Sumber : ( Gemini Ai )Saya masih ingat suatu pagi di depan gerbang sekolah, terpampang spanduk besar bertuliskan “Sekolah Bermutu, Siswa Hebat.” Warnanya mencolok, dengan foto senyum siswa di pojok kanan bawah. Tapi di balik pagar itu, ruang kelasnya catnya mulai mengelupas, dan seorang guru sedang menulis di papan tulis kusam. Saat itu saya tersenyum miris, mungkinkah mutu pendidikan memang bisa lahir dari spanduk dan slogan?Mutu pendidikan di Indonesia, menurut data UNESCO (2024), masih menghadapi ketimpangan besar. Laporan Global Education Monitoring mencatat bahwa sekitar 40% sekolah di daerah tertinggal belum memiliki fasilitas belajar yang memadai, dan sebagian besar guru masih kekurangan pelatihan pedagogis yang relevan dengan kebutuhan abad ke-21. Namun ironisnya, di banyak sekolah, kegiatan peningkatan mutu sering lebih sibuk pada aspek administratif seperti laporan, banner kegiatan, dan slogan motivatif yang bertebaran di dinding sekolah. Sebuah studi oleh Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang Kemendikbudristek (2023) juga menunjukkan bahwa 80% program peningkatan mutu sekolah lebih fokus pada output dokumen daripada pembelajaran bermakna di kelas. Banyak sekolah berupaya memenuhi indikator “sekolah unggul” di atas kertas, sementara kualitas interaksi guru dan murid di ruang kelas masih minim perhatian.Contoh nyata bisa kita lihat dari kasus Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Nagekeo, NTT, yang sempat viral tahun lalu. Sekolah ini tidak memiliki laboratorium, listrik pun sering padam, namun tingkat kehadiran siswa mencapai 98%. Kepala sekolahnya mengatakan, “Kami tidak punya banyak fasilitas, tapi kami punya budaya belajar yang kuat.” Artinya, mutu bukan ditentukan oleh megahnya fasilitas atau banyaknya slogan, melainkan oleh semangat dan budaya yang hidup di dalam sekolah.Untuk memperbaiki situasi ini, ada beberapa langkah nyata yang bisa diambil. Pertama, perkuat kompetensi dan kesejahteraan guru. Guru adalah inti dari mutu pendidikan. Pemerintah dan dinas pendidikan perlu lebih fokus pada pelatihan berbasis praktik dan refleksi, bukan sekadar seminar formalitas. Penelitian World Bank (2023) menunjukkan bahwa peningkatan kualitas guru melalui pelatihan berkelanjutan mampu meningkatkan hasil belajar siswa hingga 20%. Selain itu, kesejahteraan guru honorer perlu dijamin agar mereka bisa fokus mengajar tanpa tekanan ekonomi.Kedua, bangun budaya sekolah yang inklusif dan reflektif. Sekolah perlu membangun budaya yang memberi ruang pada guru dan siswa untuk berpikir kritis, berdialog, dan berefleksi. Program seperti Komunitas Belajar Guru Penggerak yang digagas Kemendikbudristek bisa menjadi model kolaboratif yang memperkuat mutu dari dalam, bukan sekadar dari kebijakan atas.Ketiga, ubah sistem evaluasi mutu yang terlalu menekankan hasil menjadi yang menyentuh proses. Evaluasi seharusnya tidak berhenti pada nilai ujian atau akreditasi, tetapi juga menilai seberapa jauh proses pembelajaran membentuk karakter, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis siswa. Pemerintah daerah dan pengawas sekolah bisa mulai menerapkan school review berbasis observasi kelas dan refleksi guru, seperti yang diterapkan di Finlandia dan Jepang.Keempat, dorong kolaborasi antara sekolah, masyarakat, dan dunia usaha. Sekolah tidak bisa berdiri sendiri. Dunia usaha, masyarakat, dan alumni bisa berperan aktif menyediakan sumber daya, bimbingan, atau program mentoring. Kolaborasi seperti ini terbukti efektif di banyak sekolah non-elite yang berhasil mandiri tanpa menunggu program pemerintah turun.Mutu sejati menuntut keberanian untuk jujur, bahwa pendidikan belum sempurna dan perubahan tidak akan datang dari spanduk, melainkan dari kesungguhan semua pihak. Selama sekolah lebih sibuk menata citra daripada menata makna, mutu akan tetap jadi slogan. Namun ketika guru didengar, murid dihargai, dan kepala sekolah berani menyentuh realita, barulah spanduk itu punya arti.Karena sejatinya, mutu pendidikan bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dirasakan. Dan bukti terkuatnya bukan pada baliho, melainkan pada anak-anak yang tumbuh dengan pikiran yang merdeka dan hati yang bahagia.