‘Father hunger’ lebih mengganggu perkembangan emosional anak dibandingkan ‘Fatherless’

Wait 5 sec.

Ilustrasi seorang ayah sedang mengajarkan anak perempuannya mengendarai sepeda. maxim ibragimov/Shutterstock● ‘Father hunger’ terjadi ketika anak hidup bersama ayah, tetapi kurang mendapat kasih sayang dan kedekatan emosional.● Ketidakhadiran emosional ini menimbulkan ‘emotional hunger’: rasa tak layak dicintai, haus validasi, dan hubungan yang kacau saat dewasa.● ‘Father hunger’ dapat berdampak panjang pada kesejahteraan emosional dan sosial anak.Publik kini sudah familiar dengan fenomena fatherless, yakni absennya figur ayah dalam pengasuhan anak, baik karena kematian, perceraian, pekerjaan atau migrasi kerja, maupun absensi sosial (hadir secara fisik, tapi tidak terlibat secara emosional).Dampaknya, makin banyak pasangan maupun orang tua, khususnya yang berusia muda, yang mulai berusaha menyeimbangkan peran pengasuhan.Namun, kita perlu juga menyadari kondisi father hunger. Ini merupakan situasi turunan yang lebih detail dari fatherless, yakni kerinduan mendalam anak terhadap kehadiran dan kasih sayang ayah—sering muncul ketika kebutuhan emosional dari ayah tidak terpenuhi.Father hunger terjadi ketika anak tetap tinggal bersama ayahnya, tetapi jarang mendapatkan sentuhan emosional seperti pelukan, percakapan intim, validasi emosi, dan perhatian. Dampak ‘father hunger’ bagi perkembangan anakKondisi father hunger dikategorikan sebagai emotional neglect atau (pengabaian emosional), yang dalam jangka panjang dapat memunculkan kecemasan, harga diri rendah, dan pola hubungan tidak aman. Ilustrasi ayah dan anak perempuan sedang duduk bersama melihat pemandangan alam. Jsita/Shutterstock Riset-riset membuktikan bahwa anak-anak dari keluarga tanpa kehadiran ayah memiliki risiko lebih tinggi mengalami kesulitan akademis, perilaku agresif, serta kesehatan mental yang buruk. Studi lintas negara juga menemukan bahwa ketiadaan figur ayah meningkatkan kerentanan pada depresi dan masalah kedisiplinan remaja.Pada anak perempuan, father hunger dapat memicu masalah kepercayaan diri dan hubungan dengan lawan jenis. Sementara pada anak laki-laki, ketidakhadiran ayah dapat memicu pencarian figur maskulinitas dalam lingkungan luar, yang tidak selalu sehat.UNICEF juga menekankan bahwa peran ayah sering direduksi hanya pada aspek ekonomi, sementara dimensinya sebagai pengasuh kurang diakui.Riset di Afrika Selatan tahun 2024 menunjukkan bahwa kelaparan emosional akibat ketidakhadiran ayah dapat berdampak lebih merusak dan bertahan lama dibandingkan ketidakhadiran fisik. Sebab, sifatnya tidak terlihat dan sulit diidentifikasi.Apa penyebab ‘father hunger’?Setidaknya ada tiga penyebab terjadinya father hunger terjadi di Indonesia.1. Perceraian dan migrasi pekerjaData Mahkamah Agung mencatat tren perceraian di Indonesia meningkat setiap tahun, dengan mayoritas alasan ekonomi dan ketidakharmonisan rumah tangga.Perceraian memisahkan keluarga, mengubah pola pengasuhan, dan sering menempatkan anak pada posisi tanpa ayah baik secara fisik maupun emosional. Riset di beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan hubungan antara perceraian dan penurunan akademik, gangguan kesejahteraan emosional, hingga kepada perilaku anak. Baca juga: Remaja 'fatherless' lebih rentan merokok: Kehadiran ayah sangat penting bagi anak Namun, dampak negatif terhadap anak umumnya berasal dari konflik berkepanjangan, stres ekonomi, dan menurunnya keterlibatan orang tua terutama hilangnya peran ayah dalam attachment, dan tanggung jawab, bukan karena status perceraian itu sendiri.Selain itu, Indonesia sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja migran terbesar di kawasan Asia Tenggara, dengan sekitar jutaan pekerja migran. Mayoritas laki-laki bekerja di luar daerah bahkan luar negeri.Mereka terpaksa meninggalkan keluarga selama bertahun-tahun sehingga kehadiran rutin yang mendukung keterikatan anak menjadi berkurang. Absensi jangka panjang berdampak pada perkembangan emosi dan perilaku anak migran.2. Jam kerja dan urbanisasi memisahkan keluargaTekanan karier menempatkan ayah sebagai “pencari nafkah” atau “donor finansial”, bukan “pendamping emosional”.Di Indonesia, rata-rata jam kerja nasional mencapai 40-48 jam per minggu dan cenderung lebih tinggi di kota-kota besar. Akibatnya, quality time bergeser menjadi presence without interaction (kehadiran tanpa interaksi). Baca juga: Bukan harta, warisan penting yang bisa diberikan ayah adalah kehadiran dan keterlibatan dalam pengasuhan Kondisi ini diperburuk oleh budaya lembur, target kinerja yang berat, mobilitas harian panjang, serta kemacetan akibat urban sprawl (pemekaran wilayah perkotaan yang tidak terkendali). Padahal, artikel review terbaru yang menganalisis beragam studi di beberapa negara pada tahun 2020 menunjukkan bahwa kualitas interaksi, bukan kuantitas waktu, sangat menentukan perkembangan sosial dan emosional anak. Ilustrasi ayah dan anak berpegangan tangan bersama-sama sedang berjalan. Treetree2016/Shutterstock Kehadiran ayah berkorelasi kuat dengan perkembangan regulasi emosi, empati, dan rasa percaya diri pada anak. Ketika relasi ini renggang, akan terjadi attachment insecurity (ketidakamanan ikatan), yakni ketika seorang anak tidak memilki keyakinan penuh bahwa pengasuhnya akan tersedia, responsif, dan suportif ketika mereka membutuhkan kenyamanan atau perlindungan. Kondisi ini dapat memicu kecemasan dan depresi.3. Distraksi digital: Ayah di rumah, tapi jiwanya onlineEra teknologi dan ponsel pintar menghadirkan tantangan baru dalam keluarga. Di ruang keluarga modern, tatap muka kalah oleh tatap layar. Distraksi digital mencuri kualitas interaksi.Literatur yang menganalisis 12 studi empiris di beberapa negara diantaranya Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, dan Jerman menunjukkan penggunaan gawai yang berlebihan menurunkan kualitas interaksi antara orang tua dan anak, terutama dalam respons emosi anak. Fenomena phubbing (mengabaikan lawan bicara demi gawai) menjadi semakin umum di ruang domestik.Di era ini, kehadiran fisik tidak lagi menjamin adanya keterhubungan dan keterlibatan emosional dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar-anggota keluarga. ‘Father hunger’ lebih berbahaya daripada ‘fatherless’Ketiadaan ayah atau fatherless karena faktor struktural relatif bisa diprediksi dengan adanya coping strategy, seperti dukungan keluarga besar, masyarakat, atau komunikasi jarak jauh.Namun, father hunger sulit dikenali karena sering kali dianggap normal. Sementara anak tidak punya bahasa untuk mengeluh. Baca juga: ‘Mindful parenting’: Bangun hubungan keluarga lebih sehat lewat pola asuh penuh kesadaran Ketidakhadiran emosional ini yang membentuk emotional hunger atau kelaparan emosional anak, yaitu perasaan tidak layak dicintai, kebutuhan validasi berlebihan, dan pola relasi kacau di masa dewasa.Pelampiasan bisa muncul dalam bentuk kecanduan gawai, perilaku agresif, hingga people pleasing yang ekstrem. Pada akhirnya, father hunger dapat berdampak panjang pada kesejahteraan emosional dan sosial anak.Intervensi yang dibutuhkanPertama, perlu ada reformasi kebijakan cuti ayah dengan pemahaman bahwa memperpanjang cuti bukan sekadar bonus, tapi investasi bonding untuk tumbuh kembang anak. Anak laki-laki berlari hendak memeluk ayahnya yang baru pulang kerja. Odua Images/Shutterstock Kedua, program parenting di Indonesia perlu menargetkan ayah, bukan hanya ibu. Dukungan emosional dan pelatihan komunikasi keluarga bisa memperkuat keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Baca juga: Riset: Ayah ingin lebih terlibat pengasuhan, tetapi aturan negara tidak mendukungnya Ketiga, sekolah bisa berperan sebagai “ruang restoratif”. Program ayah dan anak di sekolah menjadi intervensi sosial yang sangat strategis. Sekolah dapat merancang kegiatan “hari ayah” atau proyek belajar bersama yang mendorong kedekatan emosional antara ayah dan anak.Keempat, media dapat memperluas narasi tentang ayah yang peka dan hadir secara emosional guna menantang stereotip lama bahwa ekspresi kasih sayang adalah kelemahan.Jika ingin generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga stabil emosinya, maka kehadiran ayah, bukan hanya tubuhnya, tetapi juga hatinya, harus menjadi perhatian bersama. Setiap interaksi kecil, seperti pelukan, percakapan intim, atau sekadar mendengarkan, dapat menjadi pondasi kuat bagi tumbuh kembang anak. Resti Pujihasvuty tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.