Ilustrasi wanita horor. Foto: Dok: Shutterstock“Saat Penonton Mulai Bosan dengan Ketakutan yang Sama”Beberapa tahun lalu, bioskop Indonesia seperti hidup lagi gara-gara horor. Dari KKN di Desa Penari sampai Sewu Dino, kursi bioskop penuh, antrean mengular, dan media sosial ramai bahas “film paling seram tahun ini.” Tapi 2024 dan awal 2025 mulai terasa berbeda. Film horor masih ada, tapi gaungnya tidak seheboh dulu.Padahal, secara keseluruhan, industri film Indonesia sedang bagus-bagusnya. Data dari Deadline (Januari 2025) menunjukkan total penjualan tiket bioskop di Indonesia mencapai sekitar 126 juta pada 2024, naik sekitar 10 persen dari 2023 yang mencatat 114,5 juta penonton. Artinya, orang Indonesia lagi rajin-rajinnya nonton. Tapi kalau kita lihat lebih dekat, ternyata bukan horor yang bikin angka itu melonjak.Menurut laporan The Jakarta Post (Januari 2025), dari sekitar 80 juta tiket film Indonesia yang terjual tahun lalu, sebagian besar datang dari film komedi dan drama keluarga. Film horor masih ada di papan atas, tetapi tidak lagi mendominasi. Yang paling ramai? Agak Laen, film absurd yang justru berdiri sebagai juara dengan lebih dari 9 juta penonton. Ironisnya, film itu justru menertawakan ketakutan, bukan menakut-nakuti.Ada semacam kejenuhan yang mulai terasa. Di satu sisi, film horor masih disukai karena dekat dengan budaya dan kepercayaan masyarakat kita. Tapi di sisi lain, terlalu banyak film dengan pola yang mirip; hantu muncul di cermin, ritual malam Jumat, jeritan gadis muda, dan ending yang bikin geleng kepala karena tak selesai dengan jelas. Penonton sekarang makin cerdas. Mereka tahu kapan film sedang berusaha menakut-nakuti dengan efek dan suara, bukan dengan cerita. Apalagi generasi muda yang hidupnya akrab dengan jump scare YouTube dan TikTok horror thread, buat mereka, film bioskop harus menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar “kaget.”Fase BaruBisa jadi ini tanda bahwa kita sudah memasuki fase baru, masa di mana horor tidak otomatis laku hanya karena horor. Beberapa produser sebenarnya sudah sadar. Mereka mencoba membuat horor dengan pendekatan berbeda. Film seperti Siksa Kubur (2024) yang memadukan unsur spiritual, trauma, dan kritik sosial. Hasilnya cukup kuat, ebih dari 4 juta penonton, tetapi belum menjadi fenomena nasional. Di titik ini, kita dapat mengatakan bahwa publik masih mau menonton horor, asal ada alasan emosional yang jelas, bukan sekadar takut-takutan, karena ketika terlalu banyak film muncul dengan gaya dan rasa yang sama, efeknya justru berbalik. Orang bosan.Apalagi, bioskop kini penuh sesak dengan film lokal dari berbagai genre. Tahun lalu, menurut laporan Screen Daily, 65% pangsa pasar bioskop Indonesia diisi film lokal. Artinya, kompetisi bukan cuma antara film Indonesia vs film asing, tapi juga antar film lokal sendiri. Dengan begitu banyak pilihan, penonton akhirnya memilih yang paling menarik, bukan sekadar yang paling seram.Kita juga perlu mengakui bahwa konteks menonton berubah. Setelah pandemi, menonton film bukan lagi sekadar hiburan, tapi jadi bentuk “pelarian sosial.” Orang datang ke bioskop untuk ketawa bareng, bukan untuk ketakutan sendirian di kursi. Karena itu, film komedi dan drama yang menghibur menjadi ramai, sementara horor yang gelap dan berat mulai kehilangan daya tarik massalnya.Sebagian orang bilang: “ya, mungkin penonton sudah jenuh.” Tapi bisa jadi ini bukan soal kejenuhan, melainkan pergeseran selera. Kita semua masih suka cerita menyeramkan, tapi caranya harus lebih segar. Horor yang hanya mengandalkan hantu-hantuan kini terasa basi. Penonton ingin horor yang menyentuh sisi psikologis, menyindir realitas sosial, atau justru memancing tawa karena absurditasnya. Agak Laen sukses karena dia sadar, kadang ketakutan paling dalam justru muncul dari hal-hal yang absurd, bukan dari sosok pocong atau kuntilanak.Dampak ke IndustriSecara angka, belum terasa negatif. Total penonton bioskop malah meningkat. Tapi jika genre yang memiliki peminat setia terus menurun daya tariknya, efek domino bisa muncul, produksi menjadi lesu, ide berulang, dan sebagian segmen penonton (terutama mereka yang datang ke bioskop hanya kalau ada horor baru) bisa perlahan menghilang. Itu sebabnya, pelaku industri perlu mulai berpikir jangka panjang. Horor tidak boleh diperlakukan seperti tambang emas yang digali tanpa henti. Ia harus dikelola seperti kebun, dirawat, diberi pupuk kreativitas, dan dibiarkan tumbuh ke arah baru.Horor bisa tetap hidup, tapi harus berani berubah. Misalnya, menggabungkan genre; horor-romansa, horor-thriller politik, atau horor yang terinspirasi kisah nyata dengan pendekatan dokumenter. Penonton kini mencari pengalaman emosional, bukan sekadar sensasi.Bioskop juga punya peran penting. Mereka bisa membantu memulihkan “rasa” menonton horor lewat pengalaman sinematik yang berbeda. Midnight screening, acara nonton bareng komunitas horor, atau sesi diskusi dengan pembuat film bisa bikin horor terasa lebih imersif. Karena yang dicari orang bukan hanya cerita di layar, tapi juga cerita di balik layar, dan itu yang membuat film lokal punya jiwa.Pada akhirnya, mungkin kita sedang menyaksikan perubahan alami dalam siklus hiburan. Dulu drama percintaan remaja berjaya, lalu tergeser oleh film religi, lalu datang era horor, dan kini mungkin giliran komedi dan drama keluarga memimpin. Tapi jangan salah, setiap genre pasti punya masa kebangkitannya sendiri. Horor mungkin sedang istirahat, bukan kalah.Ketika nanti muncul film yang benar-benar berani, bukan cuma soal menakuti, tapi juga menyentuh sisi manusia, mungkin penonton akan kembali memenuhi bioskop sambil menahan napas. Sampai saat itu datang, industri harus belajar satu hal penting, rasa takut pun bisa kehilangan daya jika tidak disajikan dengan cinta dan kecerdasan.