Foto oleh Oladimeji Ajegbile dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-berkerah-leher-putih-menggapai-suka-3314294/Di era digital, wibawa tak lagi hanya milik mereka yang berdiri di mimbar masjid. Dunia maya melahirkan figur baru: influencer. Mereka tidak perlu gelar keagamaan untuk didengar, cukup dengan konten singkat dan gaya yang relatable. Sementara itu, ulama, yang selama berabad-abad menjadi sumber ilmu dan panutan umat, kini menghadapi tantangan: bagaimana tetap relevan di mata generasi yang hidup dalam kecepatan algoritma?Ulama dan Influencer, Dua Otoritas yang BerbedaSecara makna, ulama berasal dari kata Arab ‘alim yang berarti orang berilmu. Ulama memiliki otoritas karena kedalaman ilmunya dan sanad keilmuan yang panjang. Mereka berbicara berdasarkan teks, tafsir, dan tanggung jawab moral.Sementara itu, influencer berasal dari kata influence — memengaruhi. Mereka memperoleh otoritas dari followers, bukan dari sanad. Sumber kekuatan mereka ada pada kemampuan berkomunikasi, mengemas pesan, dan membangun kedekatan emosional dengan audiens.Bagi Gen Z, figur yang “dekat” sering kali lebih menarik daripada yang “berilmu”. Di sinilah pergeseran mulai terjadi. Ulama berbicara dari mimbar dengan bahasa tinggi, sedangkan influencer berbicara lewat layar dengan bahasa sehari-hari.Gen Z dan Otoritas Baru dalam BeragamaGenerasi Z lahir dalam dunia serba digital. Mereka terbiasa mendapatkan informasi secara instan. Alih-alih menghadiri ceramah satu jam di masjid, mereka lebih suka menonton potongan video berdurasi satu menit di TikTok.Bukan berarti mereka tidak peduli agama. Hanya saja, cara mereka berinteraksi dengan ilmu agama berubah. Mereka ingin dakwah yang ringan, visual, dan cepat dicerna — bukan yang menggurui.Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: siapa yang kini lebih didengar oleh Gen Z — ulama atau influencer? Jawabannya, mungkin keduanya. Tapi cara mereka memengaruhi jelas berbeda. Ulama berbicara lewat kedalaman ilmu, influencer lewat kedekatan gaya.Dari Mazhab Fikih ke “Mazhab Digital”Dalam sejarah Islam, perbedaan pandangan diwadahi melalui berbagai mazhab fikih: Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali.Perbedaan itu ilmiah dan berdasar. Para imam mazhab memiliki metodologi, sanad, dan kerangka berpikir yang jelas. Namun kini, muncul fenomena baru: “mazhab digital.”Mazhab ini tidak dibentuk oleh keilmuan, tetapi oleh algoritma. Pengikutnya tidak berasal dari pesantren atau majelis taklim, melainkan dari followers dan views.Setiap akun dakwah, ustaz muda, hingga selebgram hijrah punya “mazhab” sendiri. Perbedaan muncul bukan karena metodologi, melainkan karena gaya dan narasi yang viral.Jika dulu perbedaan mazhab mendorong diskusi ilmiah, kini perbedaan dalam “mazhab digital” kadang justru melahirkan debat komentar dan saling tuduh sesat. Inilah tantangan baru bagi keberagamaan di era media sosial.Pertemuan Dua DuniaNamun, ulama dan influencer tidak harus dipertentangkan. Keduanya justru bisa saling melengkapi. Ulama membawa kedalaman, influencer membawa jangkauan.Kita bisa melihat figur seperti Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Hanan Attaki, atau Habib Husein Ja’far sebagai contoh pertemuan dua dunia itu. Mereka berilmu, tapi juga memahami bahasa media sosial. Dakwah mereka tetap syar’i, namun dikemas dengan cara yang akrab bagi Gen Z.Kolaborasi semacam ini menunjukkan bahwa agama tidak ketinggalan zaman, hanya perlu cara baru untuk disampaikan.Penutup: Rebutan yang SehatPada akhirnya, perebutan antara ulama dan influencer bukan soal siapa yang lebih populer, tetapi siapa yang lebih mampu membawa generasi muda ke arah kebaikan.Gen Z tidak menolak agama; mereka hanya mencari panutan yang jujur, autentik, dan bisa diajak bicara setara.Di dunia yang penuh distraksi dan informasi instan, baik ulama maupun influencer memegang peran penting.Mereka sama-sama sedang merebut hati dan akal generasi yang akan menentukan wajah keberagamaan masa depan.