Logo SDGs. Foto: creativerse/ShutterstockDi tingkat global, agenda pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu instrumen paling penting dalam menata arah masa depan umat manusia. Dunia tidak hanya dihadapkan pada persoalan ekonomi, tetapi juga ketimpangan akses sumber daya, krisis iklim, ancaman sosial, serta ketidakpastian yang meningkat akibat percepatan teknologi.Sustainable Development Goals (SDGs) lahir sebagai upaya untuk memastikan bahwa pembangunan tidak lagi menimbulkan kerusakan baru, tetapi justru memperbaiki struktur kehidupan manusia secara menyeluruh. Namun, keberhasilan agenda global ini sangat bergantung pada aktor yang menjalankannya. Sebagus apa pun regulasi tidak akan menghasilkan perubahan jika tidak ada agen sosial yang memindahkan prinsip ke dalam tindakan nyata. Di sinilah peran pemuda menjadi faktor penentu.Indonesia memiliki modal demografis besar yang berpotensi mengubah tantangan global menjadi peluang transformatif. Pada saat banyak negara menghadapi penuaan penduduk, Indonesia justru memiliki populasi pemuda terbesar dalam sejarahnya. Ini bukan sekadar statistik, melainkan aset masa depan.Bonus demografi hanya akan menjadi kekuatan bila diarahkan pada kepemimpinan transformasional. Jika tidak, ia berubah menjadi beban sosial dan pengangguran struktural. Agenda SDGs menjadi relevan bukan karena dokumennya, melainkan karena keperluan generasi yang siap menjaga sekaligus memperluas masa depan kehidupan. Dalam konteks inilah, pemuda harus ditempatkan sebagai motor pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar peserta kegiatan.Dari Regulasi menuju Gerak SosialPemuda untuk SDGs (Foto: KID_A/Shutterstock).Selama beberapa tahun terakhir, pembahasan SDGs di Indonesia masih didominasi pendekatan institusional. Pemerintah pusat maupun daerah telah menyusun rencana aksi, mengembangkan pedoman, dan mengintegrasikan SDGs ke dalam kebijakan. Upaya ini penting, tetapi belum cukup. Tantangan terbesar justru terdapat pada jurang antara kebijakan dan pelaksanaan. Banyak kebijakan berhenti pada level prosedural karena aktor pelaksana di tingkat masyarakat tidak dilibatkan sejak awal.Di sinilah letak urgensi partisipasi pemuda. Mereka bukan sekadar penggerak teknis, melainkan penghubung antara arah kebijakan dan realitas sosial. Pemuda memiliki kedekatan langsung dengan komunitas, dapat memahami dinamika lapangan secara cepat, dan mampu menggerakkan tindakan tanpa harus menunggu instruksi birokratis. Dengan kata lain, SDGs hanya menjadi nyata bila dijalankan oleh generasi yang menghidupkan nilainya melalui tindakan sehari-hari.Pendekatan yang terlalu administratif mengabaikan fakta bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat dipaksakan dari atas. Ia memerlukan basis sosial, legitimasi moral, dan keberlanjutan kebiasaan kolektif. Semua ini sulit dicapai tanpa pemberdayaan pemuda.Kepemimpinan Ekologis sebagai Basis PembangunanKeistimewaan generasi muda terletak pada kepekaan etis. Mereka tumbuh di era ketika perubahan iklim bukan sekadar teori, melainkan kenyataan yang dihadapi langsung. Mereka melihat deforestasi, banjir bandang, krisis air, sampah plastik, dan kerusakan pesisir bukan sebagai isu masa depan, melainkan sebagai ancaman sekarang. Ini membentuk kesadaran ekologis baru yang tidak selalu hadir pada generasi sebelumnya.Seorang pedagang air bersih keliling di Kampung Apung, Kapuk Teko, Kalideres, Jakarta Barat. Foto: Iqbal Firdaus/kumparanKesadaran ekologis inilah yang menjadi modal utama transisi menuju pembangunan berkelanjutan. SDGs pada dasarnya menghubungkan tiga dimensi: ekologi, sosial, dan ekonomi. Pemuda berada di titik temu ketiganya. Mereka menguasai teknologi informasi, memahami dampak lingkungan, sekaligus memiliki keterlibatan emosional dengan komunitas. Inilah yang melahirkan kepemimpinan ekologis, yaitu kemampuan untuk memimpin perubahan dengan bertumpu pada tanggung jawab terhadap bumi dan kehidupan.Kepemimpinan ekologis berbeda dari kepemimpinan administratif. Ia lahir dari kesadaran, bukan jabatan. Ia hidup dalam kebiasaan, bukan aturan. Ketika pemuda menjadi pemimpin ekologis, SDGs tidak lagi dipahami sebagai target angka, tetapi dipahami sebagai orientasi hidup.Tantangan Struktural: Bakat Ada, Ruang Masih TertutupMeskipun pemuda memiliki inisiatif besar, mereka sering kali menghadapi kendala struktural. Tiga kendala yang paling menonjol adalah keterbatasan ruang keputusan, minimnya akses pendanaan, dan stigma terhadap kapasitas generasi muda.Banyak forum partisipasi yang melibatkan pemuda hanya bersifat formalistik. Mereka hadir dalam acara diskusi, deklarasi, atau sosialisasi, tetapi tidak pada tahap perumusan strategi. Padahal, perumusanlah yang menentukan arah program. Tanpa akses peran strategis, kreativitas pemuda tidak berkembang menjadi kebijakan nyata.Ilustrasi Pemuda. Foto: Rawpixel.com/ShutterstockSelain itu, inovasi pemuda sering terhambat oleh keterbatasan pendanaan. Skema pembiayaan pembangunan masih lebih diarahkan pada proyek-proyek besar yang dikelola aktor korporasi, bukan aktor komunitas. Padahal perubahan perilaku sosial jauh lebih efektif bila dimulai dari skala kecil yang dekat dengan kehidupan masyarakat.Kendala ketiga adalah persepsi. Banyak pemuda dinilai belum matang, sehingga diposisikan sebagai peserta, bukan pelaku utama. Padahal, masa depan tidak bisa dititipkan kepada generasi yang tidak pernah dilatih untuk memimpin.Dari Aksi Lokal menuju Dampak NasionalContoh terbaik bagaimana pemuda dapat menjadi katalis perubahan terlihat pada gerakan komunitas yang berhasil mentransformasikan nilai menjadi tindakan. Salah satu contoh menonjol adalah inisiatif Eco Ranger di Bali. Gerakan ini berhasil menjadikan pengelolaan lingkungan sebagai gerak sosial yang terorganisir. Mereka tidak sekadar membersihkan sampah, tetapi membangun tata kelola komunitas, sistem edukasi, dan kebiasaan ekologis melalui partisipasi warga.Kekuatan model ini tidak terletak pada besarnya anggaran, tetapi pada kedalaman keterikatan sosial. Di tingkat komunitas, legitimasi moral jauh lebih menentukan daripada regulasi teknis. Inilah alasan mengapa partisipasi pemuda lebih efektif daripada instruksi pemerintah.Ilustrasi anak muda peduli lingkungan melalui penanaman mangrove. Foto: Dok. IstimewaBila model seperti ini direplikasi di daerah lain, Indonesia dapat membangun keberlanjutan berbasis komunitas, bukan hanya kebijakan.Ruang Baru bagi Pemuda: Dari Partisipasi menuju Kepemilikan AgendaAgar peran pemuda semakin strategis, diperlukan perubahan cara pandang. Pemuda tidak lagi diposisikan sebagai pendukung kebijakan, tetapi sebagai pemilik agenda pembangunan. Ada tiga strategi transformasi yang perlu didorong.Pertama, reposisi peran. Pemerintah tidak cukup mengajak pemuda terlibat, tetapi perlu memberi ruang bagi mereka merumuskan arah perubahan. Partisipasi strategis lebih penting daripada partisipasi simbolik.Kedua, ekosistem pendanaan alternatif. Dukungan pembiayaan berbasis komunitas perlu diperluas, termasuk melalui instrumen seperti obligasi SDGs ritel yang dihubungkan dengan inisiatif pemuda. Ketika pembiayaan bertumpu pada masyarakat, proyek keberlanjutan memiliki akar sosial yang lebih kuat.Ilustrasi aksi peduli lingkungan. Foto: ShutterstockKetiga, pengakuan kepemimpinan ekologis. Evaluasi SDGs seharusnya tidak hanya mengukur output administratif, tetapi juga mengukur sejauh mana pemuda berhasil mengubah cara hidup kolektif menjadi lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sesama.Ekonomi Hijau yang Tumbuh dari KomunitasTransisi ekonomi hijau tidak boleh dipahami sebatas investasi besar atau teknologi canggih. Ia harus dimulai dari cara komunitas mengelola sumber daya. Pemuda memiliki posisi strategis dalam membangun ekonomi hijau berbasis komunitas karena mereka memiliki literasi digital, kesadaran lingkungan, dan mobilitas sosial.Banyak pemuda kini membangun usaha kecil yang mendukung ekonomi sirkular, pertanian regeneratif, wisata ekologis, produk kreatif ramah lingkungan, dan edukasi publik. Mereka menciptakan model ekonomi baru yang tidak hanya menghasilkan pendapatan, tetapi juga mengurangi tekanan pada sumber daya alam. Ekonomi hijau yang lahir dari komunitas jauh lebih tahan lama karena tidak tergantung pada insentif sesaat. Ia tumbuh karena kebutuhan hidup, bukan karena kewajiban program.Jika pemerintah mampu menyambungkan inisiatif ini dengan dukungan kebijakan yang inklusif, Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin praktik SDGs berbasis komunitas di kawasan Asia Tenggara.SDGs Tidak Akan Bergerak Tanpa Kepemimpinan PemudaIlustrasi pemimpin memberikan inspirasi dan motivasi. Foto: ShutterstockPada akhirnya, masa depan SDGs tidak ditentukan oleh seberapa banyak peraturan disusun, tetapi seberapa dalam perubahan perilaku sosial terjadi. Perubahan perilaku tidak mungkin dipaksakan dari atas. Ia tumbuh karena diteladankan dari dalam komunitas. Pemuda adalah aktor yang paling mungkin membangun keteladanan ini.Jika pemuda diberi ruang untuk menjadi perumus arah pembangunan, bukan sekadar pelaksana, SDGs tidak lagi menjadi agenda global yang abstrak. Ia menjadi pola hidup; ia menjadi kebiasaan sosial yang dijaga, bukan program yang ditugaskan.Karena itu, jika Indonesia ingin memenangkan masa depan pembangunan berkelanjutan, strategi paling realistis bukan menambah regulasi, melainkan memperkuat legitimasi sosial generasi muda sebagai penggerak perubahan. Negara tidak dapat berharap pada keberlanjutan yang hidup tanpa memberi ruang bagi generasi yang akan mewarisinya.Pemuda tidak sedang menunggu masa depan. Mereka sedang membentuknya hari ini. Dan keberhasilan SDGs di Indonesia hanya dapat terjamin jika masa depan itu dipimpin oleh mereka yang hidup dan berjuang di dalamnya.