Ilustrasi Belanja Masyarakat. Sumber: FreepikPerekonomian Indonesia kembali mengukir catatan positif. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada Kuartal III 2025 mencapai 5,04% secara tahunan (year-on-year). Angka ini, sekali lagi, didorong oleh fundamental domestik yang kuat, khususnya Konsumsi Rumah Tangga (RT) yang tumbuh sebesar 4,89% dan menyumbang kontribusi terbesar, yaitu 53,14% terhadap total PDB.Daya beli masyarakat yang solid ini berfungsi ganda: sebagai benteng pertahanan dari gejolak global, sekaligus sebagai sinyal pasar yang jelas. Namun, momentum daya beli yang masif ini tidak boleh hanya dilihat sebagai siklus belanja biasa. Ia adalah modal strategis yang harus diubah menjadi Investasi Rantai Nilai Global (GVC) yang berkelanjutan.Memanfaatkan Pasar Raksasa Domestik untuk GVCDi tengah perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama, tingginya konsumsi domestik Indonesia adalah anomali sekaligus berkah. Bagi perusahaan multinasional dan investor, pasar Indonesia yang terdiri dari ratusan juta konsumen adalah magnet yang tak terbantahkan.Ilustrasi konsumen e-commerce Foto: Shutter StockDalam kerangka GVC di mana produksi terpecah di berbagai negara, posisi Indonesia sering kali masih berada di segmen bernilai tambah rendah (misalnya, perakitan akhir atau pemasok bahan mentah). Peningkatan konsumsi domestik harus dimanfaatkan untuk mendorong upgrading fungsional dan sektoral.Sinyal yang Harus Ditangkap InvestorPertama, kepastian permintaan jangka panjang. Tingginya permintaan domestik memberikan kepastian bagi investor yang ingin menanamkan modal di sektor manufaktur. Investor cenderung membangun fasilitas produksi berteknologi lebih maju jika pasar domestik yang besar menjamin hasil penjualan.Kedua, skala ekonomi lokal. Belanja masyarakat yang besar memungkinkan industri lokal mencapai skala ekonomi. Skala ini pada gilirannya menurunkan biaya produksi per unit, menjadikan produk Indonesia lebih kompetitif untuk pasar ekspor.Jika permintaan domestik dipenuhi oleh industri dengan teknologi usang, kita hanya akan terjebak sebagai pasar konsumen. Sebaliknya, jika permintaan ini mendorong transfer teknologi dan peningkatan kapasitas, setiap rupiah yang dibelanjakan masyarakat bertransformasi menjadi modal untuk naik kelas di GVC.Strategi Transformasi: Dari 'Belanja' menjadi 'Nilai Tambah'Ilustrasi Belanja Online. Foto: ShutterstockTransformasi konsumsi menjadi investasi GVC memerlukan tata kelola dan kebijakan industri yang tepat sasaran. Ini bukan hanya tentang pemenuhan kuantitas permintaan, tetapi juga peningkatan kualitas dan kompleksitas pasokan.1. Upgrading Fungsional: Menjadi Lebih dari Sekadar PerakitanSaat ini, banyak produk yang dikonsumsi di Indonesia merupakan hasil perakitan komponen yang diimpor. Konsumsi yang tinggi harus diiringi dengan kebijakan yang memaksa atau memberi insentif kepada industri untuk dua hal. Pertama, lokalitas komponen (tingkat komponen dalam negeri/TKDN). Pemerintah harus secara ketat mengaitkan akses pasar domestik (khususnya untuk barang-barang strategis) dengan komitmen produsen untuk meningkatkan TKDN. Hal ini mendorong pabrik lokal untuk tidak hanya merakit, tetapi memproduksi komponen kritis, mulai dari baterai kendaraan listrik hingga cip sederhana.Kedua, aktivitas R&D dan desain. Perusahaan di Indonesia harus didorong (melalui insentif fiskal) untuk memindahkan atau mendirikan pusat R&D dan desain produk di Indonesia. Belanja masyarakat kemudian menjadi living lab atau laboratorium hidup bagi produk-produk baru yang akan diekspor.2. Upgrading Sektoral: Hilirisasi Industri KonsumsiIlustrasi kawasan industri. Foto: Shutter StockHilirisasi tidak hanya berlaku untuk komoditas pertambangan. Sektor yang padat dikonsumsi masyarakat juga harus dihilirkan.Sektor Konsumsi Arah Upgrading GVCMakanan dan minuman dari komoditas (kelapa sawit mentah) ke produk akhir berteknologi (oleofood, nutrasetikal) dengan branding global.Tekstil dan pakaian dari cut-make-trim (jasa jahit) menjadi fashion designer dengan brand dan desain yang memimpin tren global.Digital dan jasa dari sekadar pengguna aplikasi asing menjadi eksportir jasa digital, seperti software developer, layanan cloud, dan konten kreatif.Peran Tata Kelola dan Kunci KeberlanjutanKeberhasilan mengubah belanja masyarakat menjadi investasi GVC sangat bergantung pada tata kelola yang terpadu.Ilustrasi produk Indonesia. Foto: max.ku/ShutterstockPertama, infrastruktur kualitas dan standar. Konsumen Indonesia semakin cerdas dan menuntut kualitas. Standar kualitas yang tinggi di pasar domestik, yang dipicu oleh daya beli, harus diterjemahkan menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diakui secara internasional. Ini mempersiapkan produk lokal untuk bersaing di pasar global tanpa memerlukan penyesuaian besar.Kedua, pendidikan dan keahlian. Peningkatan kompleksitas GVC menuntut tenaga kerja terampil. Pemerintah harus memastikan bahwa kurikulum vokasi dan pelatihan diselaraskan dengan kebutuhan industri yang melakukan upgrading, misalnya spesialisasi di bidang robotics dan data analytics untuk manufaktur 4.0.Ketiga, regulasi inklusif. Untuk memastikan inklusivitas, upgrading GVC harus melibatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Belanja masif melalui e-commerce telah mengintegrasikan jutaan UMKM ke pasar domestik. Tugas tata kelola selanjutnya adalah menghubungkan UMKM yang berpotensi ekspor ini ke platform B2B global, memberikan mereka akses pendanaan dan pelatihan ekspor yang terstandar.Dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5% dan fundamental konsumsi yang kuat, Indonesia memiliki landasan yang ideal. Keputusan belanja jutaan masyarakat hari ini bukan hanya transaksi sesaat, melainkan sinyal tegas bagi dunia: Indonesia adalah pasar yang menuntut, dan sebagai balasannya, siap menjadi pemasok produk bernilai tambah tinggi di Rantai Nilai Global.