Talangsari, namanya. Umat Islam jadi korban.Tiada yang meragukan kuatnya kekuasaan Soeharto dan Orba. Perlawanan demi perlawanan dari lawan politik mampu dipadamkan. Alih-alih ambil posisi tenang karena berada di pucuk kekuasaan, Orba justru kian menunjukkan pengaruh represifnya pada era 1980-an.Soeharto bak sengaja menggunakan Pancasila untuk menggebuk kelompok kritis dan lawan politiknya. Ia mengungkap bahwa banyak kelompok ogah jadikan Pancasila sebagai falsafah hidup. Mereka ingin mengganti dengan macam paham. Ambil contoh ada yang ingin Indonesia jadi negara Islam.Aksi korban Talangsari berunjuk rasa di depan Kejaksaan Agung menuntut kasus pelanggaran HAM diusut tuntas pada 7 Februari 2014. (ANTARA/Reno Esnir)Tuduhan itu diarahkan Orba kepada Gerakan Usroh. Kelompok Islam kecil yang berkembang di Jawa Tengah itu dianggap tak sesuai dengan ideologi pemerintah. Gerakan Usroh dipandang Orba tak mau menerima Pancasila.Kondisi itu membuat Orba berang. Empunya kuasa bergerak menahan semua pengikut Usroh. Namun, tak semuanya mampu ditahan. Beberapa di antaranya banyak kabur ke wilayah lainnya. Mereka ditampung oleh Warsidi yang notabene pemuka agama setempat di Umbul Cihideung, Dusun Talangsari, Lampung.Warsidi pun bergerak membantu. Mereka tak hanya disediakan tempat tinggal. Gerakan Usroh yang kabur diterima sebagai petani. Isu negatif berkembang. Warsidi dianggap bak membangun gerakan subversif menentang pemerintahan.Ajaran Warsidi pun dicap sebagai ajaran sesat. Pemerintah kemudian menganggap Warsidi dan pengikutnya sebagai ancaman bagi stabilitas nasional. Gerakan Usroh pun sempat didatangi militer. Namun, pengikut Warsidi menganggap mereka akan menahan pemimpinnya dan melakukan serangan.Komandan Rayon Militer (Koramil) Way Jepara Kapten Sutiman pun tewas pada 6 Februari 1989. Kondisi itu membawa kemarahan dari kalangan militer.“Aktivis yang berhasil menyelamatkan diri ditampung oleh Warsidi dalam pelariannya. Warsidi, seorang guru mengaji dan petani, bersama-sama Nur Hidayat membangun kampung Islam dengan syariat Islam dan mendirikan pesantren yang berpengaruh di Umbul Cihideung, Dusun Talangsari.”“Keberadaan mereka dicurigai pemerintah sebagai gerakan subversif dengan dalih mengajarkan ajaran sesat. Pemantauan dan pengintaian terhadap kelompok Warsidi terus dilakukan selama Januari dan awal Februari 1989,” ungkap Hermawan Sulistyo dan Putri Ariza Kristimanta dalam buku Intelijen dan Kekuasaan Soeharto (2022).Tragedi TalangsariKematian Sutiman bak penanda perlawanan dilakukan. Empunya kuasa tak tinggal diam. Pasukan Korem Garuda Hitam 043 yang dipimpin A.M. Hendropriyono datang menyerang kelompok Warsidi pada subuh 7 Februari 1989.Korem Garuda Hitam datang dengan kekuatan besar. Mereka membawa empat peleton pasukan Brigade Mobil dari Komando Resor Garuda Hitam, Lampung Tengah. Mereka menyerang bangsal pengikut Warsidi dengan membabi buta di Umbul Cihideung, Dusun Talangsari.Pria dan wanita dewasa jadi korban. Bahkan, anak-anak juga. Mereka diberondong peluru. Pondok-pondok mereka dibakar. Bahkan, kaum wanita dicap sebagai istri-istri simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).Aksi peringatan Tragedi Talangsari di depan Kejaksaan Agung, Jakarta pada 6 Februari 2025. (Amnesty International Indonesia)Kekejaman itu memakan banyak korban jiwa. Versi militer korbannya hanya 27 orang. Versi lainnya korban mencapai 246 orang. Kekejaman tak berhenti sampai situ. Empunya kuasa turun mengejar anggota dari kelompok Warsidi ke luar daerah, beberapa di antaranya ditahan.Peristiwa Talangsari membuat citra Orba yang represif dan anti Islam semakin meninggi. Soeharto dicap jadi pelanggar HAM berat. Namun, peristiwa itu baru benar-benar bisa disuarakan secara lugas pada saat Soeharto dan Orde Baru lengser pada 1998. Komnas HAM sempat menyelidiki kasus.“Pada Juni 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kasus ini. Hasilnya tak jelas. Belakangan, Komnas membentuk tim penyelidikan. Tim ini terjun ke lapangan mewawancarai korban, keluarga korban, dan sejumlah pelaku. Penyelidikan itu selesai pada pertengahan Mei 2006,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Subuh Berdarah di Talangsari (2008).