Ilustrasi biji kopip Foto: Shutter StockDi tengah pagi yang belum sepenuhnya sadar, jutaan orang menggenggam secangkir kopi, seolah itu adalah kunci menuju kewarasan. Ritual ini bukan sekadar kebiasaan; ia telah menjelma menjadi simbol harapan akan hari yang lebih baik.Dari barista di sudut kota hingga mesin kopi di kantor, kopi menjadi teman setia yang menjanjikan semangat, fokus, dan konon, kebahagiaan. Namun, benarkah kopi membuat kita lebih bahagia? Atau hanya memberi ilusi singkat yang menutupi kelelahan mental yang lebih dalam?Kopi dan Euforia SesaatMenurut Farah Qureshi dan tim peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health, kopi memang memiliki efek psikologis yang menarik. Kandungan kafein dalam kopi merangsang sistem saraf pusat dan meningkatkan pelepasan dopamin—zat kimia otak yang berperan dalam rasa senang dan motivasi. Maka tak heran jika banyak orang merasa lebih ceria dan termotivasi setelah menyeruput kopi pagi.Namun, seperti yang dijelaskan oleh Qureshi dalam studi yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE, efek ini bersifat sementara dan tidak berkontribusi signifikan terhadap kebahagiaan jangka panjang. Menurutnya, “meskipun kopi dapat melindungi individu dari risiko depresi, dampaknya terhadap kebahagiaan dan optimisme tampaknya terbatas.”Ilustrasi kopi. Foto: ShutterstockAntara Dopamin dan DepresiKopi memang terbukti menurunkan risiko depresi dan bahkan bunuh diri dalam beberapa studi longitudinal. Menurut Lucas et al., dalam penelitian sebelumnya terhadap lebih dari 50.000 wanita, konsumsi kopi dikaitkan dengan penurunan risiko depresi. Hal ini sejalan dengan temuan dari meta-analisis oleh Grosso et al., yang menyimpulkan bahwa konsumsi kopi dalam jumlah sedang dapat menurunkan risiko depresi hingga 24%.Namun, seperti yang ditegaskan oleh Ryff dan Dienberg Love, “Tidak adanya gejala depresi bukan berarti seseorang mengalami psychological well-being.” Kebahagiaan, optimisme, dan rasa puas adalah dimensi yang berbeda dan lebih kompleks. Seseorang bisa bebas dari depresi, tetapi tetap merasa hampa, tidak terhubung, atau kehilangan makna hidup.Kopi sebagai Stimulan, bukan SolusiKopi adalah zat psikoaktif yang paling luas digunakan di dunia. Ia bekerja dengan meningkatkan kewaspadaan, memperbaiki fokus, dan menajamkan daya ingat. Dalam konteks produktivitas, kopi adalah sekutu. Namun, dalam konteks kesejahteraan emosional, ia bukan penyembuh.Menurut Nehlig, seorang peneliti farmakologi, kafein memang meningkatkan aktivitas otak, tetapi juga dapat memicu kecemasan dan gangguan tidur jika dikonsumsi berlebihan. Bahkan, dalam dosis tinggi, kafein dapat mengganggu keseimbangan magnesium—mineral penting untuk fungsi neurotransmiter otak. Efek ini bisa memperburuk mood dan membuat seseorang merasa lebih gelisah daripada tenang.Ilustrasi minum kopi. Foto: Toshiko/kumparanTelah diketahui selama beberapa dekade bahwa metabolisme, klirens, dan farmakokinetik kafein dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti usia, jenis kelamin dan hormon, penyakit hati, obesitas, merokok, dan pola makan. Kafein juga berinteraksi dengan banyak obat.Temuan Baru dari Ageing Research ReviewsPublikasi terbaru dari Lopes et al. (2024) menyajikan sintesis neurobiologis yang lebih dalam tentang bagaimana kafein memengaruhi motivasi dan afek positif. Mereka menyimpulkan bahwa kafein memang dapat meningkatkan dorongan untuk bertindak (motivational drive), terutama dalam konteks tugas-tugas yang menuntut kognisi tinggi. Namun, efek ini tidak serta-merta menghasilkan kebahagiaan yang bermakna.Menurut ulasan tersebut, “kafein memfasilitasi performa, bukan eudaimonia.” Artinya, kopi membantu kita menyelesaikan pekerjaan, tetapi tidak menjamin kita merasa puas atau terpenuhi secara emosional. Efeknya lebih mirip dorongan mekanis daripada pemenuhan psikologis.Penelitian ini juga menyoroti bahwa efek kafein sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan psikologis. Individu yang mengalami stres kronis atau kurang tidur cenderung menggunakan kopi sebagai kompensasi, bukan sebagai penunjang kesejahteraan.Ilustrasi perempuan minum kopi. Foto: ShutterstockDalam jangka panjang, pola ini bisa memperkuat siklus kelelahan dan ketergantungan. Konsumsi kopi secara rutin terbukti mampu menekan berbagai penyebab utama kematian, termasuk penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, kanker, dan gangguan pernapasan. Tak hanya itu, kopi juga berperan dalam meredam penurunan fungsi kognitif dan fisik pada lansia—seperti hilangnya daya ingat, depresi, dan kerapuhan tubuh.Meski manfaatnya tampak terpisah dan tidak dramatis secara angka, studi oleh Lopes dan Cunha (2024) menunjukkan bahwa efek perlindungan ini berkontribusi pada peningkatan rentang kesehatan (healthspan) rata-rata sebesar 1,8 tahun sepanjang hidup. Dengan kata lain, kopi tidak hanya memperpanjang usia, tetapi juga memperpanjang masa hidup yang aktif, sehat, dan bermakna.Kebahagiaan yang Tidak Bisa DiseduhKebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa diseduh dalam cangkir. Ia lahir dari keterhubungan sosial, rasa tujuan, dan keseimbangan hidup. Dalam studi Nurses’ Health Study yang dikutip oleh Trudel-Fitzgerald, gaya hidup sehat—termasuk aktivitas fisik, pola makan, dan integrasi sosial—berkontribusi jauh lebih besar terhadap psychological well-being dibanding konsumsi kopi.Bahkan dalam analisis bidirectional, optimisme yang tinggi sedikit meningkatkan kemungkinan seseorang mempertahankan konsumsi kopi moderat. Namun seperti yang diungkap oleh Boehm dan Kubzansky, “Efek psikologis dari gaya hidup sehat jauh lebih kuat dan konsisten dibandingkan efek dari konsumsi zat tertentu seperti kafein.”Ilusi Produktivitas dan Budaya KopiIlustrasi menyeduh kopi dengan kertas filter. Foto: RachenArt/ShutterstockBudaya kopi telah menjadi bagian dari narasi produktivitas modern. Kantor-kantor berlomba menyediakan kopi gratis, kafe tumbuh di setiap sudut kota, dan media sosial mempopulerkan estetika “coffee and hustle.” Namun di balik itu semua, ada risiko glorifikasi stimulan sebagai pengganti istirahat dan refleksi.Menurut Van Cappellen dan Fredrickson, kebahagiaan sejati lahir dari proses afektif positif yang mendalam, bukan dari rangsangan eksternal sesaat. Kopi bukan pengganti tidur, bukan solusi untuk burnout, dan bukan jaminan kebahagiaan. Ia hanya alat bantu sementara. Ketika kopi dijadikan pelarian dari stres atau kelelahan, kita berisiko menumpuk tekanan tanpa menyelesaikan akar masalahnya.Kopi, dengan Segala Kebaikannya, bukan Obat BahagiaKopi memang bisa memperbaiki mood, meningkatkan fokus, dan menurunkan risiko depresi. Namun, ia bukan sumber kebahagiaan sejati. Psychological well-being adalah hasil dari gaya hidup yang seimbang, hubungan sosial yang sehat, dan makna hidup yang jelas.Seperti yang disimpulkan oleh Qureshi dan timnya, “Meskipun kopi tidak memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis, manfaatnya terhadap kebahagiaan dan optimisme tampaknya minimal.” Maka, minumlah kopi untuk kenikmatan, bukan pelarian. Karena kebahagiaan yang sejati bukan datang dari kafein, melainkan dari kesadaran, koneksi, dan keberanian menghadapi hidup tanpa ilusi.