Ilustrasi Peperangan di Sudan (sumber: freepik)Di tengah sorotan dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina—yang diliputi gambar-gambar kehancuran Gaza, suara ledakan bom, rudal dan tembakan di telinga, tangisan anak-anak yang tak kunjung mereda, serta ajakan solidaritas yang menggema di berbagai media—ada sudut lain di dunia yang menunggu mata dan hati kita. Di Afrika Timur, Sudan sedang menghadapi krisis kemanusiaan yang tak kalah mengerikan, tetapi nyaris luput dari perhatian masyarakat internasional.Setelah kudeta militer yang menggulingkan Presiden Omar al-Bashir tahun 2019, Sudan terseret ke dalam konflik kekuasaan antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF). SAF sendiri merupakan angkatan bersenjata resmi Sudan, sementara RSF merupakan pasukan paramiliter pendukung untuk operasi anti-pemberontak dan keamanan internal.Mulanya, SAF mengandalkan RSF sebagai kekuatan untuk menekan pemberontakan dan menjaga stabilitas nasional. Namun, kekuatan itu tumbuh, mandiri, dan perlahan dipandang sebagai ancaman. Kedua pihak yang seharusnya bekerja sama dalam pemerintahan transisi, kemudian dihadapkan pada perbedaan kepentingan ekonomi dan politik yang berujung konflik.Pada tahun 2023, gagalnya negosiasi antara Jenderal Abdel Fattah al-Burhan (SAF) dan Mohamed Hamdan Dagalo (RSF) menjadi pemicu awal pecahnya konflik yang berubah menjadi perang saudara. Api peperangan itu dengan cepat menyebar, mulai dari jantung Khartoum hingga ke kota-kota besar, seperti Merowe, Omdurman, dan Darfur.Asap mengepul di Omdurman, dekat Jembatan Halfaya, saat bentrokan antara Pasukan Dukungan Cepat Paramiliter dan tentara terlihat dari Khartoum Utara, Sudan, Sabtu (15/4/2023). Foto: Mohamed Nureldin Abdallah/REUTERSRumah-rumah luluh lantah, sekolah dan rumah sakit porak-poranda, jaringan pasokan pangan terputus, dan anak-anak kehilangan pengasuhan; semua ini membentuk wajah gelap Sudan.Perang yang tak kenal ampun ini menjadi alasan utama mengapa Sudan dinobatkan sebagai negara dengan krisis kemanusiaan terbesar dan tercepat di dunia menurut International Rescue Committee, sekaligus negara dengan kasus tingkat kelaparan dan pengungsian tertinggi menurut The United Nations, serta negara dengan kasus penelantaran anak terbesar di dunia menurut UNICEF pada 2025.Capaian-capaian ini tentu saja didukung oleh angka-angka yang membuat mata terbelalak. The United Nations (2025) mengungkapkan bahwa lebih dari 150.000 orang tewas mengenaskan, sekitar 12.000.000 orang terlantar, 25.000.000 kasus kelaparan akut, dan 15.000.000 anak-anak membutuhkan bantuan kemanusiaan dengan 90% dari mereka tidak bersekolah. Angka-angka ini belum termasuk jumlah kematian ibu dan anak, pelecehan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap anak yang menjadi bagian tak terpisahkan dari krisis yang dihadapi.Kondisi di Sudan memang mengerikan, tetapi ada yang lebih tragis: "Sudan hampir tidak menjadi sorotan". Ketika genderang perang sudah dimulai dan jutaan manusia sudah menderita sejak tahun 2023, Sudan masih berenang-renang dari dasar ke permukaan, melambaikan tangan, mengharapkan pertolongan.Ilustrasi perempuan Sudan. Foto: Dok. AFPKini, beberapa suara mulai terdengar dan beberapa orang mulai menyingkap tabir penderitaan. Cuplikan-cuplikan dan pengakuan-pengakuan tentang brutalitas RSF mulai tersebar di media sosial, menampilkan aksi-aksi tidak manusiawi, seperti pembantaian massal, pembakaran, pemerkosaan, pengeroyokan, dan penyiksaan. Namun, mengapa Sudan belum memperoleh atensi global yang signifikan?Pertanyaan ini mungkin tidak memiliki jawaban tunggal karena di balik setiap konflik, tersimpan paduan yang kompleks. Pertama, Sudan berada jauh di Afrika Timur, di tepi peta yang jarang disentuh sorotan media global. Konflik di sana, meski memilukan, sering dianggap terlalu jauh untuk menjadi prioritas dunia.Kedua, akses informasi di Sudan terbatas dan tertutup bagi jurnalis maupun organisasi kemanusiaan, sehingga banyak kekejaman yang terjadi tidak terdokumentasikan. Ketiga, media dan masyarakat internasional cenderung bergerak cepat hanya ketika konflik menyentuh kepentingan politik atau ekonomi global.Konflik Palestina melibatkan Israel, sekutu strategis Amerika Serikat, sehingga setiap eskalasi bukan hanya masalah kemanusiaan, melainkan juga simbol politik dan diplomasi di panggung dunia. Sementara itu, Ukraina menghadapi Rusia, salah satu kekuatan global terbesar, yang membuat pertikaian berpotensi meluas dan menimbulkan ketegangan internasional.Warga Sudan Selatan yang melarikan diri dari Sudan duduk di luar klinik nutrisi di pusat transit di Renk, Sudan Selatan, (16/5/2023). Foto: Sam Mednick/AP PhotoSudan berbeda. Meski penderitaan di sana tak kalah berat, tragedi ini jarang menembus headline internasional. Tidak ada kepentingan strategis besar yang terancam, tidak ada kekuatan dunia yang merasa terprovokasi langsung. Akibatnya, dunia cenderung menatapnya dingin, seolah jarak geografis dan kepentingan politik cenderung meredam rasa kemanusiaan.Belakangan ini, jari-jari netizen mulai menunjuk ke Uni Emirat Arab (UEA), menyoroti dugaan dukungan militer terhadap RSF yang memperparah ketegangan dan memperpanjang krisis di Sudan. Amnesty International menjadi salah satu suara paling lantang, menghadirkan bukti-bukti yang menyingkap adanya aliran senjata dari UEA ke tangan RSF. Kerja sama ini diduga berkaitan erat dengan motif ekonomi dan geopolitik di mana emas menjadi bahan bakarnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa RSF menguasai sebagian besar tambang emas Sudan, sementara UEA berposisi sebagai pusat perdagangan emas fisik dunia. Karena itu, muncul juga dugaan bahwa Sudan sengaja dilupakan, diabaikan, atau bahkan disembunyikan dari dunia karena upaya segelintir pihak untuk menjaga kepentingan strategis ini.Terlepas dari adanya kemungkinan-kemungkinan di atas, mem-viral-kan dan memperjuangkan Sudan menjadi salah satu keharusan kita sebagai komunitas global yang pro-kemanusiaan. Suara, dukungan, dan solidaritas internasional setidaknya dapat mendorong penyaluran bantuan, memperkuat tekanan diplomatik terhadap pihak-pihak yang memperburuk konflik, dan menahan aksi-aksi brutal melalui pengawasan. Mendorong Sudan untuk menjadi perhatian dunia bukan hanya sekadar aksi simbolik, melainkan langkah nyata kita sebagai manusia untuk melindungi sesama manusia.