Di Balik Target Netralitas Karbon dan Realitas di Asia Tenggara

Wait 5 sec.

Pertambangan batu bara (Sumber: Unsplash)Perjanjian Paris 2015 membawa target ambisius untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050. Namun, bagi negara berkembang seperti mayoritas negara di Asia Tenggara, target itu terdengar seperti hal yang sulit dijangkau.Di satu sisi, ada dorongan untuk tumbuh, membangun industri, dan mempercepat modernisasi. Di sisi lain, tekanan global menuntut semua negara segera beralih ke energi hijau. Bagaimana bisa tumbuh tanpa merusak bumi, sementara tumbuh saja masih jadi perjuangan? Gita Wirjawan, dalam tulisannya The Paradox of Sustainability, menyoroti fakta menarik: hanya sekitar 16% penduduk dunia yang tinggal di negara maju yang benar-benar serius memikirkan isu keberlanjutan, sementara 84% sisanya, yang hidup di negara berkembang dan miskin, masih berjuang untuk sekadar menaruh makanan di meja makan.Pengusaha, Gita Wirjawan. Foto: https://www.instagram.com/gwirjawanBagi mereka, isu emisi karbon ataupun Environmental, Social, and Governance (ESG) terasa jauh dari realitas keseharian. Seorang pekerja di Kamboja atau petani di Laos tentu lebih peduli pada harga beras ketimbang emisi CO₂ per kapita.Ketimpangan Emisi dan EnergiMasalah ini berakar dari sejarah panjang penggunaan energi fosil. Negara-negara maju sudah menikmati “bahan bakar pertumbuhan” itu selama dua abad terakhir. Berdasarkan data Our World in Data, sejak 1750 hingga 2023 dunia telah mengemisikan 1,81 triliun ton CO₂, dan 1,14 triliun ton di antaranya atau sekitar dua pertiga berasal dari negara berpendapatan tinggi. Kini, ketika negara berkembang mencoba meniru jalur yang sama demi pembangunan, mereka justru diminta menahan laju agar bumi tetap lestari.Padahal, untuk disebut “modern” seperti di kebanyakan negara maju, konsumsi listrik per kapita idealnya berada di kisaran 6.000 kWh per tahun. Di Asia Tenggara, angka tersebut masih jauh dari cukup.Warga mengisi token listrik di kawasan Rumah Susun Bendungan Hilir, Jakarta, Rabu (1/1/2025). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTOBerdasarkan data Bank Dunia, konsumsi listrik per kapita di Myanmar hanya 354 kWh, Kamboja 813 kWh, Filipina 885 kWh, Laos 1.264 kWh, Indonesia 1.445 kWh, Vietnam 2.624 kWh, Thailand 2.965 kWh, Malaysia 4.986 kWh, Singapura 9.750 kWh, dan Brunei 11.197 kWh. Artinya, hanya dua negara di Asia Tenggara yang berada di atas standar 6.000 kWh tersebut dan sisanya masih harus mengejar.Energi Hijau Masih Mahal Seiring meningkatnya populasi dan aktivitas ekonomi, kebutuhan energi di negara-negara Asia Tenggara juga terus melonjak. Mengandalkan energi terbarukan tampak sebagai solusi ideal. Pembangkit listrik tenaga surya atau angin memang ramah lingkungan, tapi tidak ramah kantong. Infrastruktur, baterai, dan sistem transmisi yang dibutuhkan untuk menopang energi hijau memerlukan investasi besar yang sering kali tidak sanggup ditanggung negara berkembang di kawasan ini.Menurut GlobalPetrolPrices (2023), harga listrik rumah tangga di Singapura mencapai 0,231 dolar AS per kWh, di Kamboja 0,148 dolar, Thailand 0,137 dolar, dan di banyak negara Asia Tenggara lain bahkan di bawah 0,1 dolar per kWh.Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) PLN Indonesia Power (PLN IP). Foto: PLN Indonesia PowerSementara untuk membuat proyek energi hijau layak secara ekonomi, harga listrik idealnya minimal 0,15 dolar per kWh. Dengan kondisi seperti ini, masyarakat lebih memilih membeli energi yang paling terjangkau, yakni energi berbasis fosil.Tak mengherankan jika di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand, 82% energi masih berasal dari sumber tak terbarukan. Bahkan, negara paling maju di kawasan ini, yaitu Singapura, baru 5% energinya berasal dari sumber hijau, sedangkan Brunei justru masih 0% (IEA 2022).Langkah ke DepanFakta-fakta tersebut menunjukkan satu hal penting: tidak realistis berharap negara berkembang bisa mencapai netralitas karbon dalam waktu dekat. Oleh karena itu, negara-negara maju harus lebih dari sekadar menuntut. Mereka perlu berinvestasi secara nyata. Dana-dana besar dari negara-negara maju dan lembaga keuangan global seharusnya bisa diarahkan untuk membangun infrastruktur energi hijau di negara-negara berkembang dengan prinsip terukur, transparan, dan akuntabel.Ilustrasi Emisi Karbon. Foto: ShutterstockTentunya bantuan finansial saja tidak cukup. Pembangunan kapasitas manusia adalah fondasi yang tak kalah penting. Negara-negara berkembang perlu berinvestasi lebih di pendidikan. Pendidikan akan membuat masyarakat lebih sadar akan dampak lingkungan, sekaligus memperkuat kemampuan ekonomi jangka panjang.Sebagaimana disinggung Gita Wirjawan, sebagian besar negara Asia Tenggara (kecuali Singapura dan Vietnam) masih tertinggal dalam literasi, numerasi, dan Science, Technology, Engineering, Mathematics (STEM). Ketertinggalan inilah yang menghambat inovasi hijau dan efektivitas kebijakan publik.Transisi energi bersih adalah cita-cita yang mulia, tetapi tidak bisa dipukul rata begitu saja. Dunia tidak bisa menuntut kecepatan yang sama dari titik awal yang berbeda. Selama ketimpangan ekonomi dan teknologi masih sedalam sekarang, narasi netralitas karbon 2050 akan tetap menjadi mimpi bagi banyak negara di kawasan ini, termasuk Indonesia.