Sumber : kumparanSetiap 10 November, kita menunduk sejenak di depan monumen, menabur bunga di taman makam pahlawan, dan mendengarkan “Gugur Bunga” berkumandang di televisi nasional. Tapi setelah itu? Kita kembali menunduk bukan karena hormat, melainkan karena sibuk mencari sinyal subsidi yang tak kunjung turun, sibuk menunduk di depan layar gawai, atau menunduk malu menyaksikan negeri ini makin miskin teladan.Ironisnya, di negeri yang katanya penuh pahlawan, justru banyak pejabat gemar memahat nama sendiri di tugu peresmian. Dari Sabang sampai Merauke, papan proyek lebih sering menulis “atas prakarsa Bapak/Ibu...” ketimbang nama-nama yang gugur demi republik. Para pahlawan dulu berjuang agar rakyat merdeka dari penjajahan, tapi kini rakyat justru dijajah oleh janji kampanye lima tahunan yang selalu dikemas dengan baliho senyum palsu dan kata-kata “demi rakyat”.Kita menyaksikan negeri yang gemar merayakan simbol, tapi malas meneladani makna. Bendera dikibarkan tinggi-tinggi, sementara integritas dikubur dalam-dalam. Setiap tahun, pidato tentang pengorbanan para pahlawan diulang dengan gaya yang sama, di podium yang sama, oleh orang-orang yang barangkali tak pernah berkorban selain waktu rapat.Tahun 2025 ini, kita hidup di era pasca pemilu yang katanya “transparan dan berintegritas”, tapi hasilnya penuh drama lebih panjang dari sinetron azab. Politik uang disebut “bantuan sosial”, manipulasi suara dikemas sebagai “penyesuaian data”, dan lobi kekuasaan disebut “komunikasi politik”. Di parlemen, banyak yang berteriak lantang soal nasionalisme, tapi lupa bahwa cinta tanah air seharusnya tak diukur dari seringnya pakai batik di sidang, melainkan dari seberapa jujur mereka menjaga amanah rakyat.Kita hidup di negeri yang pahlawannya diperingati setahun sekali, tapi pengkhianatnya diberi panggung setiap hari. Mereka tampil di layar kaca, membagi “motivasi kepemimpinan”, sementara di belakang layar, rakyat menanggung tagihan akibat kebijakan yang mereka jual atas nama pembangunan.Di sekolah-sekolah, anak-anak masih diminta menghafal nama pahlawan nasional, tapi tidak pernah diajarkan cara meneladani keberanian mereka. Guru berkata, “Jangan lupa hormat pada bendera,” padahal banyak pejabat tak hormat pada amanah. Di buku pelajaran, kita hafal tanggal lahir Cut Nyak Dien, tapi tidak diajarkan bagaimana menolak tunduk pada ketidakadilan. Sejarah dijadikan hafalan, bukan kesadaran.Mungkin jika Bung Tomo hidup di zaman ini, beliau akan kembali berteriak “Merdeka!”, tapi bukan kepada penjajah berseragam, melainkan kepada generasi yang nyaman dalam apatisme dan sibuk berdebat di kolom komentar. Karena kini, perjuangan tak lagi di medan perang, melainkan di ruang publik yang kian penuh kebohongan.Lucunya, istilah “pahlawan” kini punya versi baru. Ada “pahlawan digital” yang berjuang lewat tagar dan trending topic, merasa telah menunaikan kewajiban bernegara hanya dengan repost kutipan perjuangan di Instagram. Ada “pahlawan ekonomi” yang disanjung karena investasi besar, padahal membuka tambang tanpa peduli hutan yang digunduli dan kampung yang tergusur. Bahkan, ada “pahlawan demokrasi” yang sibuk selfie di TPS, tapi enggan mengawasi kecurangan. Kita hidup di era di mana citra lebih penting dari integritas; yang viral lebih dipercaya ketimbang yang berjuang diam-diam.Sementara itu, di pelosok negeri, masih ada pahlawan tanpa mikrofon dan tanpa medali. Ada orang tua yang diam-diam membayar sekolah anak tetangga dari uang pensiunnya. Ada bidan yang menempuh jalan berlumpur demi menolong ibu melahirkan. Ada guru honorer yang tetap mengajar meski gajinya tak cukup untuk membeli liter bensin pejabat. Ada petani yang terus menanam meski harga pupuk naik dan janji bantuan tak pernah datang. Mereka tidak pernah muncul di televisi, tapi merekalah yang menjaga bangsa ini tetap hidup.Namun sejarah jarang menulis nama mereka, karena sejarah sering kali disusun oleh yang berkuasa, bukan oleh yang berjuang. Di buku teks, kita membaca kisah para pahlawan besar, tapi melupakan bahwa keberanian sejati sering lahir dari yang kecil, dari mereka yang memilih jujur di tengah sistem yang busuk, dari mereka yang menolak menyerah pada nasib meski negara sendiri yang membuat hidup sulit.Hari Pahlawan seharusnya bukan sekadar mengenang, tapi meneladani. Bukan sekadar upacara dan karangan bunga, tapi momentum untuk bercermin: apakah kita masih mewarisi semangat mereka, atau sekadar memakai seragam perjuangan untuk menutupi kepentingan? Karena di negeri tanpa teladan, hormat pada pahlawan sering berhenti di bibir, sementara nilai-nilai mereka terkubur di bawah proyek mercusuar dan spanduk syukuran anggaran.Kita terlalu sibuk mencari sosok panutan di layar kaca, padahal yang kita butuhkan adalah cermin. Sebab di negeri tanpa teladan, satu-satunya cara menjadi pahlawan adalah berhenti menunggu contoh, dan mulai menjadi contoh itu sendiri.