Soeharto diusulkan menjadi pahlawan menjadi polemik. (AFP/John Gibson)Hari Pahlawan, 10 November 2025 menjadi salah satu titik penanda sejarah. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan sepuluh tokoh penerima gelar pahlawan nasional. Seperti diungkapkan Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, nama Soeharto masuk dalam daftar tersebut. Ini bukan sekadar penghargaan simbolik. Ini adalah penilaian ulang terhadap seorang pemimpin yang telah lama menjadi perdebatan. Dicintai dan dibenci dalam napas yang sama. Terlepas dari kontroversi, wacana ini layak mendapat ruang yang adil. Bukan untuk menutupi sejarah kelam, tapi untuk membaca ulang kontribusi besar yang selama ini tersembunyi di balik retorika politik. Sebagai presiden kedua Indonesia, Soeharto membangun Indonesia dengan pendekatan teknokratik. Stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, hingga peningkatan kesejahteraan. Pengamat menyebut bahwa Soeharto “menjaga stabilitas politik, memperkuat kedaulatan ekonomi, dan meletakkan fondasi pembangunan nasional”. Fakta formal menunjukkan bahwa usulan pemberian gelar ini bukan mendadak. Nama Soeharto diusulkan melalui jalur resmi dari pemerintah daerah, kemudian diproses oleh Kementerian Sosial, dan diteruskan ke Dewan Gelar. Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang juga Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), menegaskan bahwa Soeharto memenuhi syarat untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Ia menyebut, nama Soeharto telah diusulkan “tiga kali bahkan”, dan telah melalui mekanisme lengkap dari tingkat kabupaten hingga pusat. Pemberian gelar bukan berarti penyucian masa lalu. Justru sebaliknya — sebuah bangsa besar harus mampu merangkum semua fragmen sejarah, baik yang menyakitkan maupun membanggakan. Kritik tetap penting dan sah. Namun, penghargaan terhadap jasa yang konkret juga bagian dari pembacaan sejarah yang utuh. Bangsa ini tidak bisa terus hidup dalam dikotomi hitam-putih. Jasa besar dan kesalahan besar bisa dikenang bersamaan, tanpa harus saling meniadakan. Penolakan terhadap pencalonan ini pun datang dari berbagai kalangan. Dari PDI Perjuangan, Gus Mus, hingga sejumlah elemen masyarakat sipil yang menyoroti pelanggaran HAM dan praktik korupsi selama 32 tahun Orde Baru. Amnesty International Indonesia bahkan menyebut pencalonan ini sebagai bentuk “pengkhianatan terbesar terhadap semangat reformasi 1998”.Semua kritik itu valid. Namun, penting juga dicatat bahwa penghargaan ini tidak akan menghapus kritik, tidak akan menghapus luka, dan tidak akan mengubah sejarah. Justru dengan adanya penghargaan inilah, ruang publik akan semakin terbuka untuk mendiskusikan Soeharto secara lebih jernih dan proporsional. Masyarakat Indonesia sudah dua dekade lebih melewati masa reformasi. Waktu memberikan jarak, dan jarak memungkinkan pembacaan ulang. Di masa ini, bangsa ini butuh sikap dewasa terhadap sejarahnya sendiri. Apalagi, prosedur resmi pengusulan sudah dilalui — dari masyarakat, pemerintah daerah, hingga kementerian dan Dewan Gelar. Proses ini legal, formal, dan berbasis hukum. Jika akhirnya presiden memutuskan untuk memberikan gelar pahlawan nasional, keputusan itu tidak bisa disebut manipulatif. Yang menarik adalah, justru lewat pemberian gelar ini, ruang rekonsiliasi terbuka. Bukan antara korban dan pelaku. Tapi antara generasi. Generasi yang hidup di masa Soeharto, dan generasi yang tumbuh pascareformasi. Gelar ini tidak menghapus penderitaan, tetapi bisa menjadi jalan untuk memahami liku-liku sejarah Indonesia. Ini bukan perkara setuju atau tidak setuju. Tapi tentang keberanian untuk melihat sejarah apa adanya — bukan dengan dendam, tapi dengan kedewasaan. Jika gelar pahlawan akhirnya diberikan, hal paling mencolok bukanlah pada tercantumnya nama Soeharto dalam daftar. Melainkan pada keberanian bangsa ini untuk memaknai sejarah dengan cara yang lebih dewasa. Bahwa tokoh besar tidak harus steril dari cacat. Bahwa penghormatan tidak selalu berarti pengampunan. Bahwa penghargaan bisa hidup berdampingan dengan kritik. Dan mungkin, di sanalah titik awal kematangan sejarah bangsa ini.