Kawasan Masjidil Haram dengan Fasiltas Hotel Mewah di sekitarnya ( Foto : Pexels.com)Belum ditetapkannya tersangka saat ini menunjukkan kompleksitas antara hukum, ibadah, dan logika publik.KPK telah memanggil banyak pihak, menyita uang, dan menelusuri aliran dana dugaan jual beli kuota haji. Namun sampai hari ini, belum ada tersangka.Publik pun mulai bertanya: ini kasus korupsi, atau kebingungan membaca ibadah dalam bahasa hukum? Sebab yang sedang diperiksa bukan proyek fisik, melainkan perjalanan spiritual yang diatur lewat birokrasi. Dan di situ, garis antara ibadah, bisnis, dan hukum menjadi kabur.Dana Publik Steril dari Jemaah Haji PlusPerlu ditegaskan, subsidi APBN dan dana BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) hanya berlaku untuk jemaah haji reguler. Haji plus sepenuhnya dibiayai oleh jemaah sendiri — 100% dana pribadi, hasil kontrak layanan antara jemaah dan penyelenggara.Harga paket ditentukan oleh fasilitas: hotel, katering, pembimbing ibadah, dan transportasi. Maka, uang yang dibayarkan jemaah bukan uang negara, melainkan uang privat hasil kesepakatan. Kalau begitu, kerugian negara-nya di mana? Yang disita KPK bukan dana APBN, melainkan tabungan jemaah yang ingin berangkat lebih cepat.Travel Tak Menjual Visa, Tapi Menjual KepastianBiro travel tidak menjual visa haji. Yang dijual adalah paket ibadah — pengalaman spiritual yang dikemas dengan logistik dan pendampingan. Harga paket bisa mahal karena mencakup semua layanan yang memang berbiaya tinggi.Menyeragamkan semua tarif dan menyebutnya “indikasi korupsi” adalah bentuk simplifikasi hukum yang berbahaya. Karena tidak semua harga tinggi adalah gratifikasi; sebagian hanya konsekuensi dari standar layanan yang berbeda.Teori Diskresi: Ketika Hukum Tak Cukup Menulis SemuanyaDalam teori hukum administrasi, Philipus M. Hadjon menjelaskan bahwa diskresi adalah ruang kebebasan pejabat pemerintahan untuk bertindak dalam keadaan luar biasa ketika aturan tertulis belum cukup mengatur.Selama keputusan itu demi kepentingan umum dan tidak untuk memperkaya diri, diskresi sah secara hukum. Nah, di sinilah duduk persoalannya.Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 telah menetapkan pembagian kuota haji nasional:“Kuota haji Indonesia dibagi atas 92% untuk jemaah haji reguler dan 8% untuk jemaah haji khusus.”Namun, kuota tambahan tidak diatur dalam undang-undang, karena bersumber dari MoU antara Pemerintah Arab Saudi dan Pemerintah Indonesia.Kesepakatan ini bersifat diplomatik, berisi hal-hal teknis seperti kapasitas tenda di Mina, fasilitas, dan pembagian administratif yang fleksibel.Artinya, pengelolaan kuota tambahan berada di ranah diskresi administratif dan diplomasi antarnegara, bukan di ranah pidana. Kebijakan ini sah, selama tidak disertai niat memperkaya diri atau praktik jual beli pengaruh.Dilema di Tanah Suci BirokrasiKPK kini berada dalam dilema moral dan yuridis. Jika semua travel dijerat, ratusan jemaah bisa terseret — padahal banyak di antaranya hanya pembeli layanan sah. Namun jika tak menindak siapa pun, KPK dianggap tumpul.Masalahnya bukan sekadar pada berapa persen pembagian kuota, tapi pada cara kita memahami batas antara kebijakan, bisnis, dan niat ibadah. Sebab, hukum positif tak selalu mampu menangkap logika diplomasi dan spiritualitas dalam satu ayat pasal.Antara Harga Jasa dan Harga PengaruhPenegakan hukum seharusnya mampu membedakan harga jasa dan harga pengaruh. Harga jasa adalah konsekuensi kontrak. Harga pengaruh adalah gratifikasi.Yang satu sah, yang lain pidana. Kalau semua uang yang berpindah tangan dianggap suap, maka seluruh layanan publik bisa dianggap kejahatan. Hukum yang kehilangan konteks akhirnya menjadi alat stigma, bukan alat keadilan.Adagium yang TerlupakanDalam dunia hukum, William Blackstone menulis adagium yang tak lekang waktu:“Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”— Commentaries on the Laws of England (1765)Barangkali adagium itu kini sedang diuji. Karena di tengah semangat “pemberantasan,” sering kali yang tak bersalah ikut terseret oleh tafsir yang terburu-buru. Padahal dalam perkara haji, yang dipertaruhkan bukan hanya pasal, tapi kepercayaan umat terhadap keadilan.Penutup: Jangan Jadikan Ibadah Barang BuktiNegara wajib menegakkan hukum, tapi hukum juga wajib tahu batas. Kalau yang disita adalah uang jemaah, bukan uang negara, maka penyidikan harus berbasis proporsionalitas dan akal sehat.Hukum boleh tegas, tapi jangan kehilangan rasa. Karena di negeri yang mudah mencurigai niat baik, kadang jemaah yang menabung untuk berhaji justru disangka bersalah, sementara yang benar-benar memperjualbelikan pengaruh bersembunyi di balik seragam penegak hukum.