Pengkultusan Tokoh dan Ketimpangan Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren

Wait 5 sec.

Adanya ketimpangan relasi kuasa menjadi salah satu penyebab terjadinya kekeasan seksual di lingkunga lembaga pendidika, termasuk pesantren. (Unsplash)JAKARTA - Adanya pengkultusan terhadap pemuka agama menjadi salah satu penyebab maraknya kasus kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama. Nama Muhammad Elham Yahya Luqman atau Gus Elham tengah populer di kalangan masyarakat belakangan ini. Tapi popularitasnya mengundang kritik dan hujan, setelah beredar foto dan video perilaku tak pantas Gus Elham. Dari video yang beredar di media sosial, Gus Elham tampak menciumi sejumlah anak kecil di atas panggung saat pengajian. Unggahan tersebut memantik kemarahan warganet, apalagi belakangan diketahui ternyata aksinya menciumi anak-anak perempuan sering terjadi, dan dilakukan saat pengajian.Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi'i menilai itu tindakan yang pantas, apalagi karena yang bersangkutan dianggap pemuka agama.Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang.Muhammad Elham Yahya Luqman atau Gus Elham tengah menjadi sorotan setelah beredar video dirinya menciumi sejumlah anak kecil. (Instagram/@guselhamofficial) Ubaid menjelaskan, ketika ada hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, selalu ada celah bagi penyalahgunaan wewenang, termasuk dalam kasus yang melibatkan tokoh agama dan figur spiritual. Ancaman Kekerasan di Lembaga PendidikanTindakan tak pantas yang dilakukan Gus Elham pada anak-anak perempuan membuat lembaga pendidikan berbasis agama, khususnya pesantren, kembali menjadi sorotan.Menurut data JPPI, sebanyak 573 kasus kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan sepanjang 2024, di mana dari jumlah tersebut 42 persen di antaranya merupakan kasus pencabulan.Dari total kasus pencabulan itu, 36 persen di antaranya terjadi di lingkungan belajar berbasis agama seperti pesantren. Jumlah korban yang terungkap diduga meningkat pada 2025.Hingga Juni, JPPI mencatat ada 130 kasus. Dan ironisnya, kekerasan seksual ini justru dilakukan oleh pengurus serta pengajar pondok pesantren. Sementara itu, dari Komnas Perempuan mencatat, sepanjang 2020 sampai 2024, kekerasan seksual di pesantren atau pendidikan berbasis agama berada di urutan kedua terbanyak setelah perguruan tinggi.Pada periode itu, terdapat total 97 pengaduan kekerasan seksual di ranah pendidikan. Kekerasan seksual di perguruan tinggi di urutan pertama tercatat sebanyak 42 kasus (43 persen), sedangkan pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam di urutan kedua tercatat sebanyak 17 kasus (17,52 persen). Aksi Gus Elham menciumi anak-anak perempuan di sela-sela dakwahnya memaksa publik kembali mengingat kasus kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren.Lingkungan yang TertutupBeberapa tahun lalu, kasus pengasuh boarding school di kawasan Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat menggegerkan publik. Adalah Herry Wirawan, seorang pengasuh yang ketahuan mencabuli belasan santrinya hingga hamil dan melahirkan. Akibat perbuatannya, Herry divonis hukuman mati.Yang belum lama terungkap adalah pengasuh pondok pesantren di Rembang, Jawa Timur, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawa umur dan santrinya sendiri pada Mei 2025.Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, kasus kekerasan seksual yang marak di lingkungan lembaga pendidikan agama terjadi karena lingkungan yang tertutup dan pola relasi yang terbangun. "Hal ini ditandai oleh guru agama sebagai pihak yang dominan dan santri sebagai pihak yang submisif," kata Reza kepada VOI.Meski demikian, Reza menegaskan masalah kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan Islam. Ia merujuk pada fakta pada tahun 2000-an Paus Yohannes Paulus akhirnya mengakui kasus-kasus child molestation di lingkungan gereja."Artinya, kejahatan seksual terhadap anak bisa terjadi di komunitas mana pun," tegasnya.Kasus Kekerasan MerajalelaPada 2020, kasus kekerasan seksual terungkap di Gereja Paroki Santo Herkulanus di Depok, Jawa Barat.Sumber lain menyebutkan sedikitnya 21 orang telah melapor menjadi korban pencabulan oleh SPM yang merupakan pembimbing anak di gereja. SPM juga mengaku telah melakukan kekerasan seksual sejak 2002 atau 18 tahun sebelum kasus ini terungkap.Kasus kekerasan seksual juga terjadi di Gereja Katolik d Indonesia. Menurut data sejumlah sumber per November 209, terdapat 56 orang korban kekerasan seksual di kalangan klerus Gereja Katolik.Rinciannya adalah 21 korban merupakan seminaris dan frater, 20 suster, dan 15 korban nonreligius. Sedangkan pelakunya tercatat sebanyak 33 orang imam dan 23 orang bukan imam.Masalah kekerasan seksual tidak hanya terjadi di sekolah berbasis agama, tapi juga di sekolah uumum. (Unsplash)Penelitian yang dilakukan oleh Dinda Adhani (2024) dan dipublikasikan Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa relasi kuasa dan kekuasaan besar menjadi faktor utama tokoh agama melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Para pelaku biasanya melakukan intimidasi terhadap para korban. Penyalahgunaan WewenangHal ini dibenarkan Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji. Menurutnya, masalah kekerasan seksual tidak bisa disimplifikasi sebagai persoalan yang hanya terjadi di sekolah berbasis agama. Di sekolah umum pun, pola serupa dapat ditemukan.Ubaid menyebutkan celah penyalahgunaan wewenang, termasuk yang melibatkan tokoh agama, dapat terjadi ketika ada hubungan kekuasaan yang timpang. Ia menambahkan, pengkultusan terhadap tokoh agama terjadi ketika relasi kuasa antara guru dan dan murid, disalahgunakan. "Guru menggunakan otoritas spiritualnya untuk memperoleh keuntungan pribadi, dapat berupa materi, finansial, status, atau yang paling berbahaya akses seksual dengan dalih ritual, penyucian, atau bahkan perintah spirital," ujar Ubaid.Pengkultusan, kata Ubaid, adalah transformasi relasi kuasa spiritual menjadi alat kontrol eksploitasi. Pengkultusan inilah yang menjadi enabler utama yang memungkinkan pelaku kekerasan seksual di lembaga keagaaan untuk menghilangkan consent atau persetujuan dari korban. "Korban, terutama anak-anak, didoktrin bahwa menolak adalah dosa besar, sedangkan mematuhi adalah pahala tertinggi sehinga membuat mereka tidak berdaya dan sulit melapor," cetusnya.