Ledakan Emosi dari Rumah ke Sekolah

Wait 5 sec.

Hubungan antara anak dengan orangtua serta siswa dengan guru adalah pondasi utama dalam tumbuh kembang anak. Dalam keluarga, anak belajar mengenali dunia melalui pola asuh dan kasih sayang orangtua. Di sekolah, anak berlatih bersosialisasi, mengenal nilai, dan belajar menghargai antar teman. Dua lingkungan ini tidak bisa dipisahkan, jika salah satu retak, maka keseimbangan tumbuh kembang anakpun ikut goyah.ilustrasi korban peundunganMemberikan kepercayaan dan hubungan yang hangat, akan memberi rasa aman untuk mengekspresikan diri pada anak. Sebaliknya, ketika anak merasa tidak didengar di rumah maupun sekolah, mereka bisa kehilangan arah, merasa tidak berharga, bahkan mencari perhatian melalui perilaku negatif.Rumah tangga yang retakBadan Pusat Statistik (BPS) mencatat lebih dari 400.000 kasus perceraian di Indonesia pada 2023. Angka ini menunjukkan banyak anak hidup dalam lingkungan emosional yang tidak stabil. Perceraian atau konflik berkepanjangan dalam keluarga membuat anak kehilangan rasa aman yang seharusnya ia miliki di rumah.Ketidakharmonisan keluarga berdampak pada perkembangan emosional anak. Sering dimarahi atau diabaikan cenderung menarik diri dan merasa memiliki harga diri yang rendah. Dalam jangka panjang, mereka berisiko mengalami depresi, gangguan kecemasan, hingga perilaku agresif.Efek di lingkungan sekolahSekolah sering menjadi tempat di mana tekanan emosional anak terakumulasi. Anak yang tidak mendapat dukungan di rumah bisa membawa kemarahan, frustrasi, dan kebingungan ke lingkungan sekolah. Guru yang tidak peka terhadap sinyal ini sering salah menafsirkan perilaku anak sebagai kenakalan, padahal itu bisa jadi bentuk teriakan minta tolong.Guru bukan hanya pengajar, tapi juga figur pengganti orangtua. Ketika guru terlalu otoriter, atau tidak membangun kedekatan emosional dengan siswa, rasa percaya siswa menurun. Ini menutup pintu komunikasi dan memperbesar risiko konflik atau bahkan kekerasan verbal di kelas.Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat lebih dari 2.000 kasus perundungan (bullying) pada 2023. Banyak kasus berujung pada trauma mendalam bahkan kematian. Anak yang menjadi korban sering merasa tidak mendapat dukungan, baik dari guru maupun keluarga.Tragedi di SMA Negeri 72 Jakarta Utara beberapa waktu lalu misalnya, memperlihatkan sisi gelap dari relasi yang diduga terputus. Seorang siswa yang diduga kerap menjadi korban bullying membawa bom rakitan ke sekolah, memicu ledakan besar dan puluhan korban luka. Kasus ini bukan sekadar masalah keamanan, tetapi sinyal kuat bahwa luka sosial di kalangan remaja makin dalam.Di banyak keluarga, komunikasi sering berhenti pada perintah dan larangan. Anak tidak punya ruang untuk berbicara jujur tanpa takut disalahkan. Di sekolah, situasinya mirip: suara siswa kerap diabaikan karena dianggap melawan atau tidak sopan. Pola komunikasi sepihak ini menciptakan jurang emosional yang berbahaya.Budaya saling menyalahkanSayangnya, budaya masyarakat kita masih cenderung saling menyalahkan. Anak yang berperilaku “aneh” atau “memberontak” sering dicap nakal, bukan dilihat sebagai anak yang sedang terluka. Guru dan orang tua saling menuding tanpa menyadari bahwa mereka seharusnya berada di pihak yang sama: pihak yang menyembuhkan.Sekolah mestinya bertransformasi menjadi tempat aman secara emosional. Layanan konseling harus diperkuat, bukan sekadar formalitas. Guru perlu dilatih untuk memahami tanda-tanda gangguan mental anak, dan setiap sekolah perlu memiliki sistem pelaporan anonim untuk kasus perundungan.Di rumah, orang tua perlu mempraktikkan pola asuh positif: mendengar tanpa menghakimi, memberi batas dengan empati, dan menghindari kekerasan fisik atau verbal. Solusi kolaboratifSolusi jangka panjang tidak bisa hanya menuntut anak untuk “kuat”, tapi membangun ekosistem yang aman. Pemerintah, sekolah, dan keluarga harus bekerja bersama membangun sistem deteksi dini, layanan kesehatan mental berbasis sekolah, dan kebijakan anti-bullying yang tegas serta berkelanjutan.Anak-anak tidak butuh orang dewasa yang sempurna, mereka butuh orang dewasa yang mau mendengarkan. Karena ketika anak tak lagi didengar, dunia di sekitarnya bisa meledak dalam sekejap.