Generasi Scroll: Tahu Segalanya, tapi Kehilangan Diri Sendiri

Wait 5 sec.

Ilustrasi ragam Sosial Media. Foto: ShutterstockKita hidup di zaman ketika dunia hanya sejauh sentuhan layar. Dalam satu genggaman, kita bisa tahu segalanya—dari cuaca di New York hingga gosip terbaru di TikTok. Generasi muda, terutama Gen Z, tumbuh sebagai generasi paling terkoneksi, paling adaptif, dan paling cepat tanggap terhadap perubahan.Namun, di balik kecerdasan dan konektivitas itu, muncul paradoks yang sulit disangkal: mereka tahu segalanya, tapi sering kali tak tahu apa yang benar-benar mereka mau. Mereka cerdas di layar, tapi bingung di dunia nyata. Dunia maya menjadi tempat mereka bersinar, sementara dunia nyata terasa kabur dan menekan.Fenomena doomscrolling—kebiasaan menggulir berita atau konten negatif tanpa henti—kini menjadi bentuk kecanduan baru. Kita menatap layar tidak untuk mencari solusi, tetapi untuk mengisi kekosongan yang tak pernah terjawab. Menanggapi hal tersebut, saya menyebutnya sebagai "Generasi Scroll", generasi yang tak pernah berhenti bergerak, tetapi jarang untuk benar-benar sampai ke mana pun.Ilustrasi Media Sosial. Sumber: gambar dengan bantuan AIDi balik jari-jari yang lincah mengetik opini dan komentar, ada kecemasan yang tak terlihat. Mereka tahu teori kesehatan mental, tapi sulit mempraktikkannya saat gelisah datang. Mereka bisa membuat konten edukatif, tapi gugup berbicara tatap muka tanpa filter atau efek visual.Contohnya, banyak anak muda yang bisa menjelaskan pentingnya self-care di media sosial, tetapi lupa makan karena tenggelam dalam notifikasi. Mereka fasih membahas isu global, tapi kikuk berbicara dengan tetangga. Di dunia maya, mereka tampak terbuka, padahal sering bersembunyi di balik filter dan kata-kata yang dirancang agar tampak sempurna.Sementara itu, dunia nyata dengan segala ketidakterdugaannya terasa terlalu keras untuk dihadapi tanpa scrolling sebagai pelarian. Scroll menjadi cara baru untuk menenangkan diri, bukan lagi sarana mencari inspirasi. Kita tidak sadar, setiap geseran layar perlahan menumpulkan kepekaan kita terhadap dunia sekitar.Ilustrasi etika menggunakan teknologi. Foto: A9 STUDIO/ShutterstockTentu, banyak yang berargumen bahwa teknologi memberi ruang untuk tumbuh. Benar, media sosial membantu banyak orang menyalurkan bakat, belajar, dan bahkan mencari nafkah. Namun masalahnya bukan pada medianya, melainkan pada caranya digunakan.Teknologi seharusnya memperluas pandangan, bukan menutup kesadaran. Masalah muncul ketika scrolling bukan lagi bentuk eksplorasi, melainkan bentuk pelarian. Saat jempol bergerak tanpa arah, pikiran ikut tersesat bersamanya. Kita jadi tahu segalanya tentang orang lain, tapi kehilangan kemampuan mengenal diri sendiri.Generasi ini tidak bodoh. Mereka luar biasa cepat belajar. Namun, dalam kecepatan itu, sering kali makna tertinggal. Kita tergoda untuk menjadi bagian dari “yang paling update”, tapi lupa menjadi bagian dari “yang paling hadir”.Kecerdasan digital tanpa kedalaman emosional hanya membuat manusia seperti mesin: tahu banyak, tapi tak merasa apa-apa. Dunia maya seolah memberi kuasa, tapi diam-diam mencuri ketenangan. Dalam diam, kita kehilangan kemampuan menikmati keheningan, berbicara tanpa notifikasi, dan berpikir tanpa interupsi algoritma.Ilustrasi bermain media sosial. Foto: Shutter StockSebagian orang mungkin berkata, “Begitulah zaman sekarang, tak bisa kita hindari.” Mungkin ada benarnya. Namun, bukan berarti kita harus menyerah. Di tengah derasnya arus digital, kemampuan berhenti dan merenung adalah bentuk perlawanan kecil yang penting.Mungkin kita semua perlu berhenti sejenak. Menutup layar, menatap langit, mendengar suara angin, atau sekadar berbicara tanpa harus direkam. Dunia nyata memang tak seindah feed media sosial, tapi justru di sanalah hidup benar-benar terasa.Teknologi boleh terus berkembang, tapi jangan biarkan diri kita membeku di balik layar. Berhentilah sejenak dari scrolling—bukan karena dunia maya berbahaya, melainkan karena hidup ini terlalu berharga untuk dilewati tanpa benar-benar dijalani.