Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: Rawpixel.com/ShutterstockKasus santri membakar asrama di Aceh Besar dan ledakan di salah satu SMA Negeri Jakarta mengungkap bahwa krisis komunikasi di sekolah dan pesantren bisa berubah menjadi tragedi nyata. Saat ruang bicara hilang, diam berubah menjadi ledakan.Pada 5 November 2025, sebuah pesantren di Aceh Besar terbakar hebat. Salah satu bangunan asrama dilalap api setelah seorang santri 14 tahun nekat menyalakan kobaran karena tak tahan diejek teman-temannya. Dua hari kemudian, 7 November 2025, dua ledakan mengguncang salah satu SMA Negeri di Jakarta saat salat Jumat berlangsung.Lebih dari lima puluh lebih siswa dan guru terluka. Pelakunya diduga siswa 17 tahun di sekolah itu. Hasil investigasi polisi menemukan bahan peledak, senjata mainan bertuliskan slogan tertentu, dan dugaan paparan ideologi ekstrem.Dua lokasi berbeda, dua motif berbeda, tapi satu pola serupa, komunikasi yang gagal. Keduanya menggambarkan bagaimana di lembaga pendidikan—yang seharusnya menjadi ruang tumbuh yang aman—suara para remaja justru teredam oleh struktur yang kaku dan budaya yang kurang peka.Suara yang Hilang, Pesan yang MeledakIlustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: ShutterstockDalam dunia pendidikan, komunikasi sering dipahami sebatas penyampaian informasi. Padahal, komunikasi sejatinya adalah ruang empati, tempat seseorang merasa dilihat dan dihargai. Di Aceh, santri yang di-bully dengan kata “idiot” dan “bodoh” merasa tak punya ruang aman untuk bicara. Ia menanggung diam terlalu lama, hingga akhirnya api berbicara untuknya.Di Jakarta, siswa yang sementara ini diduga terpapar ideologi ekstrem justru menemukan “ruang bicara” di internet karena dunia nyata menutup pintu dialog.Keduanya menegaskan teori klasik komunikasi; ketika pesan emosional tak tersampaikan secara verbal, tindakan ekstrem akan mengambil alih peran bahasa. Kebakaran dan ledakan bukan hanya perbuatan kriminal, melainkan juga pesan yang terdistorsi, cara seseorang berkata, “Dengarkan aku.”Tempat Belajar atau Tempat Diam?Banyak lembaga pendidikan yang telah menerapkan komunikasi dua arah dengan baik. Namun tak dipungkiri, masih ada lembaga pendidikan di Indonesia yang beroperasi dengan pola komunikasi vertikal: guru berbicara, siswa mendengar; pengasuh menasihati, santri diam. Sistem ini menumbuhkan kepatuhan, tapi sering menyingkirkan empati. Akibatnya, keluhan atau rasa tertekan dianggap pembangkangan.Ilustrasi kursi dan meja sekolah. Foto: ShutterstockPadahal, di era sekarang, komunikasi bukan sekadar tata krama, melainkan sistem pendengaran sosial. Tanpa saluran komunikasi dua arah, seperti forum dialog, konseling rutin, atau kanal pengaduan, rasa sakit dan perundungan hanya menjadi gema di kepala remaja. Dan gema yang tak direspons itu bisa menjadi dentuman.Komunikasi yang Bisa MenyelamatkanKasus Aceh dan Jakarta menegaskan pentingnya komunikasi pencegahan. Kita sering sibuk bicara tentang hukuman setelah tragedi, tapi jarang membangun sistem agar tragedi tak perlu terjadi. Berikut merupakan beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan. Pertama, membuka saluran suara yang aman dan dipercaya. Sekolah dan pesantren perlu menyediakan kanal laporan bullying (baik anonim maupun terbuka) yang benar-benar direspons. Tidak cukup kotak saran, harus ada dialog lanjutan.Kedua, ajarkan literasi komunikasi dan empati. Siswa perlu belajar berbicara dengan sopan sekaligus jujur, serta mendengar tanpa menghakimi. Guru dan pengasuh perlu dilatih menjadi active listener, bukan hanya pemberi instruksi.Kemudian, bangun tim komunikasi krisis dan deteksi dini. Ketika siswa mulai menarik diri, murung, atau menunjukkan perilaku ekstrem (seperti mengoleksi simbol kekerasan), itu merupakan sinyal bahwa komunikasi sosialnya sudah rusak. Sekolah harus sigap, bukan menunggu.Ilustrasi berbicara. Foto: Portrait Image Asia/ShutterstockTerakhir, pulihkan komunikasi setelah krisis. Pemerintah DKI Jakarta sudah menerapkan pembelajaran jarak jauh dan pendampingan psikologis bagi siswa yang terdampak. Di Aceh, bantuan sosial dan penyelidikan bullying telah berjalan. Langkah-langkah ini penting, tapi tidak boleh berhenti pada pemulihan fisik; harus ada pemulihan melalui dialog.Belajar Mendengar Sebelum TerlambatKedua tragedi ini memperlihatkan satu pelajaran mendalam: diam bisa mematikan. Ketika seorang remaja tak merasa didengar, ia akan mencari cara agar diperhatikan; sering kali, cara itu destruktif. Kita bisa saja memperdebatkan siapa salah dan benar, tapi akar persoalannya tetap sama: kegagalan membangun komunikasi yang saling mendengar.Sekolah dan pesantren bukan sekadar tempat menuntut ilmu, melainkan tempat belajar menjadi manusia. Dan menjadi manusia berarti belajar mendengar; bukan hanya suara yang keras, melainkan juga yang hampir tak terdengar.Sebelum api menyala dan ledakan mengguncang, selalu ada tanda-tanda kecil: tatapan kosong, senyum yang hilang, atau siswa yang duduk sendirian di pojok kelas. Tanda-tanda itu adalah bentuk komunikasi dan kita hanya perlu peka. Karena kadang, menyelamatkan satu jiwa cukup dengan satu tindakan sederhana, yaitu mendengar.