Ilustrasi Kehidupan Kampus (sumber: freepik)“Hahaha” dan “Pfftttt” adalah respons yang saya terima ketika tidak bisa menjawab pertanyaan guru di bangku Sekolah Dasar (SD). Di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), tawa ejekan atas ketidaktahuan itu bertansformasi menjadi kalimat ejekan: “Masa gitu aja gak tahu”. Kalimat yang sederhana, tapi ajaibnya bisa membuat seseorang malu bertanya dan malu mengakui ketidaktahuan. Dari situ saya menyadari bahwa di sekolah, kadang orang-orang bukan berupaya menguasai pelajaran, tapi menguasai cara agar terlihat pintar. Duduk di bangku terdepan, membidik guru dengan tatapan tajam, angkat tangan dan lontarkan pertanyaan, kemudian pulang dan lupakan. Kondisi demikian membuat kita belajar menjawab cepat, bukan berpikir dalam. Setiap “tidak tahu” terasa seperti celaan, bukan kesempatan untuk belajar. Ironisnya, semakin kita berusaha menutupi ketidaktahuan, semakin kita jauh dari kebenaran.Trauma akan hujatan atas ketidaktahuan berkontribusi terhadap karakter saya yang terlalu takut terlihat bodoh saat kuliah S1. Suatu hari di tahun pertama kuliah, ketika sedang presentasi mengenai topik kualitas pendidikan di Indonesia, saya keliru menyebutkan bahwa anggaran pendidikan nasional yakni 30% dari APBN. Alhasil, dosen pun mengoreksi dengan menyebut angka yang tepat adalah 20%. Akan tetapi, bukannya mengakui kesalahan, saya malah bilang “Sekarang sudah naik, bu”. Sungguh jawaban refleks yang lebih didorong oleh gengsi ketimbang logika.Namun, semuanya berbalik ketika saya duduk di bangku S2. Saat itu, saya memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi di salah satu universitas di Britania Raya. Di hari pengenalan kampus, dosen saya menampilkan quote di layar yang bertuliskan: There’s no shame in not knowing atau tidak perlu malu untuk tidak tahu. Kalimat ini, menjadi kalimat pertama yang ditampilkan dan disampaikan kepada para mahasiswa. Bahwa, tidak tidak tahu bukanlah aib, tidak tahu bukanlah kelemahan, tetapi merupakan awal dari pembelajaran sejati. Quote ini kemudian diikuti dengan kalimat lainnya seperti: There’s no shame in not knowing, the shame is in not being willing to learn atau tidak perlu malu karena tidak tahu, malulah kalau tidak mau belajar (Allison Crogon), dan there’s no shame in not knowing, the only shame is to pretend that we know everything yang berarti tidak perlu malu karena tidak tahu, karena yang memalukan adalah pura-pura tahu segalanya (Richard Feyman).Mendengarnya, saya berdecak kagum, merasa tersentuh, merasa lega dan merasa diterima sebagai manusia. Di jalan pulang menuju flat, saya berkontemplasi diiringi dedaunan yang berjatuhan di musim semi bak di film-film. Menyadari satu hal: Bukankah kita belajar karena tidak tahu? Bukankah pengetahuan datang dari ketidaktahuan? Lalu mengapa kita sering mengutuk ketidaktahuan?Kita bukan Tuhan yang Mahatahu, bukan pula orang ketiga serba tahu, kita tidak tahu-tahu lahir dan tahu semuanya. Kapasitas otak kita terbatas, dan sangat wajar jika A mengetahui sesuatu yang tidak diketahui B, begitupun sebaliknya. Informasi, pergaulan, dan lingkungan yang kita miliki berbeda dengan orang lain, sehingga apa yang tampak jelas bagi kita bisa jadi tampak asing bagi yang lain. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi hanya karena berbeda pengetahuan, yang membedakan hanyalah pengalaman dan kesempatan untuk belajar. Oleh karena itu, menerima pertanyaan, kesalahan, dan ketidaktahuan orang lain sama halnya dengan menerima bahwa kita sendiri tidak tahu segalanya.Ketidaktahuan bukanlah aib, melainkan proses belajar. Bukankah akan lebih ringan untuk jujur mengakui ketidaktahuan dan bertanya untuk belajar, daripada berpura-pura tahu dan menipu diri sendiri? Sudah saatnya kita menciptakan iklim belajar dan diskusi yang tidak menghakimi atau mengejek, serta saling mengingatkan ketika mulut sudah kelepasan. Dengan begitu, kita membangun budaya di mana pertanyaan menjadi kekuatan, bukan kelemahan, dan ketidaktahuan menjadi titik awal untuk tumbuh, bukan terbunuh.