Whoosh: Benarkah Indonesia Telah Masuk ke Lingkaran Chinese Debt Trap?

Wait 5 sec.

Foto Whoosh Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Sumber: KCICTerdapat sebuah perdebatan menarik yang muncul sejak peresmian proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, atau yang kini dikenal dengan nama Whoosh. Proyek transportasi modern ini kerap dipuji sebagai simbol kemajuan teknologi dan infrastruktur Indonesia, namun di sisi lain juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah proyek ini menandai keberhasilan diplomasi ekonomi Indonesia, atau justru menjadi pintu masuk bagi jebakan utang China—Chinese Debt Trap—yang selama ini menghantui banyak negara berkembang?Istilah Chinese Debt Trap pertama kali populer ketika sejumlah negara berkembang mengalami kesulitan membayar kembali pinjaman dari China. Salah satu contoh yang paling sering disorot adalah kasus Sri Lanka, yang pada tahun 2017 terpaksa menyerahkan pengelolaan Pelabuhan Hambantota kepada perusahaan China selama 99 tahun akibat gagal membayar utangnya. Sejak itu, muncul persepsi global bahwa proyek-proyek infrastruktur yang didanai oleh China, terutama melalui skema Belt and Road Initiative (BRI), bukan sekadar investasi ekonomi, melainkan juga alat diplomasi strategis untuk memperluas pengaruh geopolitik.Indonesia sendiri menjadi salah satu mitra penting dalam BRI. Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung adalah salah satu hasil dari kerja sama tersebut. Meski pada awalnya proyek ini diharapkan menjadi simbol kemandirian dan kolaborasi teknologi, perjalanan panjang pembangunannya justru diwarnai dengan pembengkakan biaya, penundaan jadwal, dan negosiasi ulang mengenai struktur utang dan saham antara pihak Indonesia dan China. Namun, apakah ini berarti Indonesia telah jatuh ke dalam perangkap utang seperti Sri Lanka?Proyek Whoosh tidak sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah Indonesia. Skema pembiayaannya dilakukan melalui business-to-business scheme, di mana konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menjadi pelaksana utama, dengan komposisi saham 60% dimiliki Indonesia (melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia) dan 40% oleh China Railway International Co. Ltd.Namun, pembengkakan biaya proyek dari sekitar USD 6 miliar (±Rp96 triliun) menjadi lebih dari USD 7,3 miliar (±Rp117 triliun) membuat posisi negosiasi Indonesia menjadi lebih sulit. Pemerintah akhirnya harus menambah penyertaan modal negara (PMN) dan sebagian pembiayaan dilakukan melalui pinjaman dari Bank Pembangunan China (CDB).Inilah yang kemudian memunculkan kekhawatiran bahwa ketergantungan pada pembiayaan China dapat menjebak Indonesia ke dalam ketergantungan jangka panjang, baik secara ekonomi maupun politik. Namun, apakah benar demikian?Beberapa pengamat berpendapat bahwa istilah Chinese Debt Trap sering kali terlalu disederhanakan dan tidak selalu relevan untuk semua konteks. Center for Global Development (CGD) misalnya, mengatakan bahwa banyak negara yang dianggap "terjebak utang" justru memiliki masalah tata kelola internal, bukan semata karena pinjaman dari China.Dalam konteks Indonesia, pemerintah memiliki kontrol yang jauh lebih besar dibandingkan negara-negara lain yang terjerat dalam masalah serupa. Skema Whoosh tidak memberikan jaminan aset nasional sebagai kolateral, berbeda dengan kasus Hambantota di Sri Lanka.Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa diplomasi ekonomi China memang didesain untuk menciptakan soft dependency. Infrastruktur menjadi alat untuk mempererat hubungan ekonomi yang berujung pada pengaruh politik. Artinya, meski Indonesia tidak secara langsung terperangkap dalam utang, tetapi tetap ada bentuk ketergantungan yang muncul, baik dalam hal teknologi, pembiayaan, maupun sumber daya manusia.Diplomasi ekonomi memang kerap kali menyerupai permainan catur. Setiap langkah strategis selalu disertai perhitungan untung-rugi jangka panjang. Dalam konteks ini, keberhasilan Indonesia tidak hanya diukur dari seberapa cepat kereta melaju antara Halim dan Padalarang, tetapi juga dari seberapa cerdas pemerintah menjaga kedaulatan ekonomi di tengah arus modal dan pengaruh asing yang deras.Presiden Joko Widodo sendiri sering menegaskan bahwa kerja sama dengan China dilakukan dengan prinsip equal partnership, bukan ketergantungan. Namun, tantangan sebenarnya terletak pada bagaimana memastikan prinsip itu tetap terjaga setelah pemerintahan berganti dan ketika proyek-proyek besar lain seperti High-Speed Rail Phase II (Jakarta–Surabaya) mulai digarap.Ekonom Joseph Stiglitz mengatakan bahwa negara berkembang sering kali tidak terjebak oleh utang itu sendiri, melainkan oleh cara berpikir yang terlalu reaktif terhadap modal asing. Jika setiap kerja sama dilihat dari kacamata ketakutan, maka negara tersebut justru kehilangan peluang untuk memanfaatkan investasi secara strategis.Indonesia, dengan posisi geopolitik dan ekonomi yang kuat di ASEAN, seharusnya memiliki daya tawar besar dalam setiap negosiasi dengan China. Kuncinya terletak pada kemampuan diplomasi ekonomi yang matang: bagaimana memastikan setiap investasi membawa transfer teknologi, peningkatan kapasitas SDM, dan manfaat jangka panjang bagi rakyat.