Kapal Mendoan Kebumen (sumber: Nuriyatul Laila)Sore itu, langit Kebumen tampak kelabu. Awan menggantung berat, seakan menahan rinai yang sudah bersiap turun. Meski begitu, Alun-Alun Kebumen tetap hidup seperti biasa. Ada yang berolahraga, bermain, bersantai, dan berburu jajanan sore.Saya baru saja pulang ke tempat asal saya, Kebumen. Sambil bernostalgia, saya menghabiskan waktu untuk berkeliling di pusat kota Kebumen. Rasanya ada yang berbeda dengan wajah kota ini. Alun-alun yang dulu penuh dengan pedagang acak kini tampak lebih tertata. Fasilitasnya lengkap: mulai dari toilet umum, tempat bermain, jalur lari, panggung hiburan, hingga tempat parkir khusus yang saat ini sudah diatur menjadi lebih rapi.Langkah kaki saya berhenti ketika melihat sebuah bangunan tak biasa di sisi alun-alun. Sebuah kapal besar berdiri megah dengan tulisan mencolok di bagian atas dan depannya: “Mendoan”.Kapal Mendoan Kebumen (sumber: Nuriyatul Laila)Sekilas, nama itu mengingatkan saya pada sebuah makanan: tempe mendoan sebagai gorengan khas berbahan dasar tempe yang dibalut tepung sebelum digoreng setengah matang. Sebagai pelengkap, tempe mendoan biasanya disandingkan dengan sambal kecap atau cabai. Namun, ketika saya mendekat, kapal itu rupanya adalah salah satu tempat kuliner di Kebumen. “Mendoan” di sini merupakan singkatan dari “Mangan Enak Karo Dolan”. Artinya, makan enak sambil jalan-jalan.Konsepnya menarik. Pemerintah daerah membangun Kapal Mendoan sebagai solusi penataan pedagang kaki lima (PKL) di sekitar alun-alun. Sebelumnya, kawasan ini sering terlihat acak-acakan. Pedagang berjejer di tiap pinggir jalan, serta parkir yang tidak beraturan. Kini, alun-alun dibangun menjadi lebih indah dan rapi. Dengan adanya Kapal Mendoan, PKL memiliki tempatnya sendiri untuk berjualan tanpa merusak estetika.Memasuki area dalam kapal, deretan kios kuliner berjajar dengan rapi. Masing-masing menampilkan makanan khasnya. Ada bakso, mie ayam, gorengan, jagung bakar, hingga minuman manis yang disajikan dengan es batu dalam cup.Bagian Dalam Kapal Mendoan Kebumen (sumber: Nuriyatul Laila)Saya berhenti di salah satu kios. Papan putih di atasnya bertuliskan, “Gorengan Pak Sohar”. Dengan senyum ramah, saya memesan tempe mendoan dan es jeruk kepada seorang bapak yang sedang berjaga kios.Sambil menunggu, saya berbincang sedikit dengan beliau. Panggilannya Pak Sohar, salah satu pedagang kaki lima yang sudah lama berjualan di sekitar alun-alun Kebumen. Kini, lapaknya berpindah ke dalam Kapal Mendoan.Pak Sohar menjelaskan kepada saya bahwa mereka tidak dikenakan biaya untuk sewa lapak. Hanya saja perlu membayar retribusi sekitar tiga ribuan per harinya. Selain itu, sistem pembagian dua shift dagang: pagi dan sore, membuat pengunjung bisa menikmati suasana kuliner hampir sepanjang hari.Tepat di sebelah kanan meja, ada seorang remaja perempuan sepantaran saya. Di hadapannya, ada sepiring sate ambal khas Kebumen yang memiliki keunikan di bumbunya. Bukan kacang, melainkan berbahan dasar tempe.Saya menghampiri remaja tersebut, sambil membawa sepiring gorengan dan segelas es jeruk yang baru saja jadi. Dengan sopan, saya meminta izin terlebih dahulu sebelum dipersilakan untuk duduk bersama. “Saya dateng cuma buat kulineran sambil foto-foto,” ujar remaja tersebut sambil tertawa, biasanya dipanggil dengan nama Alya. Ilustrasi milenial nongkrong di kafe. Foto: Shutter StockAlya mengaku sering kali mampir dengan temannya seusai kuliah. Menurutnya, keberadaan Kapal Mendoan membuat alun-alun terasa lebih hidup dan kekinian. Tak hanya sebagai tempat makan dan bersantai, kapal ini juga tidak jarang dikunjungi remaja, terutama mahasiswa. Beberapa dari mereka datang untuk menikmati makanan sambil mengerjakan tugas.Menjelang malam, langit Kebumen mulai memerah. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun dalam waktu dekat. Hanya langit yang perlahan gelap dan lampu jalan yang menyala satu per satu. Alya berpamitan lebih dulu, sedangkan saya memilih untuk menetap lebih lama.Sambil menghabiskan es jeruk yang sudah mencair, saya memandangi orang berlalu lalang. Rasanya seperti melihat wajah baru Kebumen, kota kecil yang perlahan menata dirinya tanpa kehilangan jiwa lokalnya. Kapal mendoan bukan sekadar tempat kuliner, melainkan juga ruang pertemuan antarwarga. Di sinilah percakapan kecil, tawa, dan aroma berbagai makanan berpadu menjadi cerita.Di tengah aroma makanan dan obrolan ringan pengunjung, saya merasa perjalanan kecil ini memberi lebih dari sekadar pengalaman kuliner. Ia memberi saya nostalgia dan harapan baru untuk kota tempat saya tumbuh.Mungkin begitulah makna sesungguhnya dari nama “Mangan Enak Karo Dolan”. Makan enak, sambil menikmati perjalanan, dan kembali mencintai tanah lahir sendiri.