Konsep "Rasian" bagi Masyarakat Minangkabau

Wait 5 sec.

Seorang pemuda tengah merasiankan sang gadis pujaannya. (Sumber: Gemini AI)“Indak usah picayo bana jo rasian, tu lai bunga lalok se tu” (“Tidak usah terlalu percaya dengan mimpi, itu bunga tidur saja”). Bisa jadi seperti itulah pandangan sebagian orang Minangkabau tentang “rasian”. Ngomong-ngomong, kata ini sesungguhnya sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan. Terdapat penanda etimologis sebagai serapan dari bahasa daerah Minangkabau (Mk).Makna lema “rasian” dalam kelas nomina (kata benda), yaitu “mimpi (terutama yang mengandung arti atau alamat)”. Dari lema dasar ini, kemudian dapat dibentuk lema turunan. Muncul bentukan morfologis dalam kelas verba (kata kerja) yang sudah mendapat awalan “ber- … ”, yaitu “berasian” (bermimpi). Juga awalan dan akhiran (“me- … -kan”) untuk “merasiankan” (memimpikan). Nah, kata terakhir inilah yang saya masukkan ke dalam kalimat kepsen pada ilustrasi di atas: “Seorang pemuda tengah merasiankan sang gadis pujaannya”.Sementara itu, kata “rasian” juga masih dapat ditemui di dalam Kamus Minangkabau - Indonesia hasil susunan Marah Rusmali, Amir Hakim Usman dan kawan-kawan. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) pada 1985. Keterangan yang diberikan pun lugas, yaitu “rasian” dalam bahasa Minangkabau, bermakna dalam bahasa Indonesia sebagai “mimpi” (nomina).Dalam bagian keterangan tersebut, juga disertakan ungkapan atau pepatah lokal yang dinukil oleh Buya Hadji Abdoel Malik Karim Amroellah (HAMKA) dari buku karyanya Tafsir Al-Azhar. Salah satu karya fenomenal tokoh agama dan sastrawan terkemuka asal Sumatera Barat yang lahir pada 17 Februari 1908 dan meninggal pada 24 Juli 1981. Buku ini berisi antologi ceramah beliau di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta.Adapun ungkapan atau pepatah yang disertakan di dalam Kamus Minangkabau - Indonesia (1985) tersebut, yaitu “kecimpung permainan mandi, rasian permainan tidur”. Penyertaan pepatah ini untuk konteks yang lebih kaya dan secara tidak langsung menegaskan makna “rasian” sebagai bunganya orang tidur. Meskipun demikian, dalam konteks Minangkabau tradisional acapkali dipahami sebagai firasat.Dalam Kaba Klasik Cindua Mato karya Sjamsoeddin Sutan Radjo Endah, salah satu bagian teksnya tertulis “... patang Kamih malam Jum’at, bulan panuah ampek baleh, bulan sarupo kadibasuah. Kiro-kiro tangah malam, sadang lalok tibo rasian” (... Kamis sore Jumat malam, bulan penuh empat belas, bulan seperti hendak dibasuh. Kira-kira sedang tidur datanglah rasian). Ini setidaknya bisa menjadi tambahan bukti linguistik bahwa kata “rasian” memang secara etimologis berasal dari bahasa Minangkabau. Dan, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia.Lebih MendalamRasian yang penuh makna. Terlebih manakala ia mewujud di genggam tangan. (Sumber: Shutterstock)Makna “rasian” bagi masyarakat Minangkabau lebih mendalam daripada sebatas mimpi biasa. Telah mengakar kuat sebagai konsep budaya terlebih di tataran kepercayaan yang lebih tradisional, bahwa “rasian” merujuk pada mimpi dengan kandungan firasat atau pertanda akan berlangsung suatu kejadian yang penting dalam kehidupan sang perasian.Masyarakat Minangkabau meletakkan garis pembeda “rasian” dengan mimpi biasa yang terbentuk akibat aktivitas otak pada saat seseorang tidur. Menurut mereka, “rasian” merupakan jalinan komunikasi dengan Tuhan lewat isyarat alam atau adanya campur tangan kekuatan tidak kasatmata. Acapkali, ia mewujud sebagai simbol yang mesti terpecahkan dalam penafsiran tertentu.Ada yang mengaktifkan pengetahuan adat dengan memanfaatkan jasa pengalaman atau petunjuk orang lebih tua atau ahli tafsir mimpi tradisional. Arah tafsiran itu biasanya akan berujung pada pemberian petunjuk, petuah, ataupun peringatan kepada orang yang berasian agar lebih berhati-hati bertindak dalam kurun waktu tertentu.Ada dua arah yang mencabang. Bisa berupa pertanda peruntungan nasib, seperti memperoleh rezeki, jodoh, kesuksesan. Bisa pula pertanda kurang menguntungkan, seperti musibah dan kegagalan.Sebagian masyarakat Minangkabau ada yang menaruh kepercayaan, bahwa rasian yang mereka alami pada saat tidur, mempunyai keterkaitan makna yang erat dengan kejadian yang akan mereka alami atau nasib yang akan menimpa mereka di dalam kehidupan nyata.Terdapat semacam keyakinan, apabila seseorang menganggap sepi atau melupakan begitu saja rasiannya ketika bangun tidur, niscaya seseorang itu akan kehilangan kesempatan untuk meraih pertanda baiknya atau terhindar (setidaknya bisa lebih menata hati saat menghadapi) pertanda kurang baiknya.Terutama pada masa dahulu, ketika kekuatan otoritas komunitas adat masih begitu mendominasi, rasian dapat mengintervensikan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan penting, antara lain saat menentukan waktu yang baik guna memulai perjalanan perantauan, penetapan suatu pernikahan, atau dalam hal aktivitas pertanian.Dengan demikian, rasian bisa mengisi ranah aspek spiritual dan budaya yang mempertemukan dunia nyata dengan dunia tidak kasatmata. Dan, terkadang berada pada tarikan fungsi untuk panduan pragmatis dalam mengikuti langkah kehidupan mereka sehari-hari. Terutama bagi mereka yang memiliki loyalitas kepada adat yang konon bagi sementara pihak indak lekang dek paneh, indak lapuak dek hujan (tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan).Hukum IslamAnutan prinsip yang dipegang kuat oleh masyarakat Minangkabau. (Sumber: Gemini AI)Hukum Islam menjadi pegangan prinsip yang utama bagi masyarakat Minangkabau. Ungkapan lokal tersohor dalam kaitannya dengan hal ini, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Adat bersendikan hukum Islam, sedangkan hukum Islam bersendikan Al-Qur’an. Dari perspektif anutan prinsip ini, tatkala berhadapan langsung dengan ajaran Islam, rasian dalam budaya Minangkabau sesungguhnya berada dalam area abu-abu.Oleh karena itu, terdapat sejumlah cara pandang yang mengulik kesesuaian rasian dengan ajaran Islam yang menjadi anutan sebagian besar masyarakat Minangkabau. Pada kenyataannya, memang ada titik temu atau area kesesuaian antara rasian dan ajaran Islam. Sebaliknya, perlu mendapat pemahaman, bahwa memang ada pula titik konflik atau area ketidaksesuaian.Islam mengakui keberadaan rasian yang benar. Ada yang disebut ru’yah shadiqah, yaitu mimpi yang datang sebagai petunjuk atau kabar baik dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan, terbukti terjadi sesuai dengan realitas yang terwujud di masa kemudian. Dengan demikian, rasian lebih menjadi sebuah pertanda yang dapat mendorong sang perasian bergerak menuju ke arah pikiran dan perasaan positif.Salah satu tanda awal kenabian dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassallam juga berangkat dari ru’yah shadiqah. Ini sekaligus menjadi persiapan spiritual beliau dalam menerima wahyu pertama di Gua Hira, Jabal Nur dekat Kota Makkah, Arab Saudi pada 17 Ramadan malam di kisaran 610 Masehi dalam usia 40 tahun.Islam juga mengakui rasian yang datang sebagai ru’yah bashirah. Rasian yang mendapat penafsiran dari seseorang yang memiliki kemampuan melihat dan memahami dimensi spiritual, kebenaran, hikmah yang lebih mengatasi dari sekadar mata akal dengan dengan daya jangkau hal-hal serbamaterial atau serbakonkret semata. Akan tetapi, dengan pandangan seorang yang dekat dengan Allah Subhanahu wa ta’ala dan mempunyai hati yang bersih.Area KetidaksesuaianAkan tetapi, manakala rasian itu berada di area ketidaksesuaian sehingga dapat membentuk titik konflik dengan ajaran Islam, jelas tidak menjadi bagian dari pilihan anutan. Sebagian besar ulama skeptis (tidak percaya atau ragu-ragu) terhadap penafsiran rasian yang menebar ramalan dan biasanya begitu karib dengan praktik perdukunan.Islam menegaskan, hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang Mahamengetahui Masa Depan (Al-ghaib) para makhluk-Nya. Dengan demikian, bila seseorang memercayai sepenuhnya terhadap ramalan atau tafsiran rasian, maka tindakan batin dari yang bersangkutan tersebut berseberangan dengan konsep tauhid yang menjunjung sangat tinggi Kemahaesaan Allah Subhanahu wa ta’ala.Menaruh kepercayaan terhadap kekuatan lain selain Allah, semisal kepada roh leluhur, benda yang mendapat atribut sebagai keramat bertuah, atau dukun, jelas menurut ajaran Islam merupakan perbuatan syirik besar. Lagi pula dalam ajaran Islam, rasian tidak bisa menjadi landasan akidah. Keputusan hidup bagi muslim, bukan berdasarkan tafsir rasian melainkan syariat yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Dewasa ini, tidak sedikit anggota masyarakat Minangkabau modern memperlakukan rasian sebagai sekadar bunga tidur. Bisa jadi memang di dalam rasian itu terdapat kandungan hikmah. Akan tetapi, mereka tidak memuja firasat yang muncul dari rasian dalam tidurnya itu sebagai penentu absolut bagi perguliran keputusan langkah kehidupan selanjutnya.Kontribusi para ulama setempat mengecatkan warna sosiologis yang begitu tandas, tatkala masyarakat Minangkabau memohon kepada mereka akan petuah atau penafsiran tentang rasian dengan landasan perspektif ajaran Islam. Dengan demikian, dapat meminimalisasi kemungkinan terjadi suatu pengambilan keputusan yang berseberangan dengan ketentuan syariat.Proporsi yang tepat takaran antara adat dan syarak, hukum yang bersendikan ajaran Islam, menjadi semacam barometer ukuran, bagaimana rasian mendapat respons penerimaan atau sebaliknya penolakan. Tabangkok indak bauek, tabukak indak basuo, kok ado kato nan salah, pintak diampunan (Yang bengkok tidak berurat, yang terbuka tidak bertemu, jika ada kata yang salah mohon dimaafkan).