Reformasi Birokrasi dan Dilema Birokrasi “Quick Wins”

Wait 5 sec.

Ilustrasi bekerja. Foto: ShutterstockReformasi birokrasi yang telah digaungkan sejak lebih dari satu dekade yang lalu melalui Perpres Nomor 81 Tahun 2010, perlu memperoleh perhatian secara khusus. Hal ini bukan tanpa alasan. Setelah lebih dari satu dekade upaya reformasi birokrasi dilakukan, laporan penelitian Blavatnik Index of Public Administration tahun 2024 justru masih menempatkan efektivitas birokrasi Indonesia pada peringkat ke-38 secara global (Blavatnik School of Government, 2024). Posisi yang justru menjauh dari Singapura yang konsisten sebagai juara bertahan.Fakta statistik tersebut tentu menggugat kembali target reformasi birokrasi menuju World Class Governance tahun 2025, termasuk evaluasi terhadap bagaimana praktik pelaksanaannya selama ini.Dalam trajectory yang panjang, praktik reformasi birokrasi di Indonesia tidak pernah dapat dilepaskan dari kuatnya pengaruh sistem pasar. Pasca digerusnya birokrasi tradisional khas Orde Baru, birokrasi kita mulai bergerak dengan orientasi pasar.Ilustrasi masyarakat. Foto: Dmitry Nikolaev/ShutterstockHal ini ditunjukkan dengan reposisi masyarakat sebagai customers di dalam birokrasi, yang secara sekaligus menandai masuknya semangat reinventing government sebagai ciri khas dimulainya rezim good governance─termasuk lahirnya karakter birokrasi quick wins yang muncul belakangan.Ide dasar birokrasi quick wins yang paling populer dalam administrasi publik, dimuat dalam konsepsi agile governance yang mendorong orientasi birokrasi berbasis pada keberhasilan secara cepat. Menurut J.H.de O.Luna (2014), quick wins berarti birokrasi memiliki kemampuan cepat untuk bergerak responsif terhadap perubahan, serta memberikan implikasi positif dalam peningkatan kualitas inti pelayanan.Ide ini memastikan bahwa birokrasi sebagai ujung tombak pelayanan tidak gagap dalam merespons perubahan, sehingga mampu menjadikan keberhasilan-keberhasilan kecil sebagai alat pacu peningkatan mutu layanan.Dilema Birokrasi Quick WinsIlustrasi kebijakan pemerintah. Foto: SsCreativeStudio/ShutterstockSayangnya, di Indonesia, praktik birokrasi quick wins tidak selalu berjalan ideal. Sebagai bagian dari paket kebijakan reformasi birokrasi, logika quick wins kerap kali ditumpuk dengan se-abrek masalah bersamaan dengan tersendatnya mesin reformasi birokrasi.Praktik ini terlihat dalam keseharian birokrasi yang tak dapat lepas dari belenggu rezim administrasi, redundansi prosedur, pekerjaan rutinitas, hingga potensi praktik kleptokrasi. Situasi kronis ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari maladministrasi, korupsi, kegagalan tata kelola kebijakan makan bergizi gratis, hingga contoh lain dalam skala yang lebih mikro.Pada titik ini, birokrasi quick wins tak jauh dari perilaku pragmatis sebagai jalan mempercepat pencapaian target, tetapi absen dalam membangun rasionalitas kebijakan jangka panjang.Ilustrasi absensi. Foto: Shutter StockDalam kaca mata yang lain, birokrasi Indonesia memang sebagian besar telah berubah, tak lagi berwajah garang khas negara leviathan, tetapi juga tak dapat meninggalkan karakternya yang paradoksal.Agenda reformasi birokrasi dalam relasinya dengan masyarakat justru kerap melahirkan kebingungan bagi para aparatur pelaksananya: antara mengikuti kehendak dan tuntutan publik secara total, atau tetap teguh berperan sebagai regulator yang mengelola urusan publik secara tertib dan bijaksana.Ujungnya, dalam praktik birokrasi quick wins dapat dipastikan bahwa para pelaksana kebijakan di tingkat street-level bureaucracy akan memilih yang termudah─mengikuti tuntutan publik secara total meski tanpa disertai dengan formula dan pertimbangan kebijakan yang tepat dan akurat. Pada level ini, para pengambil kebijakan justru berganti peran sebagai produsen kebijakan populis dan melepaskan tujuan utama reformasi birokrasi itu sendiri.Menyusun Ulang Reformasi BirokrasiIlustrasi anak menyusun mainannya. Foto: gorosan/ShutterstockMeski tak pernah steril dari kritik, agenda reformasi birokrasi tak boleh dibiarkan begitu saja. Pemerintah perlu bertindak strategis agar perjalanan panjangan reformasi tak mogok di tengah jalan.Dalam konteks ini, agenda reformasi birokrasi nyatanya tak cukup dengan hanya menerapkan logika quick wins semata. Aparatur pelaksana kebijakan seyogyanya memiliki kapasitas lebih dalam memprediksi masa depan berbasis data dan mengelola tuntutan publik secara objektif. Hal ini penting untuk mendorong terciptanya rasionalitas kebijakan yang mumpuni, sebagai jalan menghindari kerapuhan kebijakan (policy failure).Di sisi yang sama, sebagai agenda jangka panjang sudah semestinya reformasi birokrasi difokuskan pada output kerja-kerja jangka panjang. Kemiskinan teratasi, tata kelola akuntabel, termasuk sistem meritokrasi dalam tata kelola ASN yang semakin berkualitas, adalah wujud penting kehadiran negara yang paling ditunggu rakyat.