● Selama ini nasib petani dan kualitas hasil pertanian nasional kurang kompetitif.● Standar tinggi perjanjian IEU-CEPA bisa jadi momentum untuk pembenahan sektor pangan dan petani.● Diperlukan komitmen penuh pemerintah agar pertanian dan nasib petani kecil membaik dan berkelanjutan.Setelah bernegosiasi panjang, Indonesia dan Uni Eropa akhirnya mencapai kesepakatan politik untuk Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership (IEU-CEPA) Juli lalu, disusul oleh kesepakatan substantif (joint statement) mengenai perdagangan dan perlindungan investasi. Harapannya, pada tahun 2027 kesepakatan ini sudah berlaku efektif. Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara ketiga setelah Singapura dan Vietnam yang berhasil mencapai kesepakatan perdagangan ini. Kesepakatan IEU-CEPA mencakup dua klausul penting, yakni perdagangan dan pembangunan berkelanjutan (trade and sustainable growth development) dan sistem pangan berkelanjutan (sustainable food system).Dengan kata lain, IEU-CEPA tidak sekadar membuka peluang perdagangan dan investasi, tetapi juga menempatkan keberlanjutan lingkungan dan sosial sebagai pilar utama.Klausul tersebut akan menentukan, apakah produk-produk pertanian dan perkebunan Indonesia bisa tembus lebih ke pasar Eropa atau justru sebaliknya? Ini menjadi peluang diversifikasi pasar penting bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat dan Cina yang kini morat-marit akibat perang dagang. Baca juga: Setelah kesepakatan IEU-CEPA: Bagaimana Indonesia mengejar standar lingkungan dan HAM untuk bisa ekspor ke Uni Eropa? Peluang peningkatan ekspor komoditas utamaTerbukanya pasar Uni Eropa merupakan kesempatan emas yang harus dimanfaatkan pemerintah dan para pelaku usaha untuk meningkatkan ekspor nonmigas.Kesepakatan IEU-CEPA menghapus 98% lini tarif secara bertahap. Sementara sekitar 80% tarif akan langsung dibebaskan pada saat perjanjian ini mulai berlaku. Sisanya, akan dihapus secara bertahap dalam lima tahun berikutnya.Ada setidaknya tiga komoditas utama ekspor andalan nasional yang bisa ditingkatkan ke pasar benua biru.1. Kelapa sawitMenurut laporan Komisi Eropa, kelapa sawit menjadi salah satu komoditas ekspor yang akan memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Data UN COMTRADE menunjukkan nilai ekspor kelapa sawit (HS 1511) Indonesia mencapai US$1,66 miliar atau Rp28,6 triliun pada 2024.Melihat tren ekspor sawit yang cenderung turun dalam tiga tahun terakhir, kesepakatan ini bisa jadi momen produk industri sawit nasional untuk rebound.Industri kelapa sawit merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Ada sekitar 16,38 juta hektare lahan sawit yang 53% di antaranya dikelola swasta, 6% oleh Badan Usaha Milik Negara, dan 41% sisanya dikelola petani swadaya.2. KopiMeski secara kuantitas masih jauh dari komoditas sawit, kopi terus menunjukkan tajinya dalam satu dekade terakhir di pasar Eropa. Pada 2024, nilai ekspor kopi (HS 0901) ke Uni Eropa melonjak 148% menjadi US$333 juta (Rp5,7 triliun). Mayoritas produksi kopi ini, sekitar 98%, berasal dari petani rakyat.Uni Eropa menjadi importir kopi terbesar di dunia yang menyerap hampir setengah produksi kopi dunia. Ini menjadi pasar global terbesar untuk kopi berbasis keberlanjutan yang bernilai tinggi. Tapi sayangnya, ekspor kopi Indonesia di pasar Uni Eropa masih sangat kecil jika dibandingkan dengan negara produsen kopi lain seperti Brazil dan Vietnam.3. KakaoSelain kelapa sawit dan kopi, kakao juga merupakan produk unggulan untuk ditingkatkan volume dan nilai ekspornya ke Uni Eropa. Mengutip laporan FERN, Uni Eropa adalah importir kakao terbesar di dunia, 60% dari total impor dunia untuk produk kakao.Produk kakao berserta segala turunannya (HS 1801-1806) sedang berada di tren positif.Per tahun lalu, nilai ekspornya meningkat 184% menjadi US$499 juta atau senilai Rp8,6 triliun dari tahun 2023.Industri pengolahan pangan di Uni Eropa membutuhkan pasokan kakao dunia yang cukup besar sebagai bahan dasar untuk perusahaan-perusahaan besar seperti Nestle.Namun, seperti kopi, hampir seluruh pasokan pabrik coklat memeroleh kakao yang dikelola oleh petani rakyat (sekitar 98%). Baca juga: Bidik pasar perikanan Uni Eropa dan jadikan industri nasional berkelanjutan Perlunya perhatian lebih kepada petani kecilDengan kesepakatan IEU-CEPA, mau tidak mau Indonesia harus memenuhi kriteria pertanian berkelanjutan, keterlacakan, pelabelan, dan jaminan hak asasi manusia. Hal ini sangat berkaitan dengan nasib para petani kecil. Selama ini mereka mendapat perlakuan kurang adil dari sisi akses pasar dan kesejahteraan.Mayoritas lahan pertanian nasional digarap oleh petani kecil, tapi keuntungannya paling banyak dinikmati oleh pemilik modal. Setelah IEU-CEPA, Indonesia akan menghadapi tantangan dalam ratifikasi dan implementasi European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) atau Regulation (EU) 2023/1115 yang akan mulai berlaku pada 30 Desember 2025. Karena itu, pemerintah perlu mempercepat fasilitasi petani independen dalam sistem perdagangan internasional melalui perluasan kepemilikan surat tanda daftar berkebun (STD-B). Baca juga: Di balik nikmatnya kopi gayo, ada sejumlah tantangan dihadapi petani Bersama dengan sertifikat hak milik, STD-B menjadi bukti legal dan de facto pengelolaan tanah oleh petani kecil. Dokumen ini merupakan bagian dari sistem keterlacakan produksi dan distribusi komoditas pertanian dan perkebunan di Indonesia. Dalam EUDR, lokasi lahan pertanian (geophysical location) harus terpetakan dengan jelas untuk memastikan bebas dari deforestasi. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan pemerataan sertifikasi berkelanjutan, unsur keterlacakan, uji tuntas, pelabelan, dan standarisasi kesehatan untuk semua komoditas pertanian dan perkebunan. Jika tidak terpenuhi, peluang diversifikasi pasar ekspor dan perbaikan nasib petani kecil akan sia-sia. Perlu komitmen kuat pemerintahAda tujuh komoditas potensial yang perlu dibenahi dalam EUDR.Komoditas tersebut antara lain kelapa sawit, kedelai, kayu, kakao, kopi, ternak sapi, dan karet, yang selama ini dianggap sebagai penyumbang deforestasi terbesar. Ditambah lagi, Uni Eropa telah memiliki strategi Farm to Fork(COM/2020/381) sebagai bagian dari paket kebijakan EU Green Deal yang menjadi panduan untuk menciptakan aturan sistem pangan berkelanjutan.Standar ketat Uni Eropa mencakup kriteria berkelanjutan dari produksi hingga distribusi, keterlacakan, pelabelan, sampai dengan penjaminan hak pekerja. Di balik tantangan standar yang tinggi ini, pemerintah seharusnya bisa menjadikannya momentum untuk membenahi tata kelola niaga pertanian yang terlalu banyak middleman atau perantara. Selain itu, pemerintah perlu memastikan transformasi tata kelola produksi dan distribusi berjalan selaras dengan cita-cita berkelanjutan Indonesia. Memastikan infrastruktur keterlacakan seperti geolokasi produksi dan pembangunan segregasi distribusi hasil pertanian dapat menjadi langkah awal yang amat berarti. Dalam jangka panjang, sistem keterlacakan yang mumpuni diharapkan dapat mengurangi rantai produksi dan distribusi yang tidak efisien sekaligus dapat memonitor aspek berkelanjutan. Baca juga: Berjasa turunkan kemiskinan, tapi petani tak kunjung sejahtera Sembari itu, Indonesia juga bisa memenuhi visi Indonesia Emas 2045, yaitu mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan didukung oleh peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani. Swasembada pangan menjadi salah satu misi dari Asta Cita Indonesia, memastikan ketersediaan dan akses pangan tetap terjaga. Wacana sistem pangan berkelanjutan ala Eropa bisa menjadi pemantik Indonesia untuk tidak sekadar memastikan ketersediaan dan akses pangan, tetapi juga memacu produk-produk pangan Indonesia dapat berdaya saing global dan memenuhi kriteria berkelanjutan di seluruh rantai pasoknya. Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.