Ilustrasi Suku Sunda (sumber: GeminiAI)Hampir di seluruh dunia, setiap suku tidak pernah luput dari stereotip, baik positif ataupun negatif. Di Indonesia, beberapa suku kerap diatribusikan dengan karakter tertentu. Beberapa contoh dari stereotip positif adalah Suku Jawa dikenal halus, Suku Minang dikenal pandai berdagang, Suku Sunda dikenal ramah. Di sisi lain, adapula stereotip negatif yang disematkan kepada suku-suku ini seperti Suku Jawa dikenal bermuka dua, Suku Minang dikenal pelit, dan Suku Sunda dikenal pemalas.Berbicara soal Suku Sunda yang dikenal pemalas, beberapa orang di TikTok mulai membuat konten dan menggemakan ajakan untuk tidak mencari pasangan dari suku ini dengan quote “Jangan mau sama Sunda”. Beberapa wanita korban oknum Aa Sunda tidak bertanggung jawab juga mulai berbagi testimoni bagaimana mereka merasa dirugikan secara material akibat perilaku malas oknum tersebut.Ilustrasi orang Sunda di TikTok (sumber: GeminiAI)Nampaknya, sebagai suku yang juga dikenal tidak suka berkonflik dan identik dengan humor, banyak orang Sunda menanggapi stereotip itu dengan santai dan komedi. Sebagian dari mereka, merespon dengan membuat konten balasan disertai quote “Daek heug, teu kajeun” yang artinya “Mau silakan, tidak mau ya tidak apa-apa”. Sebuah balasan yang cukup elegan, didukung dengan foto-foto terbaik mereka dan backsound jedag-jedug viral yang justru mengundang humor dan gelak tawa. Namun, apakah betul kalau Suku Sunda itu pemalas?Stereotip Warisan KolonialSeiring berjalannya waktu, kebenaran terkait suku Sunda mulai menemukan titik terang. Sebagian dari mereka yang terlanjur dinilai negatif, mulai speak up ke permukaan. Kolonial Belanda menjadi pihak yang disalahkan, sebab stereotip ini merupakan salah satu warisannya selain Gedung Sate dan Bosscha. Dikutip dari Firmansyah (dalam Awaludin, 2025), stereotip Sunda Pemalas itu rupanya disematkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Pemerintah Hindia Belanda kepada orang Sunda yang menolak dieksploitasi pada saat diberlakukannya preangle stelsel (sistem priangan), dan cultuur stelsel (sistem tanam paksa). Terlepas dari adanya alasan-alasan lain, konsep kapitalisme yang dipegang Belanda dengan berorientasi pada biaya produksi serendah-rendahnya dan keuntungan sebanyak-banyaknya bertentangan dengan cara hidup orang Sunda yang secukupnya.Selain itu, sistem kerja tidak manusiawi VOC yang mengharuskan pribumi bekerja 12-16 jam sehari merusak work life balance ala kalender Sunda yang mengatur ritme kerja mulai dari hari bertani hingga hari panen. Namun, karena dikenal sebagai suku yang tidak suka berkonflik, maka banyak orang Sunda memilih meninggalkan ladang mereka daripada ribut dengan Belanda. Karena performa yang dianggap mengecewakan itulah VOC menyebut orang Sunda sebagai pemalas, padahal tindakan itu merupakan perlawanan sunyi yang diliputi harga diri.Memang Dasarnya Tidak Suka BerkonflikOrang Sunda merupakan penghuni asli Jawa Barat, wilayah yang dikenal dengan nama Pasundan. M.A.W Brouwer, pernah mengungkapkan bahwa “Pasundan lahir ketika Tuhan tersenyum”. Ungkapan puitis yang datang dari kecintaan dan kekaguman terhadap keindahan alam serta budaya Tanah Pasundan ini dengan tepat menangkap realitas geografis yang turut membentuk mentalitas dan kearifan lokal orang Sunda.Tanah yang gembur, curah hujan lebat, serta sungai dan danau yang membentang di wilayah ini menciptakan kondisi hidup yang relatif mudah dengan pangan yang melimpah. Saat kebutuhan dasar seperti pangan telah terpenuhi, tekanan untuk bersaing memperebutkan sumber daya menjadi rendah. Hasilnya, mentalitas masyarakat Sunda cenderung santai dan tidak berambisi berlebihan, sehingga energi mereka lebih diarahkan pada kebutuhan yang lebih tinggi.Sesuai dengan Teori Maslow (1943), manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan yang tersusun secara hierarkis, yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Kebutuhan fisiologis seperti sandang, pangan, dan papan merupakan kebutuhan paling dasar yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum seseorang terdorong untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya. Ketika kebutuhan fisiologis suku Sunda telah terpenuhi, motivasi mereka akan beralih kepada kebutuhan yang lebih tinggi, di antaranya rasa aman dan kebutuhan sosial yang mengedepankan harmoni.Dalam menjaga harmoni, suku Sunda memiliki filosofi hidup “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh” (Saling Mengasah, Saling Mengasihi, Saling Mengasuh). Filosofi ini menjadi salah satu kearifan lokal suku Sunda sekaligus pedoman hidup bermasyarakat yang menjunjung keharmonisan dan kemajuan bersama. Silih asah berarti saling mengasah dengan berbagi ilmu dan pengalaman untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan satu sama lain, silih asih berarti saling mengasihi dan menyayangi untuk menghindari konflik, dan silih asuh berarti saling mengasuh dengan menjaga, membimbing, dan melindungi dari kesalahan untuk menciptakan rasa aman dan menuju kebaikan.Bagaimana dengan Fenomena di Masyarakat?Di beberapa sumber, potret kemalasan orang Sunda sering kali direpresentasikan oleh laki-laki. Kondisi inilah yang mungkin menginspirasi lahirnya sinetron komedi-drama Dunia Terbalik, yang pernah ditayangkan di RCTI beberapa tahun silam. Sinetron yang berlatar di wilayah pedesaan Sunda ini bercerita tentang kehidupan para suami di sebuah desa fiktif bernama Desa Cikadu yang ditinggal istri mereka bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Para suami yang biasanya bekerja justru harus mengurus rumah tangga dan anak-anak, sementara para istri menjadi tulang punggung keluarga.Akan tetapi, fenomena ini bukan gambaran umum orang Sunda sehingga tidak bisa dipukul rata. Faktanya, data dari Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki di provinsi Jawa Barat mencapai sekitar 85% persen, jauh lebih tinggi dibandingkan Perempuan di 48%. Artinya, sebagian besar pria Sunda aktif bekerja atau setidaknya berusaha mencari pekerjaan.Di tingkat nasional, BPS memang mencatat bahwa pada Februari 2023, Jawa Barat memiliki TPAK sebesar 66,75% yang lebih rendah dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebanyak 7.89% yang lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Meskipun begitu, angka ini bukan disebabkan oleh perilaku malas, melainkan tingginya jumlah penduduk di Jawa Barat. Pada 2024, Jawa Barat menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia dengan total sekitar 50 juta jiwa. Jadi, sangat wajar jika TPAK Jawa Barat lebih rendah dan TPT lebih tinggi dibanding provinsi lain, mengingat besarnya tekanan demografis dan persaingan di pasar kerja.Meskipun demikian, Jawa Barat memiliki sektor ekonomi yang produktif, mulai dari industri, jasa, perkebunan, hingga pertanian, dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang masuk ke dalam tiga tertinggi di Indonesia pada 2024. Meskipun provinsi ini kini juga dihuni oleh penduduk non-Sunda, setidaknya pencapaian ekonomi tersebut tidak terlepas dari kontribusi penduduk Sunda yang aktif dan produktif, meskipun gaya hidup mereka yang santai kadang disalahartikan oleh stereotip. Selain itu, Suku Sunda telah melahirkan banyak tokoh berpengaruh di berbagai bidang, mulai dari hiburan, bisnis, hingga politik. Contohnya, Raffi Ahmad, Chairman RANS Entertainment, yang digadang-gadang sebagai aktor terkaya di Indonesia, serta Ridwan Kamil, seorang politisi sekaligus arsitek ulung yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat periode 2018–2023. Kepakarannya di bidang arsitektur bahkan diakui secara internasional, sehingga ia menerima gelar kehormatan (honoris causa) dari beberapa universitas luar negeri.Tidak Ada Hubungannya Dengan SukuSetiap suku pasti memiliki individu yang malas dan pekerja keras. Stereotip Sunda Pemalas sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah. Kemalasan bukanlah sifat bawaan lahir yang ditentukan oleh kesukuan, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor sosial dan ekonomi. Memang, seseorang cenderung meniru perilaku orang lain di sekitarnya, sehingga jika lingkungan kerja kurang aktif, ia bisa ikut bersikap pasif. Selain itu, keterbatasan lapangan kerja juga dapat membuat individu terjebak dalam situasi yang tidak produktif. Namun, karakter individu tetap menjadi faktor penentu. Meski lingkungan tidak mendukung dan kesempatan terbatas, banyak orang tetap giat bekerja dan rajin berusaha. Dengan demikian, kemalasan sejatinya bukanlah persoalan suku, melainkan persoalan individu.Referensi:Awaludin, A. (2025, Oktober 20). Asal Usul Stigma Pemalas Bagi Orang Sunda, Sifat Asli Atau Campur Tangan Penjajah? Retrieved Oktober 2025, from Sukabumi Update: https://www.sukabumiupdate.com/life/164951/asal-usul-stigma-pemalas-bagi-orang-sunda-sifat-asli-atau-campur-tangan-penjajahBadan Pusat Statistik. (2024, Mei 6). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Menurut Jenis Kelamin (Persen). Retrieved Oktober 2025, from Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat: https://jabar.bps.go.id/id/statistics-table/2/ODI0IzI=/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-menurut-jenis-kelamin.htmlBPS. (2024, Oktober 21). Survei Angkatan Kerja Nasional. Retrieved Oktober 2025, from Badan Pusat Statistik Agustus: https://www.bps.go.id/id/statistics-table/3/V2pOVWJWcHJURGg0U2pONFJYaExhVXB0TUhacVFUMDkjMw==/tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--dan-tingkat-partisipasi-angkatan-kerja--tpak--menurut-provinsi--2023.html?year=2023Maslow, A. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396.