Foto KA Kahuripan dari stasiun Kiaracondong. Sabtu (25/10/25). Foto: Ayu IndiraPerjalanan saya ke Bandung kali ini dimulai dengan kepala berat, mata sepet, dan tubuh yang lebih layak rebahan daripada diajak berpetualang. Namun tiket sudah dibeli dan nasib kadang datang dalam bentuk kereta ekonomi: KA Kahuripan.Di gerbong ekonomi, tidur bukan pilihan, tapi perjuangan. Kursinya tegak, AC-nya semangat, dan toddler di kursi belakang punya bakat podcast seperti Raditya Dika. Akhirnya, saya menyerah; menatap jendela gelap, berharap bintang mau nongol sedikit sebagai hiburan. Akhirnya, tidak ada.Foto di dalam KA Kahuripan, Jumat (24/10/250. Foto: Ayu IndiraDrama Ojek Hybrid di KiaracondongPukul 7 pagi (25/10), saya tiba di Stasiun Kiaracondong dalam kondisi antara hidup dan mati. Kepala masih berdebu mimpi, tapi Bandung menyapa dengan udara dingin yang sedikit lebih sabar daripada hujan Solo tadi malam. Belum sempat tarik napas lega, saya sudah disambut ojek offline "berskin" ojek online yang sedikit memaksa. Saya naik tanpa pikir panjang berpikir harganya akan sama dengan aplikasi. Namun, saya yang awalnya takut kecopetan, justru kena penipuan di pagi itu. Tarifnya melonjak jadi lima puluh ribu rupiah. Ya, lima puluh ribu! Sebenarnya saya ingin menolak, tapi nasi sudah menjadi bubur; saya sudah terlanjur naik di motor ojek hybrid tersebut (bukan ojek pangkalan, tapi mengaku ojek online). Padahal, saat saya mengecek aplikasi, ongkosnya hanya Rp15.000. Oknum Ojek Hybrid, Sabtu (25/10/2025). Foto: Ayu Indira Akhirnya, dengan setengah hati dan setengah sadar, saya menyerahkan uang itu. Rasanya seperti kalah dalam adu argumen yang bahkan belum sempat dimulai. Bayangkan saja: di Solo, uang dengan jumlah segitu bisa untuk tiga kali makan nasi ayam geprek dan es teh jumbo. Di Bandung? Cuma perjalanan 15 menit dan rasa malu, akibat dari tidak cek tarif terlebih dahulu. Namun demi menjaga mood, saya pura-pura ikhlas. Pura-pura itu penting dalam hidup, terutama di kota orang.Setelah sampai di kos kakak, sambutan bukan teh hangat, melainkan ajakan ke Tahura untuk “refreshing”. Padahal saya baru tahu, “refreshing” bisa jadi sinonim dari “lelah lagi”. Namun, saya manut. Saya rasa, udara Bandung mungkin bisa sedikit menghapus kekesalan pada "ojek scam" tadi.Udara Segar dan Pisang Asam di Tahura BandungPintu Masuk Objek Wisata Tahura, Bandung, Sabtu (25/10/2025) Oleh: Ayu IndiraDilansir dari hutanitu.id, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda atau Tahura Djuanda dikenal sebagai paru-paru Kota Bandung. Berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat kota, kawasan ini menjadi ruang napas alami bagi warga yang sehari-hari dikelilingi deru kendaraan dan asap polusi.Lebih dari itu, keindahan panorama alamnya membuat Tahura menjadi tempat yang ideal untuk konservasi, edukasi, sekaligus rekreasi. Di tengah jalan setapak, saya bertemu seorang bapak usia sekitar 50-an yang ramah dan penuh semangat—malah lebih gesit dari saya yang baru bangun tidur.Kami bertemu lagi di warung dan bapak itu menawarkan pisang gratis. Bapak itu berkata, “Coba aja, beda sama pisang di Salatiga. Biar semangat, karena sedikit lagi sampai di perkedel Kokom.” Pisangnya asam, tapi tetap manis. Anehnya, rasanya bikin penasaran dan membuat saya ingin mencobanya lagi.Setelah itu, saya mulai semangat mengejar Curug Maribaya, perkedel Ibu Kokom, dan monyet-monyet liar di Tahura. Perkedel Warung Ibu Kokom membuat dunia terasa mengecil: kakak saya bertemu teman lamanya yang sudah lima tahun tak berjumpa, dan bapak-pisangnya tadi seolah merayakan keberhasilan kami menyantap perkedel legendaris itu.Perkedel Kokom Di Tahura, Kota Bandung, Sabtu (25/10/2025). Foto : Ayu Indira Di area Tahura, saya sempat ngobrol dengan Danila (29), pengunjung asal Bandung. “Spot favorit saya itu dekat penangkaran rusa dan Curug Maribaya. Bagi saya, pengalaman di Tahura ini nilainya 8 dari 10. Masih di tengah kota, tapi udaranya gak kayak tengah kota. Seger banget,” ujarnya.Wawancara bersama Danila (29), Tahura, Kota Bandung, Sabtu (25/10/2025) Oleh: Ayu Indira Sementara Uje, pengurus Tahura, punya harapan sederhana tapi penting: “Pengunjung juga harus ikut jaga kebersihan. Ini paru-paru utama Bandung. Kalau paru-paru kotor, yang sesak bukan cuma pohon, tapi kita semua.” Kalimat itu saya catat baik-baik, karena di bawah pohon-pohon pinus itu, saya baru menyadari satu hal: oksigen gratis adalah hasil kerja keras daun.Naik KA Kahuripan dengan kepala ngantuk dan tubuh lelah mungkin bukan ide cemerlang. Namun, perjalanan ini mengajarkan satu hal: lelah bisa hilang, tapi cerita tidak. Dan siapa tahu, di ujung lelah, kamu juga bakal menemukan pisang asam yang rasanya manis.