Huma Betang: Belajar Nilai Berkelanjutan dari Masyarakat Dayak

Wait 5 sec.

Suku Dayak di Bukit Batu Langara (Foto: Shutterstock/Akhmad Fitriannor)Dunia tengah mengalami guncangan ekonomi yang signifikan dengan biaya hidup yang semakin tinggi dan angka pengangguran bertambah setiap hari. Adanya perang dagang antarnegara dan perkembangan teknologi seperti AI mengikis kepercayaan dunia terhadap kepastian masa depan. Kondisi ini kemudian menimbulkan suatu pertanyaan: Adakah tempat untuk anak dan cucu kita di tahun-tahun mendatang?Dalam menghadapi tantangan global ini, pemimpin-pemimpin dunia, melalui Resolusi PBB tahun 2015, merumuskan Sustainable Development Goals (SDGs) yang berisikan 17 tujuan global, dengan fokus menciptakan dunia yang adil secara sosial (people), sehat secara ekologis (planet), dan makmur secara ekonomi (profit).Konsep keseimbangan tiga aspek kehidupan ini disebut dengan Triple Bottom Line. Meski telah berjalan selama 10 tahun, Sustainable Development Goals Report 2025 melaporkan bahwa saat ini 1 dari 12 orang masih mengalami kelaparan dan miliaran orang belum memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi yang layak.Suku Dayak dan Sumpitnya Foto: Shutter StockDalam lingkup yang lebih luas, masih banyak negara yang mengalami keterbatasan untuk mengurangi kemiskinan, memperluas akses pendidikan dan kesehatan, serta mempercepat transisi menuju ekonomi yang berkelanjutan.Ketika dunia sedang sibuk mencari jalan keluar dari keresahan yang berkepanjangan, masyarakat Indonesia sejak lama memiliki nilai yang menempatkan manusia, alam, dan kemakmuran sebagai dasar hidup keberlanjutan. Falsafah “Huma Betang” yang melekat di kehidupan masyarakat Dayak menjadi salah satu bukti nyata bagaimana keseimbangan antara manusia dan alam bukanlah gagasan baru, melainkan warisan yang telah hidup selama ribuan tahun di Indonesia.Huma Betang sendiri berangkat dari nama rumah adat tradisional Suku Dayak yang berbentuk memanjang dan menjadi tempat tinggal utama bagi puluhan kepala keluarga dengan berbagai perbedaan. Penghuni Huma Betang dapat berasal dari latar keyakinan, agama, keluarga, dan cara pandang yang berbeda, dengan jumlah mencapai 100 hingga 200 jiwa di bawah satu atap.Suku Dayak Foto: Antara Foto/Zabur KaruruStruktur Huma Betang juga mendukung penghuninya untuk hidup bersama-sama dan berinteraksi secara intens, sehingga terbentuk nilai sosial berbasis komunal yang menjadi prinsip hidup masyarakat Dayak.Nilai sosial berbasis komunal tercermin dari bagaimana masyarakat Dayak selalu bergotong-royong dalam berbagai aspek kehidupan. Pada aspek ekonomi, misalnya, masyarakat Dayak saling bekerja sama di ladang dan hasil panen dibagi sesuai kontribusi.Tradisi ini dikenal sebagai Manugal, yaitu kegiatan berladang yang dilakukan bersama-sama dengan semangat handep hapakat (gotong royong). Pada tradisi Manugal, masyarakat Dayak memiliki perannya masing-masing; ketika satu keluarga membuka ladang, keluarga lain akan datang membantu menggarapnya.Masyarakat adat Dayak Deah membawa hasil panen saat Mesiwah Pare Gumboh di Desa Liyu, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Foto: BAYU PRATAMA S/kumparanKetika ladang sudah memasuki masa panen, hasil pertanian akan dibagi berdasarkan kontribusi tenaga dan kebutuhan rumah tangga. Bukan berarti individu dengan tenaga paling kuat mendapatkan hasil panen paling banyak, melainkan pembagian dilakukan secara adil dan memperhatikan keluarga mana yang paling membutuhkan.Kesejahteraan bersama menjadi prinsip utama dalam Huma Betang, sehingga semua keluarga dipastikan akan berkecukupan; tidak ada yang berlebih dan tidak ada yang kekurangan. Prinsip ini sejalan dengan pepatah masyarakat Dayak, “sama keme, sama mangat, sama susah,” yang berarti suka dan duka ditanggung bersama.Sebelum membuka lahan baru untuk berladang, masyarakat Dayak terlebih dahulu melaksanakan upacara Manyanggar sebagai bentuk permohonan izin kepada roh penjaga hutan. Masyarakat Dayak sadar bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari ekosistem yang lebih besar, sehingga perlu memberikan penghormatan kepada alam. Setelah itu, lahan dibersihkan dan ditanami berbagai jenis pangan, seperti padi, jagung, umbi-umbian dan sayuran.Beberapa ikat padi dan sayur-sayuran hasil panen dibawa warga Suku Dayak saat acara pembukaan Naik Dango ke-I di Rumah Radakng, Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (18/4/2024). Foto: Jessica Wuysang/Antara FotoMeski kebutuhan sehari-hari masyarakat Dayak bergantung pada kegiatan berladang, mereka meyakini bahwa pemanfaatan hutan dan lahan harus dilakukan secara bijak dan bertanggung jawab. Masyarakat Dayak memiliki pemahaman spiritual bahwa hutan, tanah, sungai dan seluruh ekosistem adalah bagian dari tatanan hidup yang sakral, sehingga hubungan manusia dengan alam harus harmonis.Ketika musim panen berakhir dan kebutuhan tercukupi, masyarakat Dayak menerapkan sistem ladang berpindah atau shifting cultivation. Mereka tidak langsung kembali menggunakan lahan yang sama, tetapi memberikan waktu jeda selama beberapa tahun untuk “mengistirahatkan” tanah agar alam dapat memulihkan diri secara alami. Melalui cara ini, masyarakat Dayak membuktikan bahwa kesejahteraan dapat dicapai tanpa merusak ekosistem yang menopang kehidupan mereka.Praktik-praktik seperti tradisi Manugal, upacara Manyanggar, dan sistem ladang berpindah menunjukkan bahwa keseimbangan antara manusia, alam, dan kesejahteraan telah lama menjadi landasan kehidupan masyarakat Dayak. Falsafah hidup masyarakat Dayak adalah perwujudan dari Triple Bottom Line yang kerap kita dengar, jauh sebelum istilah itu lahir. Barangkali, untuk mencapai masa depan yang berkelanjutan, kita tidak perlu mencari terlalu jauh. Cukup kembali ke nilai-nilai Huma Betang yang telah hidup dan berakar di tanah kita sendiri.