RUU Masyarakat Adat: Jembatan Antara Adat dan Modernitas

Wait 5 sec.

Ilustrasi foto masyarakat adat suku Kombai Foto: EcoNusaLebih dari seabad lalu, Guru Besar Hukum Konstitusi dan Administrasi Daerah-Daerah Seberang Lautan dan Hukum Adat Hindia Belanda di Universitas Leiden, Cornelis van Vollenhoven, menegaskan bahwa kepulauan Nusantara memiliki adatrecht—sistem hukum hidup yang lahir dari nilai, musyawarah, dan keseimbangan sosial.Kunjungannya ke Hindia Belanda pada tahun 1907 dan 1923 menginspirasinya mendalami dan mengembangkan hukum adat sebagai aturan-aturan hukum pribumi di samping aturan-aturan hukum Islam yang telah diidentifikasi lebih dahulu dan dipedomani orang-orang pribumi.Ia memperjuangkan agar hukum adat diakui sebagai sistem keadilan yang otentik, bukan sekadar bayangan dari hukum kolonial. Kegigihannya itu menghasilkan tulisan-tulisan penting, misalnya Het Adatrecht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) (1918 - 1933), De Indonesier en Zijn Grond (Orang Indonesia dan Tanahnya) (1919), Ontdekking van het Adatrecht (Penemuan Hukum Adat) (1928).Masyarakat adat dari berbagai kelompok etnis menyaksikan pembukaan Permainan dan Tarian Antarbudaya Masyarakat Adat Alvaraes di Desa Marajai, di Alvaraes, negara bagian Amazonas, Brasil utara, Senin (14/4/2025). Foto: Michael Dantas/AFPKini, gagasan itu kembali menemukan relevansinya ketika Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) menjadi sorotan publik. RUU ini bukan sekadar urusan administratif belaka, melainkan lebih sebagai upaya moral dan konstitusional untuk memulihkan keadilan bagi komunitas adat yang kerap tersisih oleh hukum positif. Sebenarnya, konstitusi telah memberi dasar kuat melalui Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 di mana negara secara tegas mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak komunal tradisionalnya. Namun, pengakuan itu hingga kini belum menemukan bentuk hukum yang konkret. Tanpa regulasi yang menyeluruh, masyarakat adat masih hidup dalam ketidakpastian: diakui secara moral, tetapi tak diakui secara legal.Ketika Adat Bertemu Hukum FormalMasalah itu nyata di Tana Toraja. Tanah Tongkonan, pusat genealogis dan spiritual rumpun keluarga Toraja, umumnya tak dapat disertifikatkan karena kepemilikannya bersifat komunal. Dalam hukum positif, kepemilikan harus dibuktikan dengan sertifikat bukti hak atas tanah.Ilustrasi sengketa lahan. Foto: Ardhana Pragota/kumparanNamun, dalam sistem adat, hak itu diwariskan melalui garis leluhur secara turun temurun dan kesepakatan keluarga besar. Saat sengketa muncul, pengadilan cenderung memenangkan pihak yang memiliki bukti formal dalam kerangka berpikir positivistik. Maka, tanah adat—simbol kebersamaan—justru kehilangan perlindungan karena tak tercatat secara administratif.Hal serupa terjadi di Rante Balla, Luwu. Wilayah yang dahulu menjadi milik komunal empat parengnge’ kini dilanda konflik agraria akibat ekspansi tambang anak usaha Indika Energy (INDY). Dalam pembebasan lahan untuk area tambang emas, perusahaan hanya mengakui dokumen kepemilikan tanah yang diterbitkan melalui lembaga pemerintah, sementara masyarakat adat berpegang pada hak turun-temurun yang tak tertulis. Negara, melalui hukum formalnya, sering kali hadir bukan sebagai penengah, melainkan sebagai pengesah ketimpangan.Menata Kembali Relasi Hukum dan KeadilanRUU Masyarakat Adat menjadi penting karena menawarkan jembatan antara dua dunia: dunia hukum modern yang menuntut kepastian dan dunia adat yang menjunjung keseimbangan sosial. Pembentukan Komisi Nasional Masyarakat Adat dan Panitia Adat Daerah memberi ruang bagi pengakuan berbasis komunitas—bukan sekadar keputusan administratif.Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty ImagesNamun, pengesahan undang-undang hanyalah awal. Tantangan terletak pada implementasi. Bagaimana negara mengharmoniskan hak adat dengan investasi, modernisasi, dan kebutuhan pembangunan nasional? Bagaimana hukum adat yang mengedepankan musyawarah dapat hidup berdampingan dengan hukum positif yang menuntut kecepatan dan kepastian?Semua pertanyaan itu adalah potensi nyata konflik, baik hukum maupun sosial, bahkan dalam ranah filosofis yaitu antara kepastian hukum dan keadilan.Kita memerlukan sistem hukum yang tidak hanya melihat bukti forma positivis, tetapi juga makna; tidak hanya mengatur tanah, tetapi juga menghormati hubungan manusia dengan tanahnya.Tongkonan, rumah adat orang Toraja. Foto: Dok. PegipegiTerance W. Bigalke (2005) dalam Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People, dalam Bab tentang "Tanah dan Orangnya" menggambarkan sifat komunal suatu Tongkonan dengan menyatakan, bahwa idealnya, tanah di sekeliling Tongkonan akan dipertahankan sebagai tanah milik bersama.Menegakkan Keadilan SubstantifRUU ini bukan nostalgia terhadap masa lalu, melainkan visi masa depan. Pengakuan terhadap masyarakat adat adalah cara negara menegaskan kembali jati dirinya: bahwa kemajuan tidak harus berarti penyeragaman dan modernitas tidak perlu menyingkirkan akar budaya.Dalam dunia yang serba formal dan digital, masyarakat adat mengingatkan kita bahwa keadilan sejati tumbuh dari rasa saling menghormati. Mengakui hak-hak komunal adat: bukan pemberian hak istimewa, melainkan menunaikan amanat konstitusi dan mengembalikan keadilan kepada wajah manusiawi hukum.