Riset: Sapi Indonesia punya jejak DNA banteng liar, tertinggi di sapi madura

Wait 5 sec.

● Sapi-sapi Indonesia punya jejak DNA banteng liar.● Sapi madura memiliki proporsi gen banteng yang paling besar.● Kekayaan genetik sapi lokal terancam hilang karena persilangan dengan sapi taurus impor demi produktivitas.Ada dua jenis sapi domestik di dunia: sapi taurus (bos taurus taurus) dan sapi zebu (bos taurus indicus). Sederhananya, sapi domestik adalah sapi yang sudah dijinakkan dan dipelihara manusia untuk diambil daging hingga susunya. Sapi taurus umumnya dipelihara di iklim sedang dengan produktivitas tinggi, sedangkan sapi zebu di iklim tropis dan bisa hidup meski hanya dengan pakan berkualitas rendah. Ciri pembeda paling khas fisik mereka, sapi zebu punya punuk menonjol di bagian atas leher dan lapisan kulit bergelambir di bawah leher. Sementara sapi taurus tidak berpunuk dengan sedikit lapisan kulit di leher.Penelitian paling awal pada 2009 menunjukkan bahwa sejarah genetik sapi-sapi lokal Indonesia yang hidup saat ini berasal dari sapi zebu (yang berasal dari India) yang kawin silang dengan banteng lokal di Nusantara. Hasilnya melahirkan berbagai bentuk percampuran genetik (introgression) pada sapi-sapi lokal kita. Artinya, sapi-sapi lokal kita membawa genetik banteng. Namun, saat itu belum diketahui seberapa besar proporsi gen masing-masing, termasuk bagaimana dan kapan percampuran genetik ini terjadi.Riset terbaru kami, kolaborasi antara University of Copenhagen di Denmark dan IPB University menemukan jawabannya. Percampuran sapi-banteng kemungkinan terjadi sekitar lebih dari seribu tahun lalu. Sapi madura punya jejak DNA banteng liar paling tinggi, membuatnya sangat unik secara genetik dibandingkan dengan sapi-sapi domestik lain di dunia.Asal-usul sapi IndonesiaJika genom sapi Eropa, India, Cina, dan bahkan Afrika sudah banyak dipelajari, asal-usul genom sapi Indonesia belum banyak diketahui. Padahal kita punya kekayaan hingga 51 rumpun sapi lokal.Riset kami menelusuri data genomik dari beberapa rumpun sapi lokal, antara lain sapi pesisir, sapi aceh, sapi jabres, sapi pasundan, sapi madura, sapi bali, dan sapi sumba ongole. Ada lebih dari 100 genom sapi yang kami teliti, termasuk salah satu data pertama genom utuh sapi Indonesia.Salah satu hasil analisis kami menunjukkan bahwa sapi-sapi zebu awalnya masuk ke Indonesia tidak datang langsung dari India (tempat asal sapi zebu), melainkan menyebar lebih dulu lewat jalur Asia Tenggara, lalu masuk ke Indonesia. Hal ini sekaligus menandai eratnya hubungan perdagangan dan lalu lintas orang antarwilayah di Asia Tenggara saat itu.Setelah zebu masuk, terjadi perkawinan alami antara sapi zebu dan keturunan asli banteng yang sudah didomestikasi (dikenal dengan sapi bali). Kawin silang ini diperkirakan terjadi sejak sekitar 1.300 tahun yang lalu, atau sekitar abad ke-7. Keduanya menghasilkan populasi sapi-sapi lokal campuran dari persilangan. Aliran gen ini tersebar dalam dua gelombang: satu ke Sumatra (sapi aceh dan pesisir) dan satu ke Jawa (sapi pasundan, jabres, dan madura).Menariknya, ada perbedaan proporsi gen banteng yang kami temukan pada tiap rumpun. Sapi madura tercatat memiliki hingga 36% gen dari banteng, tertinggi dari semua jenis sapi. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena dulu di daerah Madura ada banyak banteng. Jumlah bantengnya sekitar sepertiga dari semua sapi yang bisa kawin silang. Alhasil, keturunan sapi Madura mewarisi gen banteng lebih banyak.Mengingat banteng adalah spesies yang berbeda dari sapi domestik, bisa dikatakan bahwa sapi madura merupakan sapi silangan yang paling unik. Dengan proporsi gen banteng yang tinggi, sapi madura memiliki keragaman genetik tertinggi di dunia, dengan lebih dari 3,5 juta varian genetik baru yang belum pernah ditemukan pada sapi lain di dunia.Jika variasi genetik baru ini bisa dipetakan fungsinya, kualitas sapi lokal Indonesia bisa ditingkatkan melalui upaya pemuliaan berbasis genomik, seperti yang dilakukan Eropa. Pemuliaan genomik terbukti menjadi salah satu strategi meningkatkan produksi susu sapi perah Eropa dalam beberapa dekade terakhir. Baca juga: Riset: Populasi hewan langka anoa dan babirusa di pulau kecil lebih tangguh, meski jumlahnya sedikit Potensi dan tantanganAda kemungkinan bahwa keunikan genetik membuat sapi-sapi lokal kita lebih tangguh menghadapi tekanan lingkungan, mulai dari panas ekstrem hingga serangan penyakit. Sebuah studi menemukan bahwa sapi aceh—salah satu sapi yang memiliki genetik banteng—menghasilkan lebih banyak sel imun. Artinya sistem kekebalan tubuhnya lebih aktif atau lebih kuat.Studi lain juga menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sejenis sapi liar di Asia, yaitu yak, lebih rendah dari sapi taurus. Hal ini mengindikasikan bahwa sapi Indonesia yang banyak mengandung genetik sapi liar (banteng), serupa yak, lebih ramah lingkungan.Sayangnya, warisan genetik ini kini tengah terancam oleh program persilangan dengan sapi taurus impor yang memang terkenal lebih produktif.Meskipun hasil silangan itu berpotensi meningkatkan keuntungan lebih cepat, tapi dalam jangka panjang bisa menghapus keragaman genetik sapi lokal yang sudah teruji selama ribuan tahun. Akibatnya, kumpulan gen sapi global justru akan makin sedikit dan kurang beragam.Dengan meningkatnya frekuensi kejadian cuaca ekstrem dan perubahan lingkungan lainnya, penting untuk menjaga keragaman variasi genetik sapi kita demi menjaga kelangsungan sumber pangan. Populasi sapi dengan keragaman galur yang tinggi akan lebih tahan penyakit baru pada masa mendatang dibandingkan dengan yang kurang beragam.Semakin banyak ragam variasi genetik yang dimiliki sapi kita, semakin besar peluang mereka bertahan menghadapi tantangan perubahan lingkungan ke depan. Variasi genetik sapi Indonesia yang unik membuka peluang seleksi genomik untuk sapi produktif dengan emisi gas rumah kaca rendah yang saat ini menjadi tujuan utama peternakan global.Karena itu, proses kawin silang sapi perlu didokumentasi dengan sistematis untuk memastikan pengadaan sapi lokal kita merawat variasi genetik yang ada. Jika sapi-sapi lokal diberi kesempatan melalui seleksi genomik, seperti yang dialami sapi taurus, sapi-sapi Indonesia bukan hanya bisa lebih produktif, melainkan juga lebih adaptif. Jangan sampai karena mengejar produktivitas jangka pendek, kebijakan peternakan nasional abai terhadap kekayaan genetik sapi lokal.Sabhrina Gita Aninta menerima dana dari Carlsberg Foundation untuk bekerja dalam penelitian yang menghasilkan studi ini. Bambang Purwantara dan Muhammad Agil tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.