Belajar untuk Takut Gagal: Tekanan Akademik dan Kesehatan Mental Generasi Muda

Wait 5 sec.

Ilustrasi gagal SNMPTN. Foto: Dok. FreepikTekanan Akademik yang Kian BeratBanyak pelajar dan mahasiswa kini belajar bukan lagi untuk memahami materi, melainkan karena takut gagal. Tekanan akademik yang semakin tinggi perlahan mulai rentan mengganggu kesehatan mental mereka, sehingga kini menjadi perhatian serius dalam ranah kesehatan masyarakat.Survei dari I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) pada tahun 2022 bahkan menemukan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia (34.9%) memiliki masalah kesehatan mental dalam kurun waktu 12 bulan.Fenomena serupa juga terjadi di berbagai negara. Dilansir dari riset Fuad pada tahun 2024, sekitar satu dari lima mahasiswa di seluruh dunia dilaporkan mengalami gangguan kesehatan mental, seperti depresi berat atau gangguan kecemasan, selama tahun pertama mereka di perguruan tinggi.Ilustrasi mendukung orang tersayang yang mengidap gangguan mental. Foto: Tirachard Kumtanom/ShutterstockBahkan, di Amerika Serikat sekitar 60% mahasiswa memenuhi kriteria untuk setidaknya satu permasalahan kesehatan mental pada tahun akademik 2020–2021. Dengan kata lain, tekanan akademik kini bukan lagi sekadar dorongan untuk belajar dengan giat, melainkan sumber kecemasan yang nyata bagi banyak pelajar dan mahasiswa di seluruh dunia.Prestasi yang Dikejar, Ketenangan yang HilangTekanan akademik bisa datang dari berbagai arah. Banyak pelajar dan mahasiswa yang menyebut “tekanan untuk berprestasi” sebagai sumber stres utama dalam keseharian mereka. Persaingan, tuntutan untuk mendapatkan nilai tinggi, serta kemampuan mengatur waktu yang terbatas sering kali membuat mereka kewalahan.Di sisi lain, ekspektasi orang sekitar dan keluarga yang tinggi, seperti harapan untuk selalu menjadi yang terbaik atau membanggakan orang tua, semakin memperparah tekanan yang dirasakan.Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/ShutterstockPenelitian yang dilakukan oleh Lipson dan Eisenberg (2018) menunjukkan bahwa hampir 90% mahasiswa melaporkan kesehatan mental mereka sesekali mengganggu kemampuan belajar, disertai munculnya emosi negatif, seperti kecemasan (41%), kebosanan (39%), dan frustrasi (37%).Angka-angka ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh tekanan akademik terhadap kesejahteraan psikologis generasi muda, bahkan hingga menghambat keterlibatan mereka dalam proses belajar itu sendiri.Jika tidak dikelola dengan baik, stres semacam ini bisa berkembang menjadi gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, hingga kelelahan mental (burnout). Burnout bukan hanya sekadar rasa lelah biasa, melainkan kondisi kelelahan fisik dan emosional yang muncul akibat stres berkepanjangan, terutama dalam konteks akademik. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengikis semangat belajar dan membuat mahasiswa kehilangan makna dari proses belajar itu sendiri.Belajar karena Takut Gagal, bukan karena Ingin TahuIlustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/ShutterstockPola tekanan akademik yang berlebihan perlahan menumbuhkan rasa takut gagal yang kerap disertai kecenderungan perfeksionisme di kalangan pelajar dan mahasiswa. Bukan lagi dorongan rasa ingin tahu yang memotivasi mereka, melainkan ketakutan untuk berbuat salah yang kini menjadi alasan utama mereka belajar. Kondisi ini dikenal sebagai fear of failure, yaitu kecemasan berlebih terhadap kemungkinan gagal yang membuat seseorang lebih fokus pada hasil daripada proses.Menurut Conroy (2002), fear of failure tidak hanya sebatas rasa takut terhadap hasil yang buruk, tetapi juga mencakup berbagai aspek psikologis yang kompleks. Beberapa diantaranya, seperti ketakutan mengalami rasa malu dan penghinaan, penurunan self esteem, kehilangan pengaruh sosial, ketidakpastian masa depan, serta kekhawatiran akan mengecewakan orang lain, terutama orang-orang terdekat.Hal ini dijelaskan dalam penelitian Agustina (2023), yang menemukan bahwa ketakutan akan penurunan self esteem sering muncul sebagai konsekuensi langsung dari fear of failure. Ketika seseorang mengalami kegagalan, mereka cenderung percaya bahwa mereka memang telah gagal, sehingga harga diri mereka menurun. Ketakutan semacam ini terutama muncul pada individu yang memiliki standar tinggi untuk diri mereka sendiri dan sangat berinvestasi dalam citra diri yang mereka bangun.Menciptakan Lingkungan Belajar yang SehatIlustrasi mahasiswa berkuliah. Foto: PanuShot/ShutterstockMengatasi tekanan akademik dan fear of failure tidak bisa hanya mengandalkan individu. Penelitian Dinanti & Usiono (2025) menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor kunci dalam lingkungan sosial yang berpengaruh terhadap kesehatan mental remaja.Dukungan dari orang terdekat, seperti keluarga maupun teman, dapat memberikan dukungan emosional, support positif, dan ruang untuk berbagi pengalaman dan membantu generasi muda merasa aman untuk belajar tanpa takut gagal. Dukungan ini membantu mereka mengatasi stres, merasa didengar, dan meningkatkan rasa koneksi sosial yang kuat.Kesehatan mental merupakan kebutuhan utama setiap manusia. Seseorang dengan kesehatan mental yang baik cenderung mampu mengendalikan diri untuk melakukan tindakan positif, lebih bahagia, dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Beberapa ciri dari kesehatan mental yang baik yaitu mencintai diri sendiri, bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan, mandiri, mampu mengontrol emosi, dan memiliki tujuan hidup yang jelas.Ilustrasi perempuan memprioritaskan kesehatan mental. Foto: SewCreamStudio/ShutterstockUntuk membantu generasi muda menjaga kesehatan mentalnya, penting bagi mereka maupun lingkungan di sekitar untuk menciptakan kebiasaan dan strategi yang mendukung. Misalnya, membangun rasa percaya diri dan mencintai diri sendiri, sehingga membantu dalam menghadapi kegagalan tanpa terlalu keras pada diri sendiri. Kemampuan mengontrol emosi dan bertanggung jawab atas tindakan juga dapat mempermudah menyesuaikan diri dengan tuntutan akademik yang tinggi.Dengan langkah-langkah ini, belajar tidak lagi identik dengan ketakutan, tetapi menjadi sarana untuk tumbuh, mencoba, dan berkembang. Mahasiswa dapat menikmati proses belajar dengan lebih sehat secara mental, membangun ketahanan psikologis, dan mengembangkan potensi mereka secara maksimal.Pada akhirnya, pendidikan yang sehat bukan hanya tentang pencapaian akademik, melainkan juga tentang membentuk generasi yang percaya diri, resilien, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan bijak.