Mencari Batas Keramahan

Wait 5 sec.

pixabay.comPencarian‎Sedang kucari batas antara keramahan dan pelecehan. Sebab, di ruang-ruang publik yang ramai, bentuk perhatian yang tampak ringan bisa berubah menjadi luka yang tak tampak. Sapaan spontan, siulan kecil, atau komentar tentang tubuh sering kali disebut sekadar gurauan atau bentuk keakraban sosial. Namun bagi sebagian orang.... Entah laki laki maupun perempuan justru menjadi pengalaman yang menegangkan dan mengancam. Fenomena semacam inilah yang dikenal dengan istilah cat calling, yakni bentuk pelecehan verbal bermuatan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan korban.‎Secara hukum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 5 ayat (1) menjelaskan bahwa kekerasan seksual nonfisik mencakup setiap ucapan, isyarat, atau perilaku bermuatan seksual yang mengakibatkan rasa tidak nyaman, takut, atau terhina pada korban. Maka, tolak ukur cat calling bukan terletak pada niat pelaku, melainkan pada dampak psikologis dan sosial yang dirasakan korban. Bahkan jika pelaku merasa hanya bercanda, tindakan itu tetap termasuk pelecehan bila menimbulkan ketidaknyamanan.‎Dalam kajian linguistik dan gender, Deborah Cameron memandang cat calling sebagai performa maskulinitas yang menegaskan kuasa laki-laki atas ruang publik. Artinya, ia bukan sekadar tindakan individual, melainkan praktik sosial yang meneguhkan struktur dominasi gender dalam keseharian. Melalui kata, siulan, atau tatapan, laki-laki menegaskan keberadaannya sebagai subjek yang memiliki hak untuk menilai tubuh orang lain. Sementara perempuan, tanpa diminta, diposisikan sebagai objek yang dinilai, dikomentari, bahkan dikontrol.Batas‎‎Dari perspektif laki-laki, cat calling kerap dipahami sebagai bentuk spontanitas atau ekspresi kekaguman. Bagi sebagian, itu dianggap wajar, bahkan bagian dari budaya komunikasi jalanan. Namun kesalahan terbesar muncul ketika seseorang gagal memahami batas antara keramahan dan pelecehan. Ketika komentar beralih dari penghargaan menuju objektifikasi tubuh, yang tersisa bukan lagi kehangatan, tetapi pelecehan yang mengandung relasi kuasa. Lebih rumit lagi, masyarakat sering menilai tindakan ini secara bias: jika pelakunya tampan atau berstatus sosial tinggi, perilaku itu dianggap menggoda; sebaliknya, bila pelakunya dari kelas bawah, dianggap cabul. Fenomena ini menunjukkan bahwa bias kelas sosial turut memengaruhi tafsir moral terhadap perilaku.‎‎Dari sisi perempuan, cat calling meninggalkan luka yang tak selalu terlihat. Ia menciptakan rasa takut untuk berjalan sendirian, membuat langkah menjadi tergesa, atau bahkan mengubah rute perjalanan. Perempuan belajar untuk menunduk, bukan karena sopan santun, tetapi untuk bertahan dari tatapan dan komentar yang menindas. Dalam konteks ini, tubuh perempuan tidak lagi menjadi miliknya sendiri; ia berubah menjadi ruang publik yang terbuka bagi penilaian. Lebih ironis lagi, ketika masyarakat justru menimpakan kesalahan kepada korban dengan narasi klasik: “pakaianmu terlalu terbuka” atau “anggap saja pujian.”‎Secara psikologis, tindakan semacam ini melahirkan apa yang disebut Laura Mulvey sebagai the male gaze yakni pandangan laki-laki yang membuat perempuan merasa terus diawasi dan diobjektifikasi. Akibatnya, banyak perempuan mengalami self-objectification, yaitu kecenderungan menilai dirinya dari sudut pandang orang lain. Inilah bentuk kekerasan simbolik yang paling halus namun paling dalam dampaknya.‎Namun untuk menjaga keadilan analitis, penting pula disadari bahwa cat calling tidak selalu dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan. Siapa pun, tanpa memandang gender, dapat menjadi pelaku maupun korban ketika komunikasi kehilangan rasa hormat dan persetujuan. Dengan begitu, kritik terhadap cat calling tidak boleh jatuh pada bias gender yang menyudutkan satu pihak, melainkan harus memeriksa bagaimana sistem sosial mengajarkan orang untuk memahami tubuh dan bahasa.‎Melalui kacamata sosiologi komunikasi, fenomena ini memperlihatkan bahwa bahasa bukan sekadar alat berinteraksi, melainkan arena kekuasaan. Seperti kata Pierre Bourdieu, dominasi sosial sering beroperasi melalui “kekerasan simbolik” yaitu tindakan yang tampak biasa, tetapi sesungguhnya menundukkan orang lain tanpa paksaan fisik. Dalam hal ini, cat calling menjadi cermin dari sistem budaya patriarki yang masih menanamkan gagasan bahwa laki-laki berhak berbicara di ruang publik, sedangkan perempuan sebaiknya hanya lewat tanpa suara.‎image Generate by AILalu muncul pertanyaan reflektif: apakah kita harus meninggalkan semua bentuk keramahan antarjenis kelamin karena takut disalahartikan? Jawabannya bukan pada menjauh dari interaksi, melainkan pada pembenahan pola pikir dan empati sosial. Keramahan sejati lahir dari penghormatan terhadap batas personal orang lain. Setiap ucapan perlu mempertimbangkan konteks, situasi, dan rasa nyaman lawan bicara. Komunikasi yang beretika tidak meniadakan spontanitas, tetapi menyeimbangkannya dengan kesadaran moral.‎Dalam kerangka etika dialogis Jürgen Habermas, komunikasi yang sehat berorientasi pada saling pengertian communicative action, bukan pada dominasi atau pembenaran diri. Maka yang harus dihapus bukanlah keramahan, melainkan cara berkomunikasi yang mengandung superioritas. Pendidikan publik yang menanamkan kesetaraan, empati, dan literasi gender menjadi kunci pencegahan yang lebih efektif daripada sekadar hukuman hukum.‎Pada akhirnya, cat calling bukan persoalan kecil yang bisa disederhanakan sebagai “candaan jalanan.” Ia adalah refleksi dari cara masyarakat memaknai tubuh, kuasa, dan bahasa. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki tanggung jawab moral: laki-laki untuk menahan ego dan belajar memahami batas, perempuan untuk berani bersuara menolak pelecehan. Keramahan sejati hanya akan kembali bermakna ketika ia tidak digunakan untuk menundukkan, melainkan untuk menghormati sesama sebagai manusia yang setara.‎