Foto Dokumentasi PribadiDalam hidup manusia tidak lepas dari yang namanya ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisahan. Hal itu sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah 155:“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”. Namun dalam menjalaninya banyak orang yang merasa tidak kuat, salah satu bentuknya mengeluh. Untuk tidak menyebut semua, mengeluh mungkin akan dirasakan setiap manusia, termasuk diri ini. Oleh karena itu, dalam ayat di atas Allah telah mengingatkan untuk bersabar sebagai bentuk laku hidup yang penuh keyakinan.Menjalani sabar dalam beberapa hal memang terasa berat. Namun, justru di sana keyakinan kita sedikit banyak akan terasah, utamanya tentang keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkan dan membiarkan hambanya sendirian dan selalu gelisah. Sebagaimana firman-Nya: “Tuhanmu (Nabi Muhammad) tidak meninggalkan dan tidak (pula) membencimu” (Ad-Dhuha:3). Ayat di atas mengindikasikan bahwa Allah tidak meninggalkan hambanya baik di kala susah maupun senang, dalam arti Allah selalu bersama hambanya. Dalam tradisi Jawa, terdapat sebuah ungkapan yang menerjemahkan pemahaman terkait dengan “Allah bersama hambanya”, yang termaktub dalam pitutur “Gusti Allah Mboten Sare”.Gusti Allah Mboten Sare secara harfiah bermakna “Allah tidak pernah tidur”. Meski terlihat sederhana sebagai sebuah pitutur, ternyata ungkapan itu mempunyai daya magis yang mendalam. Ungkapan ini biasanya bagi masyarakat Jawa, terutama orang tua dulu. Diucapkan secara spontan ketika kita sebagai manusia mengalami pergumulan hidup.Secara filosofi ungkapan itu mengandung banyak hal, pertama bahwa Allah tidak pernah absen dalam penciptaan-Nya, kedua Allah selalu mengawasi, melihat, dan mendengar hambanya. Lebih jauh jika diamati pitutur “Gusti Allah Mboten Sare”, ternyata sama persis dengan bunyi ayat kursi yang pertama: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak dilanda oleh kantuk dan tidak (pula) oleh tidur” (Al-Baqarah: 255).Ayat pertama dari ayat Kursi (Al-Baqarah: 255). Sepintas sangat mirip dengan ungkapan “Gusti Allah Mboten Sare”. Hal itu karena di dalamnya terkandung makna yang sama-sama mendalam. Abdullah bin Masud R.A ketika ditanya, “ayat apakah yang paling ampuh?” ia menjawab “ayat Kursi”. Sebab di dalamnya terdapat keistimewaan, salah satunya menguatkan keimanan dan optimisme, bahwa Allah selalu hidup, selalu hadir untuk mengurus keperluan kita. Jangan merasa kesepian atau sendirian dalam mengatasi masalah, sebab Allah tidak mengantuk ataupun tidur, dan kuasa mengatasinya.Menurut Gus Baha, makna dari Allah tidak tidur dan mengantuk adalah bahwa Allah adalah Tuhan yang sempurna. Ketiadaan rasa kantuk dan tidur adalah wujud sifat Allah yang tidak pernah meninggalkan tugas-Nya sebagai pemelihara seluruh makhluk. Adapun hikmah di balik sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam ayat Kursi. Tentang keyakinan bahwa Allah selalu menjaga dan memelihara alam semesta tanpa pernah lelah.Oleh karena itu, memahami sifat Allah dalam ayat Kursi dan diungkapkan melalui pitutur “Gusti Allah Mboten Sare”. Mengajarkan tentang artinya tawakal, optimistis, dan kerendahan hati. Dalam banyak contoh yang diceritakan oleh para ustad, pitutur ini bukan hanya sekadar sebagai teori namun praktik dalam kehidupan. Sebagai contoh: “ada seorang pedagang nasi goreng di Jogjakarta yang masih buka hingga pukul 02:00 dini hari, di spanduk dagangannya tertulis pitutur “Gusti Allah Mboten Sare”. Saat ada pembeli di jam 2 dini hari. Sang pembeli bertanya, “pak, kenapa jam segini masih buka?”. Sang pedagang menjawab, “itu karena saya yakin meski dagangan saya kurang ramai, tapi Allah tidak pernah tidur, buktinya bapak membeli nasi goreng saya meski sudah jam 2 dini hari yang bahkan bapak sendiri datang dari Jakarta“.Kenyataan ini merupakan pelajaran berharga dalam menjalani hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Gus Baha bahwa memahami sifat Allah melalui ayat Kursi juga menjadi cara untuk memperkuat rasa tawakal. Sebab, dengan meyakini bahwa Allah tidak pernah tidur, manusia akan merasa aman berada di bawah penjagaan-Nya. Dan mengingatkan manusia untuk selalu bergantung kepada Allah dalam segala urusan. “Karena hanya Allah yang tidak pernah salah, lupa, dan tidak pernah lengah”.