Tak semangat bekerja menjadi salah satu ciri job hugging. Foto: PixabayBelakangan ini, fenomena job hugging menjadi diskursus menarik untuk dibahas. Job hugging diartikan sebagai kecenderungan individu bertahan pada suatu pekerjaan kendati tidak lagi merasa bahagia, produktif, maupun berkembang. Fenomena ini banyak dialami oleh pekerja di berbagai sektor, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.Dosen Ekonomi Ketenagakerjaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR), Achmad Sjafii SE ME menyebut bahwa job hugging sejatinya bukanlah hal baru. Menurutnya, istilah tersebut hanya mempertegas fenomena lama yang kembali mencuat seiring meningkatnya ketidakpastian ekonomi.Sjafii menjelaskan, perubahan kondisi ekonomi yang dinamis membuat pasar kerja menjadi lebih kompetitif. Sehingga banyak pekerja akhirnya memilih berhati-hati dalam mengambil keputusan karir, termasuk menghadapi ketidakpuasan di tempat kerja.“Sekarang mempertahankan pekerjaan saja sudah sulit, apalagi mencari yang baru. Jadi mereka berpikir sing penting iso mangan (yang penting bisa makan, red). Rasa aman itulah yang akhirnya membuat mereka bertahan,” ujarnya, dalam keterangan tertulis seperti dikutip Basra, Kamis (13/11).Lebih lanjut, Sjafii menyoroti bahwa keputusan untuk terus bertahan demi rasa aman, seringkali berujung pada hilangnya motivasi dalam bekerja. Tanpa disadari, pekerjaan yang semula menjadi sarana pengembangan diri berubah menjadi rutinitas monoton hanya untuk memenuhi kewajiban.Jika berlangsung dalam jangka panjang, situasi tersebut bukan hanya merugikan individu, tetapi juga berpotensi menurunkan kinerja perusahaan.“Kalau seseorang tidak bahagia di pekerjaannya, kinerjanya pasti menurun. Kalau sudah begitu, performa kerja menurun, dan perusahaan pun ikut terdampak,” imbuhnya.Fenomena job hugging, sambungnya, menunjukkan bagaimana keputusan individu dapat berimbas lebih luas. Oleh karena itu, Sjafii menilai perlu langkah bersama untuk menghadapinya. Tanggung jawab tersebut tidak dapat dibebankan kepada individu semata. Sebab, perusahaan dan pemerintah juga memegang peran penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang adaptif dan suportif.Perusahaan, kata Sjafii, perlu menyediakan program pelatihan serta pengembangan keterampilan secara berkelanjutan agar karyawan tidak stagnan dalam pekerjaannya. Dukungan terhadap peningkatan kapasitas tersebut akan membantu pekerja merasa lebih dihargai sekaligus memberi ruang untuk berkembang.Ia juga menambahkan bahwa pemerintah memiliki peran strategis dalam mendorong lahirnya kebijakan yang mendukung pengembangan sumber daya manusia (SDM). Upaya tersebut dapat terwujud melalui penyediaan pelatihan kerja, pemberian insentif bagi perusahaan yang berinvestasi pada peningkatan kompetensi, hingga kampanye kesadaran tentang pentingnya pengembangan diri di tengah pasar kerja yang terus berubah.“Pelatihan itu mahal. Kadang perusahaan tidak punya anggaran atau arahan strategis yang berjenjang. Kalau perusahaan tidak punya arah yang jelas, karyawan akan sulit berkembang. Di sisi lain, pemerintah juga punya keterbatasan, karena anggaran pelatihan yang besar ketika dibagi ke berbagai program hanya bisa menjangkau segelintir orang,” terangnya.Kendati upaya dari perusahaan dan pemerintah memiliki peran penting, Sjafii menegaskan bahwa perubahan tetap bergantung pada kesadaran individu itu sendiri. Untuk itu, baik individu, perusahaan, dan pemerintah perlu bersinergi bersama agar pekerja tidak hanya sekadar bertahan, tetapi juga mampu berkembang dan berdaya di tengah ketidakpastian ekonomi.“Individu perlu proaktif meningkatkan keterampilan. Perusahaan harus punya kebijakan pengembangan SDM yang jelas, dan pemerintah perlu memperkuat dukungan agar tenaga kerja tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang,” pungkasnya.