Ilustrasi langit. Foto: Sigid Kurniawan/Antara FotoDunia yang Mulai RetakLangit tidak pernah ingkar pada Tuhannya. Ia menjalankan perintah dengan sempurna—terbit pada waktunya, bergemuruh saat diizinkan, dan tenang ketika diperintahkan. Tapi manusia, makhluk yang diberi akal dan amanah, justru sering melawan hukum keseimbangan itu. Menentang perintah, menunda kebenaran, dan menata kebohongan dengan rapi, seolah hidup ini tak lagi di bawah pengawasan langit.Kita hidup di masa di mana dunia tampak megah tapi sebenarnya rapuh. Bangunan peradaban berdiri tinggi, namun pondasinya keropos oleh keserakahan. Segala hal berlomba menjadi citra: kekuasaan, ibadah, bahkan kebaikan. Orang berdoa untuk terlihat saleh, berbicara tentang moral hanya ketika kamera menyala, dan membela keadilan sejauh tidak mengganggu kepentingan pribadi. Dunia penuh simbol kesucian, tapi kehilangan makna penghambaan. Fenomena sosial dan politik hari ini seperti cermin besar dari langit yang mulai retak. Tatanan hukum kehilangan ruhnya; kekuasaan terjebak dalam paranoia mempertahankan diri; loyalitas lebih berharga daripada integritas. Orang cerdas menipu dengan sopan, pejabat berdusta dengan senyum, dan yang benar perlahan menjadi minoritas yang lelah menjelaskan. Kebenaran dipersempit menjadi opini mayoritas, keadilan menjadi komoditas politik, dan keberanian dianggap tindakan nekat.Kita menyaksikan zaman di mana batas antara benar dan salah kabur, bukan karena manusia tidak tahu kebenaran, tetapi karena terlalu banyak yang pandai memanipulasi kebenaran itu. Dunia dipenuhi para aktor yang lihai memainkan peran moral, tapi kehilangan nurani di balik panggungnya. Inilah masa di mana kebohongan lebih bergaung daripada kejujuran, sebab yang jujur sering kalah sebelum bicara. Semua ini bukan sekadar krisis sosial, tetapi tanda-tanda kosmik yang pelan-pelan bekerja: langit moral mulai terbelah, bumi sosial mulai memuntahkan isi perutnya. Kebusukan yang dulu disembunyikan kini terbongkar di layar publik; rahasia kekuasaan tumpah ke media sosial; wajah-wajah suci ternyata menyimpan kepentingan duniawi. Bumi menolak lagi menampung kepalsuan, sementara langit seolah ikut meratap — karena yang rusak bukan sistemnya, tapi nurani para pengelolanya. Kita menyaksikan dunia yang seakan tak bisa lagi menahan rahasianya. Kebohongan yang dulu rapat disembunyikan kini muncul di layar; konspirasi terbongkar lewat data; kezaliman disiarkan langsung oleh zaman. Yang kuat mulai goyah, yang disucikan mulai retak, yang berkuasa kehilangan wibawa di hadapan kenyataan. Bumi sosial kita seolah memuntahkan isi perutnya, menyingkap busuk yang lama dipendam oleh sistem, oleh kekuasaan, oleh keserakahan manusia. Langitmoral tampak ikut merekah, membiarkan cahaya kebenaran menembus kabut kepurapuraan.Fenomena ini terasa baru—padahal telah diisyaratkan sejak berabad-abad lalu dalam firman Allah SWT:, “Idzas-samā’un syaqqat” — “Apabila langit terbelah.” (QS. Al-Insyiqāq [84]:1)Ayat itu bukan sekadar gambaran hari akhir, tetapi juga cermin keterbukaan yang bekerja dalam sejarah : saat kebenaran yang selama ini dikubur manusia akhirnya menyingkap diri.Langit terbelah bukan hanya peristiwa fisik di akhir zaman, melainkan juga metafora spiritual bagi setiap masa ketika kepalsuan mencapai puncaknya dan kebenaran menuntut ruang untuk keluar. Itulah tanda-tanda alam bahwa tidak ada kebohongan yang abadi, dan tidak ada kebenaran yang bisa dikubur selamanya.Maka, ketika kita menatap dunia hari ini—dengan segala gegap gempitanya, namun penuh retakan di bawahnya—sesungguhnya kita sedang menyaksikan bagian kecil dari ayat itu bekerja. Kebenaran mulai mencari jalannya sendiri, menembus dinding sensor, kekuasaan, dan kepura-puraan. Sama seperti langit yang akhirnya tak bisa lagi menahan rahasia dari Tuhannya. Langit tetap tunduk, bumi tetap patuh. Hanya manusialah yang sedang diuji—apakah masih berani jujur di tengah budaya alasan, atau memilih selamat dengan berpura-pura.Sebab pada akhirnya, setiap peradaban yang menolak kebenaran akan pecah seperti langit yang terbelah. Bukan karena murka semata, tetapi karena keadilan Ilahi sedang bekerja—mengembalikan keseimbangan yang telah lama diingkari oleh manusia.Langit yang Retak, Nilai yang Runtuh: Ketika Sistem Moral Manusia Tak Lagi Sekuat Tatanan LangitIlustrasi langit berwarna merah. Foto: VALERY HACHE / AFPLangit yang terbelah bukan hanya tanda akhir dunia, tetapi simbol dari dunia yang kehilangan keseimbangan. Yang retak bukan karena bintang jatuh, melainkan karena manusia berhenti menjaga cahaya di dalam dirinya.Retaknya nilai tidak terjadi dalam semalam; ia pecah pelan-pelan, dalam diam, di ruan-gruang yang dulu dianggap suci: ruang kekuasaan, ruang hukum, ruang pendidikan, bahkan ruang keluarga. Yang runtuh bukan gedung, tapi nurani. Yang hilang bukan cahaya, tapi keberanian untuk jujur. Kita hidup di masa ketika kebenaran tidak lagi diukur dari isi, tetapi dari siapa yang mengucapkannya. Kekuasaan menulis ulang moral, media membentuk persepsi, dan hukumberubah menjadi alat tawar-menawar. Dunia tampak megah di luar, tapi rapuh dari dalam—seperti langit yang berkilau sebelum pecah oleh petir. Nilai-nilai yang dulu tegak kini menjadi ornamen; dipajang dalam pidato, tapi tak dihidupi dalam keputusan. Dalam sistem seperti ini, kejujuran menjadi barang yang mahal. Kebohongan berseragam kerap tampak lebih berwibawa daripada kebenaran yang datang dengan wajah sederhana. Mereka yang berani berkata benar sering dianggap ancaman, sementara yang pandai berpura-pura dipuja sebagai simbol harmoni. Itulah wajah zaman ketika langit moral mulai retak—bukan karena kurangnya pengetahuan, tetapi karena berlebihnya kompromi.Nilai runtuh bukan karena kebenaran hilang, tetapi karena manusia berhenti mencarinya. Dunia yang tampak stabil sesungguhnya retak dari dalam—oleh kompromi kecil yang terus dibiarkan. Kita belajar menoleransi kebohongan atas nama kebijakan, menunda kebenaran atas nama strategi, dan menukar keadilan dengan keamanan jabatan. Padahal setiap kebohongan kecil yang dibiarkan adalah retakan di langit nilai; dan ketika retakan itu menyebar, gemuruh kehancuran tinggal menunggu waktu. Al-Qur’an menggambarkan saat itu dengan satu kalimat yang menembus ruang dan zaman:“Idzas-samā’un syaqqat” — “Apabila langit terbelah.” QS. Al-Insyiqāq [84]:1Langit tetap tunduk pada perintah Tuhannya, sebagaimana ditegaskan ayat berikutnya:“Wa adzinat li rabbihā wa huqqat” — “Dan ia patuh kepada Tuhannya, dan memang patutlah ia patuh.”Langit tunduk tanpa menawar. Tapi manusia—yang diberi akal, kehendak, dan amanah—justru menawar perintah dengan seribu alasan. Inilah paradoks terbesar peradaban modern:langit, bumi, dan seluruh ciptaan tetap setia pada hukum Allah SWT, sementara manusia sibuk menciptakan hukum yang menguntungkan dirinya sendiri. Langit tidak berkhianat kepada Tuhannya, tapi manusia berkhianat kepada kebenarannya. Maka ketika langit terbelah, itu bukan sekadar tanda akhir zaman, melainkan peringatan: bahwa keseimbangan kosmos mulai terganggu oleh perilaku manusia yang menolak tunduk.Bumi yang Memuntahkan Rahasianya Ilustrasi gelap. Foto: needpixKetika yang disembunyikan tak lagi bisa disembunyikan Bumi selalu sabar. Ia memendam segalanya: jejak langkah, kebohongan, keserakahan, darah, dan air mata. Namun pada waktunya, semua yang tertanam akan dimuntahkan kembali—bukan dengan amarah, tetapi dengan keadilan. Itulah fase yang kini kita saksikan: bumi sosial sedang memuntahkan isi perutnya. Yang dulu disembunyikan di balik jabatan kini terbuka di layar. Yang dulu dibungkam oleh kekuasaan kini bersuara lewat data, rekaman, dan jejak digital yang tak bisa dihapus oleh sensor.“Apabila bumi dihamparkan, dan memuntahkan isi perutnya, serta menjadi kosong.” QS. Al-Insyiqāq [84]:3–4Kalimat ini bukan sekadar nubuat tentang hari akhir, melainkan cermin zaman yang sedang berlangsung di depan mata. Bumi tempat manusia berpijak kini berbicara, bukan lewat letusan gunung atau gempa, tapi lewat fakta yang tak bisa dibungkam lagi.Kita hidup di era ketika rahasia tak lagi punyaruang aman (no place to hide). Laporan keuangan yang dulu bisa disembunyikan kini terlacak oleh sistem digital. Kecurangan yang dulu dibungkus rapi kini terbuka oleh kamera, rekaman, dan algoritma. Suara yang dulu dipaksa diam kini menemukan jalannya lewat ruang maya. Bumi sosial telah memuntahkan isi perutnya—bukan karena kemajuan teknologi semata, tapi karena keadilan Ilahi sedang bekerja melalui instrumen zaman.Yang menarik, ayat ini tidak menyebut bahwa bumi memuntahkan kebaikan. Yang dimuntahkan justru yang membusuk: kebohongan yang disembunyikan, pengkhianatan yang dilupakan, dan kezaliman yang dianggap aman. Karena kebenaran tidak pernah membusuk, ia tumbuh. Yang busuklah yang tak tahan disimpan lama.Kita sedang berada di masa ketika segala yang salah keluar ke permukaan—bukan karena manusia ingin jujur, tapi karena sistem alam tidak lagi sanggup memendam kebohongan.Laksana tanah yang menolak menelan darah orang tak bersalah, bumi menolak menampung kejahatan yang terus dilakukan dengan wajah tersenyum. Ia muntahkan dalam bentuk krisis, skandal, dan keruntuhan moral. Semua itu bukan kebetulan. Itu hukum keseimbangan (equilibrium–sunatullah).Dulu, kebenaran disembunyikan di bawah meja; sekarang, kebohongan yang disembunyikan justru mencuat dari bawah meja itu sendiri. Dulu, manusia merasa aman karena menguasai narasi; sekarang, narasi kehilangan kuasa karena kebenaran menemukan medianya sendiri. Bumi yang selama ini dijadikan panggung tipu daya kini berubah menjadi saksi bisu—seperti dalam firman Allah SWT,“Yawma’idzin tuhadditsu akhbārahā” — “Pada hari itu, bumi akan memberitakan kabarnya.”QS. Az-Zalzalah [99]:4Di masa ini, kabar bumi bukan lagi mitos. Ia hadir dalam bentuk yang sangat nyata: kebocoran data, dokumen, video, atau bahkan testimoni yang tak bisa lagi disembunyikan. Semuanya adalah bentuk modern dari bumi yang sedang “berbicara.” Dan ketika bumi berbicara, manusia hanya punya dua pilihan: mengakui atau membantah. Namun membantah pun percuma, sebab saksi-saksi zaman bukan lagi manusia, melainkan sistem yang diciptakan manusia sendiri—tapi kini berbalik menjadi instrumen pengadilan moral.Bumi sosial yang kita pijak kini seperti panggung besar yang membersihkan dirinya. Ia mengeluarkan semua yang disembunyikan agar keseimbangannya kembali tegak. Sebab keadilan, sebagaimana langit dan bumi, tidak bisa terus dipaksa tunduk kepada kebohongan.Yang dulu dianggap kuat kini ditelanjangi oleh waktu; yang dulu dianggap kecil justru menjadi suara kebenaran yang tak bisa dibungkam lagi.Ketika bumi memuntahkan rahasianya, itu bukan sekadar peringatan—melainkan proses pemurnian. Yang jujur akan bersinar lebih terang, yang palsu akan hangus oleh cahaya yang sama. Dan manusia, di tengah pusaran itu, akhirnya sadar: yang disembunyikan bukan lagi bisa diselamatkan oleh alasan. Bumi sedang berbicara, dan setiap kebohongan, betapapun lihainya disusun, pada akhirnya akan dimuntahkan juga.Ketika Langit dan Bumi Lebih Taat daripada ManusiaLangit yang selalu taat pada Tuhan Foto: Sigid Kurniawan/Antara FotoLangit tidak pernah berbohong tentang siang dan malam. Bumi tidak pernah berdusta tentang apa yang ditanam dan dituai. Segala sesuatu di alam semesta bekerja dengan disiplin sempurna, tunduk pada hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT—hukum yang tidak bisa dinegosiasikan, tidak bisa ditunda, tidak bisa ditipu oleh retorika.Hanya manusia yang berani menawar perintah.Hanya manusia yang merasa bisa menunda ketaatan.Langit mematuhi takdirnya dengan tenang: beredar, berputar, menurunkan hujan, menyinari bumi tanpa pamrih. Bumi menjalankan tugasnya dengan sabar: menumbuhkan, menyerap, memberi makan tanpa pamrih kepada siapa pun yangmenginjaknya. Sementara manusia—makhluk yang dibekali akal dan nurani—justru sibuk menawar kebenaran, memperdebatkan kejujuran, dan memanipulasi makna amanah. Al-Qur’an menyebut:“Wa adzinat li rabbihā wa huqqat” — “Dan langit patuh kepada Tuhannya, dan memang patut ia patuh.” QS. Al-Insyiqāq [84]:2Kalimat sederhana tapi mengguncang kesadaran. Langit patuh karena ia tahu siapa Tuhannya. Manusia ingkar karena ia lupa siapa dirinya. Kepatuhan alam adalah hukum keseimbangan; pembangkangan manusia adalah sebab dari segala ketimpangan. Krisis bukan lahir dari sistem yang rusak, tapi dari manusia yang merasa bisa lebih pandai dari hukum Tuhan.Manusia membuat undang-undang untuk melindungi yang kuat, menciptakan tafsir moral yang menyesuaikan selera, dan membungkus kebohongan dengan jargon kemanusiaan. Sementara langit tetap beredar tanpa salah orbit, manusia kehilangan arah di jalan lurus yang sudah diterangi wahyu.Bila langit terbelah karena perintah Allah SWT, itu adalah bentuk ketaatan. Tetapi ketika manusia “terbelah” oleh ambisinya sendiri, itu adalah tanda kerusakan. Langit pecah untuk menegakkan kebenaran; manusia retak karena menolak kebenaran. Itulah perbedaan antara tunduk dan takluk, antara beriman dan berpura-pura beriman.Peradaban modern menunjukkan paradoks ini dengan sangat jelas. Teknologi semakin canggih, tapi moral semakin usang. Manusia bisa menjelajahi langit, tetapi gagal menaklukkan keserakahan di dalam qalbunya.Bisa mengendalikan bumi, tapi tak sanggup menundukkan ego. Ketaatan kosmos menjadi cermin bagi pembangkangan manusia—langit tetap patuh, bumi tetap sabar, tapi manusia justru berontak terhadap Tuhannya sendiri.Dalam logika Ilahi, setiap pembangkangan terhadap kebenaran akan dibalas oleh hukum keseimbangan. Ketika manusia melawan sunnatullah, maka alam akan menegakkan hukumnya sendiri. Banjir, kekeringan, konflik, dan kekacauan sosial bukan sekadar fenomena alam atau politik, tetapi gejala dari hukum Ilahi yang terus bekerja. Langit dan bumi menyesuaikan diri terhadap ketidakadilan manusia—seperti tubuh yang demam karena racun di dalamnya. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan keseimbangan (mīzān), agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil, dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu. Dan Allah telah membentangkan bumi untuk makhluk-Nya.”QS. Ar-Rahmān [55]:7–10Ayat ini menegaskan bahwa keseimbangan bukan sekadar hukum fisika, melainkan fondasi moral semesta. Ketika manusia merusak mīzān—baik dalam bentuk keserakahan terhadap sumber daya, manipulasi hukum, atau penyalahgunaan kekuasaan—maka alam merespons bukan dengan balas dendam, melainkan dengan penegakan keadilan. Setiap bencana ekologis, konflik sosial, atau krisis moral pada hakikatnya adalah ekspresi bumi dan langit yang sedang menegakkan kembali keseimbangan yang dilanggar. Keadilan Ilahi tidak hanya berlaku di pengadilan akhirat, tetapi juga berdenyut dalam sistem kehidupan. Langit tetap menjaga orbitnya, bumi tetap memberi makan, laut tetap pasang surut pada waktunya—semua tunduk kepada hukum Allah SWT. Namun manusia, yang diberi kehendak dan kesadaran, justru menjadi satu-satunya makhluk yang berani menolak keseimbangan itu. Maka ketika kezaliman menjadi kebijakan, alam pun menegakkan amar ma‘rufnya dengan caranya sendiri. Air naik, tanah retak, tatanan sosial guncang—bukan sekadar peringatan, melainkan konsekuensi. Sebab siapa pun yang melawan keseimbangan, sedang mempercepat kejatuhan dirinya sendiri.Logika Ilahi, setiap pembangkangan terhadap kebenaran akan dibalas oleh hukum keseimbangan. Ketika manusia melawan sunatullah, maka alam akan menegakkan hukumnya sendiri. Banjir, kekeringan, konflik, dan kekacauan sosial—semua itu bukan sekadar fenomena alam atau politik, tetapi gejala dari hukum Ilahi yang terus bekerja.Langit dan bumi menyesuaikan diri terhadap ketidakadilan manusia, seperti tubuh yang demam karena racun di dalamnya. Perintah Allah SWT kepada alam semesta bersifat tetap dan konsisten. Sedangkan manusia hidup dalam relativisme yang terus bergeser—menilai kebenaran berdasarkan kepentingan, bukan prinsip. Maka jangan heran jika dunia terasa goyah, sebab keseimbangan spiritualnya telah rusak oleh tangan manusia yang menolak tunduk.Langit tidak pernah menunda matahari, bumi tidak pernah menolak musim. Tetapi manusia terus menunda kebenaran, dan menolak peringatan. Padahal, ketundukan kepada Allah SWT adalah bentuk tertinggi dari kebebasan—kebebasan dari nafsu, dari keserakahan, dari kepura-puraan. Namun manusia modern lebih memilih tunduk kepada sistem yang diciptakannya sendiri, meski tahu sistem itu menjeratnya perlahan.Saat langit dan bumi tunduk, tapi manusia menolak, maka waktu akan menegur. Kebenaran yang diabaikan akan kembali dalam bentuk peringatan, sebab ketidakseimbangan moral tak bisa terus dibiarkan—sebagaimana langit yang retak akhirnya menumpahkan keadilan yang lama ditahan. Langit patuh karena tahu siapa Tuhannya. Maka manusia yang beriman, seharusnya malu jika kalah taat dari langit.Bumi Sosial yang Rata, Manusia yang Gagal Membaca Tanda Ilustrasi langit. Foto: ShutterstockKetika kemuliaan kehilangan makna, dan yang tersisa hanyalah pangkat tanpa cahaya. Dalam ayat lain, Allah SWT menggambarkan hari ketika bumi diratakan — “wa iżal-ardhu muddath” — saat gunung-gunung dilebur, batas-batas hilang, dan manusia berdiri sejajar untuk dihisab. Namun sebelum itu terjadi di akhirat, tanda-tandanya sudah tampak di dunia. Bumi sosial kita mulai “rata” — bukan karena keadilan ditegakkan, tetapi karena hirarki moral telah runtuh. Orang jujur dan pendusta kini berada di barisan yang sama. Yang curang disanjung karena lihai, yang benar disingkirkan karena dianggap mengganggu harmoni kepentingan. Keadilan kehilangan makna sakralnya; ia berubah menjadi produk negosiasi. Di era ini, bumi tidak perlu meledak untuk mengguncang kesadaran manusia — cukup dengan menampilkan ketimpangan yang dibiarkan terlalu lama.Dulu, orang menundukkan kepala karena hormat; kini orang menunduk karena takut kehilangan posisi. Dulu, pangkat adalah simbol tanggung jawab; sekarang pangkat menjadi alat untuk menutupi kelemahan. Ketika bumi sosial diratakan, manusia kehilangan pijakan hierarki nilai — kebenaran tidak lagi di atas, kebohongan tidak lagi di bawah. Semuanya kabur dalam kabut relativisme moral yang disebut “konteks.”Kita hidup di masa ketika penjahat tampil di panggung kehormatan, sementara yang berintegritas berjuang di pinggir sejarah. Kebohongan diberi penghargaan karena pandai beradaptasi dengan narasi publik. Yang disebut “profesional” tidak lagi diukur dari amanah dan kompetensi, tapi dari kemampuan memainkan persepsi. Inilah bentuk baru dari bumi yang diratakan: struktur sosial yang kehilangan vertikalitas spiritualnya. Tidak ada lagi “atas” yang dimaknai sebagai luhur, karena semua sibuk menyesuaikan diri agar tidak dianggap “terlalu tinggi.” Al-Qur’an telah mengingatkan:“Dan Allah telah meninggikan langit dan meletakkan keseimbangan” QS. Ar-Rahmān [55]:7Namun manusia modern justru membalik hukum itu — menurunkan langit nilai dan meninggikan bumi kekuasaan. Akibatnya, semua ukuran menjadi datar: yang benar tak lagi memimpin, yang mulia tak lagi diikuti, yang saleh dianggap naif. Bumi sosial kehilangan gravitasi moralnya, dan manusia melayang tanpa arah, terombang-ambing oleh algoritma, citra, dan opini.Fenomena ini terasa dalam banyak ruang: di lembaga publik yang menukar kebenaran dengan harmoni semu, di ruang politik yang menormalisasi kebohongan dengan istilah “kompromi,” di ruang keagamaan yang sibuk memoles simbol, tapi kehilangan ruh amanah.Semuanya adalah tanda-tanda bumi sosial yang sedang diratakan — bukan oleh gempa, tapi oleh runtuhnya nurani kolektif. Bumi yang rata sejatinya bukan anugerah bagi manusia, melainkan peringatan. Sebab di permukaan yang datar itu, tak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Setiap dosa tampak seperti pantulan di air tenang, setiap kepurapuraan mencolok di bawah cahaya.Ketika bumi meratakan dirinya, Allah SWT sedang menyiapkan hisabnya. Dan manusia yang gagal membaca tanda-tanda ini sesungguhnya sedang menggali kubur moralnya sendiri di atas tanah yang datar—sebab Allah SWT telah memperingatkan:“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli dan bisu di dalam kegelapan” QS. Al-An‘ām [6]:39Ketika manusia tidak lagi mendengar peringatan dan berhenti mencari kebenaran, ia sesungguhnya sedang menimbun dirinya dalam kegelapan yang ia gali sendiri. Ia berjalan di atas bumi yang datar, tapi di bawahnya terbuka jurang kehancuran spiritual.Maka, setiap kali manusia berpaling dari ayat-ayat Allah SWT, hukum keseimbangan akan bekerja — sebagaimana firman-Nya:“Dan orang-orang yang zalim di muka bumi akan digiring ke kehancuran”QS. Al-A‘rāf [7]:146Di situlah bumi sosial kehilangan pijakan moralnya, karena manusia memilih menutup mata dari tanda-tanda langit dan bumi yang seharusnya mengingatkan. Pada akhirnya, perataan bumi sosial ini mengandung hikmah yang tajam: bahwa kemuliaan tidak lagi bisa ditopang oleh jabatan, kekuasaan, atau popularitas. Semuanya diratakan oleh waktu, disaring oleh kebenaran, dan diuji oleh keikhlasan. Yang bertahan hanyalah mereka yang menegakkan mīzān di dalam qalbunya—keseimbangan antara kekuasaan dan ketundukan, antara kehormatan dan kejujuran.Revolusi Kesadaran: Dari Retaknya Langit ke Terbukanya QalbuYang bisa dilakukan adalah beribadah. Foto: Gatot Adri/ShutterstockKetika kehancuran luar menjadi panggilan untuk membangun kembali yang di dalam setiap zaman punya bentuk revolusinya. Ada yang mengguncang singgasana, ada yang menggulingkan sistem, ada pula yang menumpahkan darah atas nama keadilan.Namun semua revolusi akan berakhir sia-sia bila tidak dimulai dari dalam diri manusia—dari revolusi qalbu. Dunia hari ini telah menyaksikan “langit terbelah” dalam makna sosial : otoritas moral kehilangan cahaya, hukum tak lagi sakral, dan kebenaran ditukar dengan kepentingan. Tapi yang lebih dalam dari semua itu adalah “qalbu yang tertutup,” tempat sumber segala keruntuhan dimulai. Sebab, sebelum dunia rusak, kesadaran manusialah yang lebih dulu retak.Langit terbelah karena taat kepada perintah Allah SWT. Manusia hancur karena menolak perintah yang sama. Ketika dunia runtuh di luar, sesungguhnya Allah SWT sedang memanggil manusia untuk membangun ulang dirinya di dalam.Revolusi yang sesungguhnya bukan soal mengganti penguasa, tapi mengganti kesadaran. Yang perlu digulingkan bukan rezim, melainkan keangkuhan. Yang harus ditumbangkan bukan sistem, melainkan nafsu yang membuat manusia buta terhadap tanda-tanda Tuhannya. Al-Qur’an memberi petunjuk arah revolusi ini melalui hukum keseimbangan:“Agar kamu tidak merusak mīzān (keseimbangan)”QS. Ar-Rahmān [55]:8Keseimbangan itu tidak hanya untuk alam, tapi juga untuk jiwa. Sebab manusia yang tidak seimbang di dalam dirinya akan menimbulkan ketimpangan di luar dirinya. Ketika qalbu tidak lagi mengenal takut dan malu kepada Allah SWT, maka seluruh sistem sosial akan kehilangan akarnya. Dan ketika qalbu kembali bersujud dengan jujur, maka bumi pun ikut tenang.Revolusi kesadaran adalah saat ketika manusia berhenti menyalahkan dunia luar, dan mulai melihat ke dalam dirinya sendiri. Setiap kebohongan publik berasal dari kebohongan pribadi yang dibiarkan. Setiap ketidakadilan sistemik berasal dari ketidakjujuran dalam diri orang yang mengelolanya. Maka, perubahan sejati tidak dimulai di ruang sidang atau di panggung kekuasaan, tetapi di ruang sunyi tempat manusia berhadapan dengan Allah SWT tanpa topeng. Di sana, semua alasan runtuh, sebagaimana firman-Nya:“Kalaupun kamu sembunyikan apa yang di dalam dadamu atau kamu nyatakan, maka Allah SWT pasti mengetahuinya. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.”QS. Āli ‘Imrān [3]:29Di sana, setiap kemegahan sosial menjadi kecil—sebab tidak ada yang tersembunyi dari pengawasan-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:“Dia mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan, dan Allah SWT Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam dada.” QS. At-Taghābun [64]:4Yang tersisa hanyalah hubungan antara manusia dan Tuhannya—seberapa dalam ia mengenal, seberapa tulus ia tunduk. Ketika seseorang mulai membersihkan qalbunya dari dendam, keserakahan, dan kemunafikan, saat itulah langit batin dalam dirinya mulai terbuka.Langit itu yang akan menurunkan hujan hikmah, menumbuhkan pohon amal, dan menyejukkan bumi kehidupannya. Revolusi sejati tidak berteriak di jalan, tapi berdzikir dalam diam. Tidak membakar gedung, tapi membakar kesombongan. Tidak menjatuhkan manusia lain, tapi menjatuhkan hawa nafsu sendiri. Itulah jihad terbesar yang disebut Rasulullah صلى الله عليه وسلم— jihad melawan diri sendiri. Hanya manusia yang memenangkan jihad batin inilah yang layak menegakkan keadilan lahiriah.Maka ketika dunia tampak kacau, itu bukan tanda bahwa Allah SWT meninggalkan manusia. Sebaliknya, itu tanda bahwa Allah SWT sedang membuka langit kesadaran, agar manusia menyadari betapa jauh ia telah berpaling. Retaknya langit sosial adalah panggilan agar langit qalbu kembali terhubung dengan Rabb-nya. Sebab ketika langit luar terbelah, manusia masih bisa berlindung. Tapi ketika langit batin terbelah—dan cahayanya memancar—dunia akan berubah tanpaperlu perang.Perjalanan kesadaran berakhir di ruang yang sama tempat ia bermula—ruang sunyi antara manusia dan Tuhannya. Setelah semua dalih runtuh dan semua kemegahan sosial menjadi kecil, tibalah saat ketika alam mengambil perannya. Langit yang dulu terbelah akan kembali berbicara, dan bumi yang dahulu menjadi saksi akan menyampaikan kesaksiannya. Sebagaimana firman Allah SWT:“Pada hari itu bumi akan menyampaikan beritanya, karena Tuhanmu telah memerintahkan demikian.” QS. Al-Zalzalah [99]:4–5Setiap peristiwa, setiap jejak, setiap kata yang pernah diucapkan akan bersuara. Dunia yang kita pijak bukan sekadar panggung kehidupan, tetapi juga alat rekam moral yang menyimpan semua perbuatan manusia. Ketika manusia diam, dunia akan bicara. Ketika manusia berdalih, alam akan menegakkan kebenaran tanpa perlu debat.Di titik itu, yang tersisa hanyalah pertanggungjawaban. Tidak ada lagi ruang klarifikasi, tidak ada lagi pembenaran diri. Yang berbicara bukan lagi lidah, melainkan amal.Yang bersaksi bukan lagi manusia, melainkan semesta. Itulah saat di mana langit dan bumi menegaskan bahwa: Hukum Allah SWT selalu hidup—bahwa setiap kebohongan akan menemukan pantulannya, dan setiap kejujuran akan menemukan cahayanya.Maka sebelum hari itu tiba, manusia bijak akan memulai hisabnya sendiri—bukan di akhirat, tetapi di qalbunya. Karena dunia sudah mulai berbicara. Yang belum hanyalah manusia yang mau mendengar.Dunia Akan Bicara, Manusia Akan DihisabIlustrasi beribadah di malam lailatul qadar. Foto: Shutter StockLangit tidak pernah berdusta. Ia menampung setiap doa, mencatat setiap keangkuhan, dan menjadi saksi atas semua yang manusia sembunyikan di balik senyum dan pencitraan.Ketika langit terbelah, bukan hanya cakrawala yang retak — tetapi juga dinding-dinding kepalsuan yang selama ini melindungi ego dan kebohongan.Saat langit terbelah, bukan berarti alam hancur, melainkan kebenaran dibuka. Saat bumi memuntahkan rahasianya, bukan sekadar bencana, melainkan keadilan bekerja. Semua yang dulu disembunyikan — ambisi yang dilapisi moral palsu, pengkhianatan yang dibungkus diplomasi, kemunafikan yang bersembunyi di balik senyum kekuasaan—akan muncul ke permukaan. Karena bumi tidak menyimpan kebusukan terlalu lama; ia patuh kepada Tuhannya untuk berkata jujur. Allah SWT berfirman:“Pada hari itu bumi akan menyampaikan beritanya, karena Tuhanmu telah memerintahkan demikian.”QS. Al-Zalzalah [99]:4–5Ayat ini bukan sekadar nubuwah eskatologis, tetapi cermin dunia modern. Bumi sosial kita kini sedang berbicara: lewat data, rekaman, media, dan kesadaran publik yang makin tajam.Kezaliman tak lagi bisa disembunyikan di balik protokol. Segala aib sistemik yang dulu dikubur dalam retorika, satu per satu dimuntahkan oleh bumi peradaban sendiri.Inilah masa di mana hukum Ilahi sedang bekerja secara halus—bukan melalui petir dan gempa, tapi lewat keterbukaan, keterbongkaran, dan kebangkitan kesadaran.Dunia yang dulu memuja pencitraan kini diguncang oleh kejujuran yang tak bisa dikendalikan. Langit dan bumi kembali tunduk pada Tuhan-Nya, sebagaimana firman-Nya:“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Dia telah meninggikan langit dan menegakkan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.” QS. Ar-Rahmān [55]:7–8Manusia yang sombong dengan kuasa kini melihat bahwa kekuasaannya tidak lebih dari debu yang terhembus angin. Sistem yang dibangun di atas kebohongan hancur bukan oleh musuh, tapi oleh kebenaran yang menuntut keseimbangannya sendiri. Sebab setiap pelanggaran terhadap keadilan akan memancing reaksi dari semesta—sebagaimana tubuh yang demam untuk mengeluarkan racun di dalamnya.Maka saat langit terbelah, manusia seharusnya tidak panik oleh bencana luar, tetapi oleh keretakan dalam dirinya sendiri. Karena langit di luar hanyalah cermin dari langit di dalam—qalbu. Bila qalbu terbelah oleh cahaya kebenaran, maka itu bukan kehancuran, melainkan kelahiran baru.Perubahan sejati tidak dimulai di ruang sidang atau panggung kekuasaan, tetapi di ruang sunyi tempat manusia berhadapan dengan Allah SWT tanpa topeng. Di sana, semua alasan runtuh. Di sana, setiap kemegahan sosial menjadi kecil. Yang tersisa hanyalah hubungan antara manusia dan Tuhannya—seberapa dalam ia mengenal, seberapa tulus iatunduk. Sebagaimana firman-Nya:“Kalaupun kamu sembunyikan apa yang di dalam dadamu atau kamu nyatakan, maka Allah SWT pasti mengetahuinya. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.” QS. Āli ‘Imrān [3]:29Pada akhirnya, dunia ini memang akan berbicara—baik melalui gempa yang mengguncang, data yang bocor, atau nurani yang tersadar. Alam telah diberi izin untuk menegakkan keseimbangan. Yang masih ditunggu hanyalah manusia: apakah ia mau mendengar, atau tetap bersembunyi di balik alasan.Saat langit terbelah, kebenaran tidak datang sebagai suara keras, tetapi sebagai cahaya yang menembus diam. Dunia sedang menuju titik itu—saat topeng jatuh, dan manusia berhadapan dengan dirinya sendiri di bawah langit yang berkata: “Aku telah patuh kepada Tuhan-ku.”Maka sebelum hari itu tiba, manusia bijak akan memulai hisabnya sendiri—bukan di akhirat, tetapi di qalbunya. Karena dunia sudah mulai berbicara. Yang belum hanyalah manusia yang mau mendengar.Sebelum langit terbelah, sadarkanlah dirimu. Selama engkau masih menjadi hamba-Nya, jangan menipu diri dengan berlindung di balik alasan.Jujurlah mengakui kesalahanmu, sebelum Allah SWT membelah langitmu dan menyingkap kebenaran yang kau sembunyikan.Wallahualam bishawabJakarta, 12 November 2025