Presiden Indonesia Prabowo Subianto berbicara dengan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani dalam acara kumpul ekonomi bertema "Memperkuat Ketahanan Ekonomi Nasional" di Jakarta, Indonesia, 8 April 2025. Foto: REUTERS/Willy KurniawanAwal Februari 2025, publik Indonesia diguncang oleh temuan Polri bahwa sekelompok pelaku menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membuat video deepfake yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seolah-olah mengumumkan program bantuan pemerintah. Video manipulatif itu viral di TikTok dan WhatsApp, menimbulkan kebingungan publik dan penipuan besar-besaran. Kebenaran datang terlambat; narasi palsu sudah lebih dulu dipercaya.Kasus ini menjadi cermin dari zaman yang kita hadapi: ketika akal imitasi menggantikan akal sehat. Di dunia digital, kebenaran tidak lagi ditentukan oleh ketepatan data, melainkan oleh kecepatan viral dan kekuatan algoritma.Echo Chamber dan Lenyapnya Pikiran KolektifFenomena deepfake hanyalah puncak dari gunung es. Di bawahnya bekerja sistem algoritma yang menciptakan ruang gema—echo chamber—tempat setiap pengguna hanya mendengar suara yang menegaskan pandangannya sendiri. Kebenaran tak lagi diuji, melainkan dikonfirmasi oleh algoritma.Pakar teori media Franco “Bifo” Berardi menyebut, krisis komunikasi modern terjadi bukan semata karena politisi berbohong, melainkan karena masyarakat kehilangan kapasitas berpikir bersama. Kita hidup dalam situasi yang ia sebut sebagai kelelahan semiotik—kelelahan akibat banjir tanda, citra, dan emosi yang menumpuk tanpa waktu untuk merenung. Akibatnya, ruang publik digital yang seharusnya menjadi arena dialog justru berubah menjadi ladang gema yang penuh keyakinan tanpa pemahaman.Di tengah banjir konten, kita tak lagi mencari kebenaran, melainkan pembenaran. Media sosial yang dulu dijanjikan sebagai ruang demokratis kini menjadi ruang cermin: memperlihatkan diri kita sendiri dalam versi yang dikurasi oleh algoritma.Antara Efisiensi dan Erosi KemanusiaanKecerdasan buatan kian menggoda karena efisiensinya. Ia menulis berita, membuat musik, menggambar, teman berbincang, bahkan menjawab pertanyaan dengan presisi manusiawi. Namun di balik pesonanya, tersimpan ancaman: hilangnya otentisitas berpikir dan menurunnya refleksi manusia.AI, atau yang lebih tepat disebut akal imitasi, tidak memiliki nurani. Ia meniru cara manusia berbicara tanpa memahami makna moral di baliknya. Ketika teknologi ini memproduksi pesan yang tampak meyakinkan, publik sering kali gagal membedakan antara hasil pikiran dan hasil tiruan algoritmik.Seperti diingatkan David Lyon, pakar surveillance studies, pengawasan kini bukan lagi alat koersif, tetapi cara hidup. Kita diawasi bukan karena dipaksa, tetapi karena rela berbagi data. Dalam setiap klik dan scroll, kita memberi makan algoritma yang kemudian menentukan apa yang layak kita lihat dan pikirkan. Di titik ini, kebebasan berekspresi berubah menjadi kebebasan yang dikurasi—sebuah paradoks dari era digital.Dilema Nasional di Tengah Kekuasaan GlobalIlustrasi deepfake. Foto: ShutterstockIndonesia kini menghadapi dilema besar: bagaimana menegakkan kedaulatan digital dalam dunia yang dikuasai platform global seperti Meta, Google, dan TikTok. Di satu sisi, negara perlu mengatur arus informasi demi kepentingan publik. Namun di sisi lain, regulasi sering tertinggal jauh dari kecepatan inovasi teknologi.Ketika Komdigi berupaya menertibkan konten hoaks, algoritma TikTok sudah lebih dulu menyesuaikan pola viralitasnya. Saat pemerintah bicara tentang literasi digital, Meta justru memperluas fitur personalisasi yang makin mempersempit ruang pandang pengguna.Uni Eropa melalui Digital Services Act dan AI Act telah memberi contoh bagaimana negara bisa menuntut transparansi algoritma dan tanggung jawab etis perusahaan teknologi global. Indonesia perlu belajar dari pendekatan tersebut: kedaulatan digital tidak cukup ditegakkan lewat larangan, tetapi juga lewat penguasaan epistemik—kemampuan memahami cara kerja algoritma yang membentuk opini publik.Sebab pada akhirnya, kolonialisme baru tidak selalu datang lewat senjata atau modal, tetapi lewat data. Siapa yang mengendalikan arus informasi, dialah yang mengendalikan persepsi.Membangun Imunitas DigitalMenghadapi situasi ini, kita tidak perlu takut pada teknologi, tetapi harus cerdas menggunakannya. Jalan keluarnya adalah membangun imunitas digital—kemampuan individu dan masyarakat untuk berpikir kritis terhadap informasi, mengenali bias algoritmik, dan menjaga jarak reflektif dari derasnya arus data.Literasi digital harus naik kelas: tidak hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga cara memahami logika di baliknya. Perguruan tinggi, komunitas, dan media publik memiliki tanggung jawab besar untuk mengembalikan martabat berpikir di ruang digital.Franco Berardi menulis, krisis sosial hanya dapat diatasi oleh “imajinasi kolektif yang sadar akan keterbatasannya sendiri.” Dalam konteks Indonesia, imajinasi itu berarti kesediaan untuk berpikir lebih lambat, lebih dalam, dan lebih etis. Kita butuh ruang publik digital yang tidak hanya ramai, tetapi juga berakal.Kembali ke Nurani di Tengah MesinBarang bukti ditunjukkan pada konferensi pers pengungkapan penipuan dengan deepfake AI yang mengatasnamakan pejabat negara oleh Dittipidsiber Bareskrim Polri pada Kamis (23/1/2025). Foto: Abid Raihan/kumparanTeknologi kecerdasan buatan boleh meniru cara manusia berpikir, menulis, bahkan merasa, tetapi ia tak akan pernah meniru nurani. Di tengah derasnya arus post-truth, tantangan terbesar kita bukan lagi mencari informasi, melainkan menjaga kejernihan berpikir di antara kebisingan digital.Kebenaran kini mungkin tak lagi datang paling cepat. Namun justru di situlah nilainya—karena kebenaran yang sejati membutuhkan waktu, kesabaran, dan keberanian untuk memeriksa ulang apa yang tampak. Kita perlu mengembalikan kebiasaan berpikir sebelum bereaksi, menimbang sebelum membagikan, dan memahami sebelum mempercayai.Di hadapan mesin yang semakin menyerupai manusia, kita justru perlu semakin manusiawi. Sebab martabat manusia tidak terletak pada seberapa cepat ia memproses informasi, melainkan pada kemampuannya menunda, merenung, dan mendengarkan hati nurani.Kita boleh hidup berdampingan dengan algoritma, tetapi jangan sampai berpikir dengan cara algoritmik. Pada akhirnya, hanya akal sehat dan empati yang dapat menyelamatkan kita dari dunia yang diciptakan oleh akal imitasi.***