Kesepian di tengah Kehidupan yang Terhubung dan Terfragmentasi

Wait 5 sec.

Ilustrasi Hidup Terfragmentasi (Foto: Dokumen Pribadi)Menurut laporan terbaru WHO (2025), terdapat 100 kematian setiap jam akibat kesepian—artinya satu nyawa melayang setiap 36 detik, dengan total lebih dari 871.000 jiwa setiap tahun.Angka ini mencengangkan sekaligus menyakitkan: di era digital ketika semua orang terhubung melalui layar, justru semakin banyak yang merasa sendirian. Kesepian bukan sekadar perasaan “tidak punya teman,” melainkan ancaman serius bagi kesehatan fisik dan sosial manusia. Inilah ironi besar modernitas: dunia kian terhubung, tetapi manusia makin terpisah.Fenomena ini memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar krisis psikologis. Ia menandai perubahan cara manusia hidup bersama. Kita memasuki zaman yang oleh Zygmunt Bauman disebut sebagai masyarakat terfragmentasi—masyarakat yang tercerai-berai secara moral, sosial, dan emosional.Hidup dalam FragmenDalam karya pentingnya Life in Fragments: Essays in Postmodern Morality (1995), Bauman menggambarkan manusia modern sebagai makhluk yang hidup dalam fragmen-fragmen kehidupan yang terpisah.Ilustrasi masyarakat. Foto: Dmitry Nikolaev/ShutterstockIa menulis bahwa di dunia modern, setiap orang menjalani potongan hidupnya—bekerja, berkeluarga, beragama, berpolitik—tanpa lagi sebuah narasi moral yang menyatukan semuanya. “Our lives are lived in fragments. Each fragment is lived as if it were a whole, yet none has the power to give meaning to the whole of life” (Bauman, 1995).Akibatnya, moralitas menjadi privat dan temporer. Kita menentukan sendiri apa yang baik dan benar, tanpa referensi universal yang mengikat kehidupan bersama. Bauman menyebut proses ini sebagai privatisasi moralitas (the privatization of morality)—ketika tanggung jawab etis tidak lagi menjadi urusan bersama, tetapi beban individu.Manusia modern, tulisnya, “ditinggalkan sendirian untuk menghadapi teka-teki moral tanpa kenyamanan dari aturan yang universal.”Dari Fragmentasi Moral menuju Fragmentasi SosialLima tahun setelah itu, dalam Liquid Modernity (2000), Bauman memperluas analisisnya. Jika Life in Fragments membahas retaknya kesatuan moral individu, Liquid Modernity menyoroti cairnya struktur sosial dan politik.Ilustrasi keluarga tiga generasi. Foto: Hananeko_Studio/ShutterstockIkatan sosial yang dahulu stabil—komunitas, keluarga, gereja, tempat kerja—kini melemah. “The bonds which used to tie individuals to communities have become fragile and fluid” (Bauman, 2000).Manusia modern, kata Bauman, menjadi “sendirian dalam kebebasan” (alone in freedom). Kita bebas menentukan pilihan, tetapi kehilangan arah moral dan sosial.Dunia terasa seperti “pasar hubungan”: kita mudah terhubung, tetapi hubungan itu mudah pula putus. Inilah paradoks modernitas cair: kita semakin mobil, fleksibel, dan otonom, tetapi juga semakin cemas, rapuh, dan kesepian. Kesepian modern bukan sekadar ketiadaan teman, melainkan ketiadaan makna dalam kebersamaan.Retaknya KepercayaanFenomena fragmentasi sosial juga terlihat nyata di Indonesia. Polarisasi politik, konflik identitas, dan erosi kepercayaan sosial menjadi wajah sehari-hari masyarakat. Ruang digital yang semestinya memperluas komunikasi, malah sering menjadi medan perpecahan dan ujaran kebencian.Ilustrasi media digital. Foto: sdecoret/ShutterstockLaporan Edelman Trust Barometer 2024 mencatat penurunan tajam tingkat social trust di Indonesia. Masyarakat makin sulit memercayai orang di luar kelompoknya, bahkan antarwarga sebangsa. Akibatnya, kita hidup dalam suasana sosial yang penuh curiga dan defensif.Bauman menyebut kondisi ini sebagai krisis solidaritas. Ketika moralitas menjadi privat dan komunitas kehilangan daya ikatnya, masyarakat berubah menjadi sekumpulan individu yang hidup berdampingan, bukan hidup bersama. Seperti dikatakannya, “When morality is privatized, community is lost.”Membangun Makna di tengah FragmenBauman tidak pesimis. Ia menyadari bahwa dunia modern tidak akan kembali ke tatanan lama yang seragam dan stabil. Tugas manusia bukan mengembalikan kesatuan yang hilang, tetapi menciptakan makna baru di tengah fragmen. “The task of ethics today is not to rebuild unity, but to learn how to live meaningfully in a world of fragments” (Bauman, 1995).Artinya, kita perlu membangun etika dialog dan empati—kesadaran bahwa di balik perbedaan, setiap manusia membawa kerentanan yang sama. Etika semacam ini berakar pada tanggung jawab terhadap sesama (responsibility for the other), bukan pada kepastian moral yang kaku.Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: KemendikbudristekDalam konteks Indonesia, hal ini berarti memperkuat pendidikan yang menumbuhkan kemampuan berelasi dan empati sosial. Sekolah dan keluarga harus menjadi tempat di mana anak-anak belajar untuk melihat yang lain, bukan hanya melihat diri sendiri. Demikian pula komunitas agama dan sosial perlu menjadi ruang perjumpaan lintas identitas, bukan sekadar benteng kelompok.Tantangan di Era DigitalEra digital mempercepat fragmentasi moral dan sosial. Kehidupan manusia kini terpecah menjadi potongan citra diri di media sosial, dibentuk oleh algoritma yang memperkuat ego dan membatasi dialog.Namun, ruang digital juga bisa menjadi sarana merajut kembali kemanusiaan jika digunakan untuk menyebarkan inspirasi, berbagi cerita kebaikan, dan menumbuhkan solidaritas lintas batas.Bauman mengingatkan dalam Moral Blindness (2013) bahwa bahaya terbesar modernitas bukanlah kejahatan besar, melainkan ketumpulan moral sehari-hari—ketidakmampuan merasakan penderitaan orang lain karena kita terlalu sibuk dengan dunia sendiri. Maka, melawan fragmentasi bukan hanya proyek politik atau ekonomi, melainkan latihan batin untuk merasakan kembali kemanusiaan.Menemukan Kemanusiaan yang HilangIlustrasi self healing. Foto: U__Photo/ShutterstockKesepian yang kini disebut WHO sebagai “epidemi global” sejatinya bukan hanya krisis emosional, melainkan cermin dari dunia yang kehilangan kemampuan untuk berhubungan secara mendalam. Kita hidup di antara manusia, tetapi sering merasa tak benar-benar bersama manusia lain.Bauman mengingatkan, “Morality begins when we discover that we are responsible for the other.” Etika dimulai ketika kita menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri.Di tengah fragmen dan kebisingan digital, kita bisa memulainya dengan langkah sederhana: menghadirkan diri sepenuhnya bagi orang lain—mendengar, menemani, dan peduli.Karena mungkin, di antara potongan-potongan dunia yang tercerai, hanya cinta dan tanggung jawab yang bisa menyatukan kita kembali.