Isu Geotermal Gunung Lawu: Ketika Energi Menyentuh Identitas

Wait 5 sec.

Gunung Lawu, Jawa Tengah. Foto: noer cungkring/ShutterstockIsu Geotermal Gunung Lawu beberapa waktu lalu, sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial setelah muncul pemberitaan tentang rencana pengembangan energi panas bumi (Geotermal) di kawasan tersebut. Ramai masyarakat yang menolak, organisasi seperti Muhammadiyah pun ikut bersuara, hingga muncul tagar #SaveGunungLawu di berbagai flatform.Setelah pemberitaan tersebut, kementerian energi dan sumber daya mineral (ESDM) sudah menegaskan bahwa gunung lawu tidak termasuk dalam wilayah kerja panas bumi (WKP). Artinya, tidak ada kegiatan eksplorasi di Kawasan inti gunung lawu. Namun, reaksi publik sudah terlanjur meluas. Fenomena ini bukan hanya sekedar kebijakan energi, tetapi juga menyangkut cara masyarakat memaknai tempat identitas dan rasa aman mereka.Melalui kacamata psikologi, kita bisa memahami mengapa berita tentang proyek geothermal mampu menimbulkan kecemasan dan penolakan yang begitu besar. Isu geotermal Lawu bukan hanya soal lingkungan tetapi juga menyangkut sisi psikologi dan identitas budaya masyarakat.Potret langsung Gunung Lawu. Foto : dokumentasi pribadiIsu Geotermal Gunung Lawu dan Nilai Emosional di Balik Sebuah TempatDalam ilmu psikologi terdapat bidang psikologi yang disebut dengan psikologi lingkungan, yang dikenal dengan kosep keterikatan terhadap tempat (place attachment), yaitu hubungan emosional, kognitif dan perilaku seseorang yang dibentuk dengan suatu tempat, seperti rumah, kota, atau lingkungan alam. Tempat yang dimaksud tidak hanya dipahami sebagai ruang fisik, tetapi juga sebagai wadah yang menyimpan makna, pengalaman, serta identitas sosial yang melekat pada penghuninya.Bagi masyarakat jawa, gunung lawu bukanlah sekedar bentang alam, melainkan ruang yang menyatukan nilai budaya, spiritual, dan Sejarah leluhur. Karena itulah, Ketika muncul kabar bahwa Kawasan ini akan dimanfaatkan untuk proyek eksplorasi, banyak warga yang merasa bagian dari jati diri mereka ikut terancam.Penelitian Scannell dan Gifford (2010) menunjukkan bahwa keterikatan terhadap tempat dapat memicu respons emosional yang kuat saat tempat tersebut dianggap teramcam, bahkan sebelum bahaya itu benar-benar nyata. Hal inilah yang menjelaskan mengapa, meskipun pemerintah sudah memberikan klarifikasi resmi, perasaan cemas di masyarakat masih sulit mereda.Identitas Sosial dan Solidaritas Penolakan Terhadap Isu Geotermal Gunung LawuApi membakar hutan dan lahan (karhutla) Gunung Lawu di Cetho, Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (5/10/2023). Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA FOTOReaksi kolektif masyarakat Lawu juga dapat dijelaskan melalui teori identitas sosial (Tjfel dan Turner, 1979), menurutnya identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri seseorang yang terbentuk dari kesadarannya menjadi anggota suatu kelompok sosial tertentu, baik komunitas adat, organisasi keagamaan maupun masyarakat lokal.Ketika nilai-nilai yang dipegang kelompok tersebut dianggap terancam, individu dalam kelompok akan menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi. Mereka Bersatu untuk mempertahankan nilai dan simbol yang menjadi ciri kelompoknya. Hal inilah yang terjadi dalam fenomena lawu, masyarakat lokal dan organisasi keagamaan merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kesakralan gunung yang mereka anggap sebagai ruang budaya dan spiritual bersama.Penelitian Utami & Silalahi (2013) mendukung penjelasan ini. Mereka menemukan bahwa semakin kuat identitas sosial seseorang terhadap kelompoknya, semakin kecil kecenderungannya untuk mengikuti tekanan sosial secara membuta (konformitas). Artinya, individu dengan identitas kelompok yang kuat akan lebih berani mengekspresikan pendapat dan mempertahankan nilai kelompoknya ketika dihadapkan pada situasi yang dianggap mengancam.Dalam konteks Lawu, hal ini tampak ketika warga dan tokoh masyarakat menolak proyek meski mendapat tekanan dari narasi “pembangunan nasional” atau “energi bersih”. Bagi mereka, isu tersebut bukan sekadar kebijakan, tetapi menyentuh aspek moral dan eksistensial tentang siapa mereka dan apa yang ingin mereka lindungi.Reaksi semacam ini bukan tanda ketidakrasionalan, melainkan wujud dari mekanisme psikologis yang menjunjung tinggi rasa kebersamaan dan identitas sosial. Ketika sebuah komunitas merasa nilai inti mereka terganggu, solidaritas muncul secara alami sebagai bentuk pertahanan terhadap ancaman identitas.Dari Ketidakpastian ke Stres Kolektif di Sekitar Gunung LawuPengunjung melihat asap dan belerang yang keluar dari dinding kawah Candradimuka di Gunung Lawu, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (5/8/2024). Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA FOTOReaksi emosional masyarakat terhadap wacana proyek geotermal di Gunung Lawu tidak hanya bisa dijelaskan lewat faktor sosial, tetapi juga melalui mekanisme biologis dan keterikatan emosional terhadap tempat. Ketika individu merasa tempat yang bermakna bagi dirinya terancam, tubuh merespons layaknya menghadapi bahaya nyata.Dari sisi biologis, otak memicu sistem HPA axis (hypothalamus–pituitary–adrenal) jalur utama yang mengatur stres. Ketika muncul ancaman atau ketidakpastian, hipotalamus melepaskan hormon CRH, yang memicu pituitari menghasilkan ACTH, lalu merangsang kelenjar adrenal untuk mengeluarkan kortisol. Hormon ini membuat tubuh siaga, meningkatkan kewaspadaan, dan menyiapkan respons fight or flight (Kinlein & Karatsoreos, 2020).Namun, bila ketidakpastian berlangsung lama, sistem ini tetap aktif sehingga muncul stres kronis. Kondisi ini menimbulkan allostatic load atau beban fisiologis akibat ketegangan terus-menerus yang berujung pada kelelahan emosional, mudah curiga, hingga reaksi sosial yang sensitif terhadap setiap isu baru. Dalam konteks Lawu, ini terlihat ketika masyarakat terus gelisah terhadap pemberitaan yang simpang siur, bahkan setelah ada klarifikasi resmi.Menariknya, dari perspektif neurobiologi keterikatan (Feldman, 2017), respons kolektif ini tidak hanya berasal dari rasa takut, tetapi juga dari ikatan sosial dan emosional yang melibatkan sistem hormon oksitosin dan dopamin. Kedua zat kimia otak ini bekerja membangun rasa keterhubungan, kepercayaan, dan kasih terhadap lingkungan atau sesama. Oksitosin berperan menenangkan sistem stres dengan menekan aktivitas HPA axis, sementara dopamin memberi rasa motivasi dan makna terhadap hubungan yang dijaga.Ketika masyarakat merasakan ancaman terhadap Gunung Lawu yang selama ini menjadi simbol spiritual dan identitas bersama aktivasi oksitosin dan dopamin ini berubah arah: dari rasa aman menjadi dorongan untuk melindungi. Dalam kondisi sosial seperti ini, terjadi apa yang disebut biobehavioral synchrony, keselarasan antara emosi, perilaku, dan fisiologi antarindividu yang merasa saling terhubung (Feldman, 2017). Inilah yang menjelaskan mengapa masyarakat dapat bergerak kompak menolak proyek tanpa harus ada satu komando tunggal: tubuh dan emosi mereka “selaras” oleh makna yang sama.Fenomena Gunung Lawu memberikan pelajaran penting bahwa pembangunan tidak hanya bergantung pada aspek teknis dan ekonomi, tetapi juga menyangkut sisi psikologis dan budaya masyarakat. Kebijakan apa pun akan lebih diterima jika dirancang dengan pendekatan partisipatif, yang melibatkan warga sejak awal dan memperhatikan nilai-nilai yang mereka junjung. Komunikasi yang empatik serta kejelasan informasi dapat menurunkan kecemasan sosial, sementara pengelolaan narasi di ruang publik menjadi kunci agar persepsi tidak mudah disalahartikan. Di tengah derasnya arus informasi digital, keterbukaan dan dialog dua arah menjadi fondasi penting dalam menjaga kepercayaan publik terhadap proses pembangunan.Polemik geotermal Lawu juga menunjukkan bahwa bagi masyarakat setempat, gunung bukan hanya sumber energi, melainkan simbol kehidupan, spiritualitas, dan sejarah leluhur. Reaksi penolakan mereka sesungguhnya mencerminkan bentuk keterikatan emosional yang mendalam terhadap tempat yang dianggap suci. Dari perspektif psikologi, hal ini adalah wujud alami manusia dalam mempertahankan makna yang melekat pada identitasnya. Maka, pembangunan yang berkelanjutan seharusnya tidak hanya menyejahterakan bumi secara fisik, tetapi juga menenangkan batin dan menjaga harmoni antara manusia, budaya, dan alam.