Sumber gambar google mapsPelabuhan Gresik, sebuah nama yang mungkin kini lebih dikenal sebagai sentra industri dan pelabuhan barang, menyimpan sejarah panjang yang tak banyak diketahui orang. Jauh sebelum Tanjung Perak mencuri perhatian, Pelabuhan Gresik telah lebih dulu mengecap masa kejayaan sebagai urat nadi perdagangan vital di Nusantara. Kisah gemilang ini terangkum dalam narasi yang kaya, mengukir jejak peradaban dan budaya di tanah Gresik.Masa Keemasan di Era PenjajahanPada masa penjajahan, Pelabuhan Gresik adalah bandar perdagangan yang sangat strategis. Berbagai jenis perahu dan kapal niaga dari berbagai penjuru berlabuh di sini. Jalan Samanhudi, yang kini menjadi salah satu jalan utama, dulunya adalah pusat ekonomi yang ramai dengan toko-toko yang menyediakan segala kebutuhan kapal. Dari tali tambang berbagai ukuran, lampu minyak untuk penerangan, mur baut, hingga jangkar kapal besar tersedia di sana. Konon, saking terkenalnya pedagang jangkar, salah satu juragan bahkan dijuluki "Kaji War Jangkar".Perahu pinisi, kapal-kapal kayu tradisional nan gagah, mendominasi lalu lintas pelabuhan. Mereka membawa komoditas unggulan seperti kayu, rotan, dan kopra dari pulau-pulau di Kalimantan, Sulawesi, hingga Sumatera untuk dijual di Gresik. Setelahnya, mereka kembali dengan muatan semen, kayu lapis, bahan bangunan, barang elektronik, dan beragam perabot rumah tangga yang dibutuhkan di daerah asal mereka.Daya Tarik Wisata yang TerlupakanTak hanya sebagai pusat perdagangan, Pelabuhan Gresik juga pernah menjelma menjadi daya tarik wisata yang memukau, khususnya di era 1970-an hingga 1980-an. Pemandangan matahari terbit di ufuk timur laut Gresik menjadi magnet bagi masyarakat lokal. Keindahannya bahkan kerap disalahartikan, banyak yang menyangka foto-foto sunrise dari Pelabuhan Gresik diambil dari pantai-pantai eksotis di Bali. Puluhan, bahkan ratusan, muda-mudi Gresik kerap berkumpul di pagi hari setelah sholat subuh di Masjid Jami’ Alun-alun untuk menyaksikan fenomena alam yang menawan ini.Tokoh Penting dan Pergeseran PelabuhanSejarawan kota Gresik, Loemaksono, SH, M.Pdi, mengungkapkan bahwa Gresik memiliki "pelabuhan kembar": satu di Karang Kiring yang fokus pada ekspor-impor, dan satu lagi di Pulau Mengare yang melayani kebutuhan nelayan. Namun, tonggak sejarah penting Pelabuhan Gresik dalam kancah internasional dimulai dengan kedatangan Maulana Malik Ibrahim sekitar tahun 1379. Pedagang dari Jazirah Arab (khususnya Gujarat), India, Champa, Tiongkok, dan bahkan Eropa mulai berdatangan, menjadikan Gresik pusat pertemuan budaya dan ekonomi yang dinamis.Maulana Malik Ibrahim, dengan kejujuran dan akhlak mulianya, berhasil mendapatkan izin dari Kerajaan Majapahit (saat itu diperintah oleh Ratu Kusumawardhani, istri Prabu Wikramawardhana) untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Pada tahun 1394, di usia 49 tahun, ia diangkat sebagai Syahbandar Pelabuhan Gresik dan memindahkan lokasi pelabuhan ke arah timur kediamannya—lokasi makamnya saat ini.Setelah wafatnya Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1419, kepemimpinan Syahbandar diteruskan oleh Raden Ali Murtadho, atau yang dikenal sebagai Raden Santri, pada usia muda, sekitar 20 tahun. Ia pun memindahkan lokasi pelabuhan ke timur makamnya. Namun, akibat gejolak perebutan kekuasaan di Majapahit, Pelabuhan Gresik sempat mengalami kekosongan Syahbandar selama sekitar sembilan tahun.Masa keemasan Pelabuhan Gresik kembali bersinar di bawah kepemimpinan Nyai Ageng Pinatih, putri seorang pedagang dari Palembang. Diangkat pada usia 76 tahun, Nyai Ageng Pinatih berhasil membawa pelabuhan mencapai puncak kejayaan. Jejak kepemimpinannya masih terlihat dari nama-nama tempat seperti Kampung Sidopekso (pos keamanan pelabuhan), Kampung Kemasan (penginapan para bangsawan pedagang), Kampung Begedongan (gudang penyimpanan barang), dan Kampung Mangkatan (tempat persiapan barang untuk keberangkatan). Nyai Ageng Pinatih dikenal sebagai sosok yang cerdas, dermawan, dan adil dalam menyelesaikan sengketa perdagangan.Senja Pelabuhan Gresik: Beralih ke IndustriSayangnya, kejayaan Pelabuhan Gresik meredup seiring dengan kedatangan VOC dan, selanjutnya, pemerintahan Hindia Belanda. Demi memusatkan kontrol perdagangan dan memanfaatkan infrastruktur yang lebih baik, VOC mengalihkan semua aktivitas ekspor-impor dari Gresik ke Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Pelabuhan Gresik pun direklamasi dan bertransformasi menjadi bentuknya yang sekarang.Kini, Pelabuhan Gresik telah kehilangan pesona wisatanya. Area ini menjadi kawasan tertutup, diperuntukkan khusus bagi terminal penumpang kapal ke Pulau Bawean serta kegiatan bongkar muat barang. Masuk ke area pelabuhan pun dikenakan biaya parkir dan retribusi, dan pengunjung harus memiliki alasan kuat untuk masuk.Meskipun demikian, kenangan akan masa kejayaan Pelabuhan Gresik masih hidup dalam cerita para generasi tua. Kisah-kisah tentang pelabuhan yang ramai, pedagang dari berbagai bangsa, dan keindahan matahari terbit yang memesona menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Gresik. Semoga di masa depan, potensi-potensi wisata baru di Gresik dapat terus digali dan dikembangkan, agar warisan sejarah berharga ini tetap lestari dan menginspirasi generasi mendatang.